Pria itu menghantarkan Rumi pulang ke rumahnya. Kali ini dia tak ingin mampir, ada pekerjaan yang harus diselesaikan di Jakarta. Seseorang datang tanpa sepengetahuan dirinya sebelumnya. Akan sangat berbahaya jika Mr. Tonny membiarkan dia berkeliaran di sini.
Mobil hitam kembali melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalanan kota. Berhenti di sebuah bangunan yang berada di sudut kota. Jauh dari keramaian publik, berada tersembunyi dari mata dunia.
Mr. Tonny turun dari mobilnya. Berjalan diiringi dua anak buah dengan begitu gagahnya. Masuk ke dalam sebuah bangunan separuh runtuh. Menerjang kegelapan malam tanpa adanya rasa takut dan ragu. Dia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.
"Berhenti!" Seseorang datang dari kegelapan. Menyambut Mr. Tonny dengan cara yang tak biasa. Mengarahkan moncong pistol ke arahnya. Berharap pria itu gusar atau terkejut. Namun, itu adalah Tonny Ayres. Pria yang tak kenal ampun dan tak tahu rasa takut.
"Di mana Halwart?" Suaranya terdengar begitu lirih, tetapi sungguh dalam dan khas. Dia menoleh, menatap orang dengan pakaian serba hitam. "Kau anak buahnya?"
Pria yang ada di sana saling pandang satu sama lain. Sebelum akhirnya menyadari sesuatu. "Mr. Tonny Ayres?"
"Katakan di mana bosmu. Aku tahu itu rompi murahan. Peluruku akan sangat dengan mudah menembusnya jika kau membuang-buang waktuku di sini."
Pria itu memberi kode pada rekannya. Seakan sudah mengkonfirmasi siapa yang datang.
"Ikuti kami, Mr. Tonny."
Mr. Tonny mengangguk. Berjalan mengekori dua pria yang membawanya turun ke bawah tanah. Sekarang gemerlap lampu kuning menyambutnya. Menyoroti wajah tampan milik Mr. Tonny. Suasana tak sesepi sebelumnya. Banyak orang di sini. Kasino adalah permainan utama yang menguras banyak fokus orang-orang di sini.
"Mr. Tonny!" Seseorang berteriak. Merentangkan tangan sembari menyambut kedatangan tamu pentingnya. Dia yang dicari, Halwart.
"Aku tak menyangka kau benar-benar datang!" Dia memeluk Mr. Tonny, berusaha untuk akrab. Namun, pria itu melepas dengan kasar. Seakan jijik. "Hei! Aku adikmu, jangan bersikap sok keras." Dia tertawa gila. Menepuk-nepuk dada bidang milik Mr. Tonny, yang katanya adalah kakaknya. Namun, Mr. Tonny adalah anak tunggal. Dia garis keturunan terakhir keluarga mafia Hawtorn.
"Kenapa kau datang kemari? Kau juga mengirimkan surel aneh padaku." Mr. Tonny berjalan mendekati sofa besar di sisi meja kasino. Duduk dia atas sana. "Kau tau tempat seperti ini dari mana? Semuanya tiruan Las Vegas." Dia mendongak. Menatap pria yang beberapa tahun lebih muda.
"Aku jadi buronan." Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari celah bibir Halwart. Tentu saja membuat Mr. Tonny terkejut bukan main.
Dia duduk di sisinya. Sedikit bercelah. Menatap lawan bicaranya. "Polisi setempat mendapat laporan dari badan internasional. Mereka mencariku setelah seseorang melaporkan bahwa aku pergi ke Indonesia."
Mr. Tonny menoleh. Tak berkata apapun. Namun, dengan ekspresi wajah yang begitu, Halwart paham benar apa yang ada di dalam kepalanya.
"Karena perdagangan anak di Timur Tengah." Pria itu menghela napasnya. "Polisi di Indonesia sedang mengejarku. Aku butuh perlindungan." Dia akhirnya menjelaskan.
"Kau gila rupanya ...."
Halwart menghela napasnya. Menyerah. "Aku tak punya pilihan lagi, Tonny. Aku harus bersembunyi."
"Di mana mereka?" tanya Mr. Tonny dengan santai. Toh juga, ini bukan bebannya. Jika tertangkap, dia hanya perlu berpura-pura tidak terjadi apapun dan tidak mengenal pria ini. "Anak-anak yang kau perdagangkan."
Halwart mengulum salivanya. Dia mengambil celah untuk bisa berbicara. "Jangan marah padaku, oke?" Tangannya terangkat. Berusaha memberi kode pada lawan bicaranya untuk tetap tenang.
"Sebagian tertangkap oleh polisi dan sebagiannya aku membunuhnya."
Mr. Tonny menautkan alisnya. Rahangnya mengeras, menahan kejutan di dalam hatinya. Sudah dia duga, pria ini bodoh!
"Aku juga tak punya pilihan lain, Tonny. Aku benar-benar terdesak. Tujuh anak yang ingin aku kirimkan ke Las Vegas sebagai budak seks merepotkan. Mereka hanya akan memberi beban saja. Melihat semua anak buahku tewas dalam baku tembak dengan polisi di Timur Tengah."
Mr. Tonny menjatuhkan pandangannya. "Aku tidak peduli." Dia mengerutkan keningnya. "Kenapa memanggilku? Aku tak punya waktu untuk mengurusi orang seperti dirimu. Kau pengecut, dan aku benci itu."
Mr. Tonny bangkit dari tempat duduknya. "Hidupku sudah merepotkan, jadi jangan menambah lagi. Sejak awal, kita bukan rekan kerja," tukasnya ketus. Mengakhiri pembicaraan mereka. Dia hanya datang untuk memastikan bahwa Halwart tak melakukan hal yang bodoh. Dia tak membawa narkoba atau semacamnya. Juga, dia memastikan bahwa tak ada nama Hawtorn ataupun Black Wolf yang dibawa olehnya.
"Tonny, come on!" Halwart tak menyerah. Menarik bahu pria itu dengan kasar. Membuatnya menoleh dan menatap Halwart. "Aku hanya ingin kembali ke Las Vegas dengan aman."
"Sudah kubilang, aku tidak berurusan dengan pengecut. Membantumu, tak ada untungnya bagiku, Halwart. Kau yang memutuskan hubungan baik kita di masa lalu." Mr. Tonny mengakhiri pembicaraan. Berniat pergi dari sana.
"Tentang pembantaian hampir 20 tahun yang lalu ...." Dia memulai. Menggali memori Mr. Tonny tentang kematian ayah kandung Rumi. "Kau membunuh orang yang salah, Tonny. Aku tahu itu," pungkasnya menutup kalimat.
... Bersambung ....