Umpatan demi umpatan terus datang padanya. Seakan tak pernah habis, Rumi menatapnya dengan seribu kebencian yang tak akan pernah surut. Nyatanya, pria ini tak pernah mundur selangkah pun.
Namun, hanya umpatan yang bisa Rumi berikan. Aksinya selalu saja kalah telak oleh fisik Mr. Tonny yang begitu besar. Sekali diremas, Rumi akan hancur.
Mr. Tonny menyeringai. "Aku bekerja menggunakan ini," ujarnya sembari mengetuk-ngetuk sisi kepalanya dengan menggunakan jari telunjuknya. "Jika aku menggunakan hati, maka aku akan banyak kehilangan lagi, Rumi. Hati tak berguna dalam duniaku." Mr. Tonny melepaskan genggamannya.
"Aku akan pergi nanti malam. Pulang ke Hawtorn untuk beberapa hari. Anak buahku akan mengawasi dirimu selama itu." Ia memerintah. Entah untuk siapa. Bodohnya Rumi hanya diam mendengarkan sekarang. "Jalani ujianmu dengan baik. Ketika kembali ke sini, aku akan menjemputmu setelah kau menyelesaikan kelulusan."
Rumi meneteskan air matanya saat pria itu memungkasi kalimat. Mr. Tonny kembali memakai jasnya. Memasukkan pistol ke dalam sana.
"Aku tak suka dikecewakan, Rumi." Dia melirik Rumi. "Bukan masalah nilai, aku tak ingin kau terluka atau melakukan hal gila lainnya. Kau adalah calon pengantinku."
"Siapa yang mengijinkan itu?" Rumi mencegah. Dia menghentikan langkah Mr. Tonny dengan kalimatnya. "Siapa yang mengijinkan dirimu untuk memilikiku? Untuk menjemputku? Dan untuk menjadikan diriku pengantinmu, huh?" Dia meninggi. Rasa-rasanya ingin menampar Mr. Tonny sekuat tenaga.
Mr. Tonny menghela napasnya. "Aku, Mr. Tonny Ayres," pungkasnya menutup kalimat. Dia kembali berpaling. Berniat untuk pergi dari Kamar tidur Rumi. Namun, Rumi menarik jas miliknya. Tangannya sigap merogoh masuk ke dalam saku jas milik Mr. Tonny mengambil pistol di dalam sana.
"Aku akan membunuhmu sekarang," ucapnya dengan nada gemetar. Air mata tak kunjung surut. Dia ketakutan sekarang. Memegang pistol dengan tidak seimbang. Menodongkan moncongnya tepat di hadapan Mr. Tonny. "Aku akan membunuhmu!" katanya berteriak lantang. "Kau hanya bajingan gila yang mengusik!"
Mr. Tonny masih diam. Menatap kekalutan milik Rumi. Dia pasti terkejut.
Pria itu berjalan mendekat. Meraih moncong pistol dan meletakkan itu di atas dada bidangnya. "Tembak jantungku, maka aku akan mati di tempat. Aku tak suka mati dengan luka di kepalaku," katanya dengan begitu tenang. Ia benar-benar menguasai keadaan.
"Tunggu apa lagi?" Mr. Tonny tersenyum. "Tembaklah." Jari jemari meraih tangan Rumi. Menempatkan ibu jari gadis itu untuk segera menarik pelatuknya. "Katanya kau akan membunuhku. Maka lakukan, sebelum aku melakukan perlawanan."
Rumi diam. Lututnya bergetar hebat. Jarinya tak mau bergerak. Hanya tinggal menarik pelatuknya. Peluru akan keluar dan semuanya akan berakhir. Dia akan masuk penjara untuk paling lama dua puluh tahun lalu saat usianya matang, dia akan keluar dan mencari pekerjaan. Melupakan semuanya! Ya, siklus hidup yang mudah ketimbang harus menjadi istri mafia gila satu ini.
"Tembak Rumi!" Mr. Tonny berteriak. Dengan suara berat, Rumi kalah. Dia melepaskan pistol itu. Jatuh bersimpuh di depan Mr. Tonny. Tak ada tenaga lagi. Dia pasrah pada apapun. Bahkan jika pria ini membalikkan keadaan dan menodongkan pistol padanya, Rumi tak akan melawan.
Mr. Tonny ikut berjongkok. Menarik ujung rambut Rumi. "Kau tak punya siapapun lagi di sini. Kekasih yang kau anggap mencintaimu, hanya bajingan gila yang bercumbu dengan gadis lain. Temanmu? Dia tak bisa membantumu, Rumi. Hanya aku ...," ucapnya menarik rambut Rumi semakin kuat. "Hanya aku, Tonny Ayres."
Dia menepuk dadanya dengan begitu mantap. "Hanya aku yang bisa kau buat sebagai gantungan harapan. Tak ada yang lain, Rumi. Tak ada. Dunia meninggalkan dirimu." Ia mengusap puncak kepala gadis itu. Layaknya seperti anjing yang sedang ditenangkan agar tidak terlalu banyak menggonggong. Mr. Tonny menatap gadis itu dengan iba.
"Sudah aku katakan padamu berkali-kali, aku tidak akan menyakitimu jika kau menurut. Aku tidak akan memaksamu jika kau tidak membangkang. Aku juga tidak akan menculikmu, sebab tujuanku bukan itu." Dia bangkit dari posisinya. menarik ujung rambut Rumi. Membawanya bangun dengan kasar.
Dia seperti psikopat gila yang punya dua kepribadian. Kadang kala, terlihat begitu manis dan lunak, layaknya pria baik pada umumnya. Namun, selepas itu, kesabarannya habis dan berubah menjadi iblis tak punya hati. Kasar dan penuh penyiksaan.
"Tenang lah di tempatmu. Kerjakan apa yang harus kau kerjakan. Selesaikan ujianmu besok dan pulanglah ke rumahmu. Tak perlu cari makan, karena akan ada makanan di sini. Tak perlu cari kerja, sebab kau tak akan pernah kuliah di Indonesia. Permudah saja, Rumi." Pria itu memungkasi kalimatnya. Melepaskan cengkeraman jari jemari di atas rambut Rumi.
Dia pergi pada akhirnya, mengabaikan air mata Rumi yang mengalir semakin deras. Isak tangis pecah kemudian.
... To be continued ...