Kembali pada pagi yang membosankan. Rumi sudah bersiap sejak tadi. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berangkat ke sekolah. Ini adalah hari ujian yang ketiga, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa meninggalkan cerita. Rumi akan jauh lebih senang jika dia menyelesaikan hari tanpa luka apapun di atas fisik atau hatinya. Cukup penat, semesta benar-benar membuatnya hidup dalam tekanan yang luar biasa tiada habisnya. Rumi diajak untuk berlari, meksipun dia enggan untuk melakukannya. Rumi diajak berteriak, meksipun dia memilih untuk diam.
Menit bergeser. Jarum jam sekarang menunjukkan pukul enam lebihnya lima belas menit. Ini lah waktu yang tepat untuk memulai perjalanan datang ke sekolah. Rumi, mulai mengambil tas punggungnya. Kembali menatap kaca besar yang ada di sudut kamar. Memastikan tak ada yang aneh dengan penampilannya.
Dia keluar dari kamarnya. Melirik meja makan yang bersih, bahkan baru satu hari tak bertemu dan mendengar kabar pasal Mr. Tonny, Rumi sudah mulai gelisah. Pikirannya acap kali dibawa terbang dan ajak berteka-teki, di mana dan sedang apa pria itu sekarang?
Masa bodoh. Rumi segera menggelengkan kepalanya. Kembali melangkah, pergi meninggalkan Rumah.
Dia menarik pintu, membukanya. Betapa terkejutnya Rumi melihat seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Menatapnya. Sudah lama menunggu Rumi untuk keluar dari rumah. Sayangnya, itu bukan Mr. Tonny Ayres.
Dia adalah Genta.
"Gue kebetulan lewat dan berpikir untuk menjemput lo sekalian." Genta tiba-tiba saja berucap. Bahkan Rumi belum bertanya apapun. Dia masih diam dalam terkejutnya..
"Lo jalan kaki ke sini?" Rumi bertanya dengan ragu. Melirik ke luar gerbang kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Ada mobil mewah di sana. "Ah, sama supir lo?" Rumi menyimpulkan. Inilah kehidupan orang kaya yang tak pernah bisa dia rasakan. Rumi harus berjalan ke halte bus, menunggu bus datang, berdesakan. Kadang kala, dia harus berdiri sebab tak mendapat tempat duduk. Berbeda dengan Genta yang merasakan dinginnya AC mobil dengan tempat duduk yang nyaman dan luas.
Genta menggaruk sisi kepalanya yang tak gatal. Bagaimana mengatakannya --dia bak orang kikuk.
"Gue ... menyetir sendiri," ucapnya. Ragu. Gagap entah kesalahan apa yang baru saja dia perbuat. "Gue kebetulan lewat ke sini tadi. Jadi sekalian mampir untuk memberi tumpangan."
Rumi diam, mendengarkan. Genta sedang salah tingkah sekarang ini.
"Gue hanya ingin menawarkan saja. Jadi aku datang dan menunggu lo untuk keluar dari rumah."
Rumi tersenyum tipis. Remaja itu menyelesaikan kalimatnya. "Jadi?"
"Huh?" Kedua alis hitam legam menyiku milik Genta terangkat secara bersamaan. Rumi menanggapi dengan kalimat yang tak terduga.
"Lo mau ngajak gue berangkat bareng bukan?"
Genta mengangguk dengan ragu. Tebakan yang benar, itulah yang dia inginkan. "Ini hanya tawaran saja. Kalau lo gak mau, gak papa. Gue akan—" Kalimatnya terhenti. Genta diam selepas Nata tiba-tiba saja berbalik. Mengunci pintunya dan menutup dengan rapat.
Gadis itu memandang Genta. "Gak mau berangkat sekarang? Hampir pukul setengah tujuh." Rumi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Genta mengangguk antusias kemudian. Tak pernah disangka, Rumi akan menerima tawarannya dengan semudah itu.
••• Big Man Season 1 •••
Tak pernah luput, seseorang mengawasi Rumi siang dan malam tanpa gadis itu ketahui. Semua gerak geriknya, bahkan bagaimana dia menjalani tidurnya saja tak pernah lepas dari sepasang mata yang mengawasinya.
Jangan pernah main-main dengan mafia, itulah pepatah yang dikata oleh orang jaman dulu. Ketika mafia sudah menargetkan dirimu, maka jangan harap kau bisa lepas dari pengawasannya!
"Jika kita membiarkan pemuda itu terus mendekati Nona Rumi, maka itu akan berakhir dengan buruk." Seseorang menyela dari atas kursi kemudi. Black Fox, mata-mata terbaik yang diambil oleh Hawtorn dari negara ginseng. Semua yang berada di bawah pengawasan mata Black Fox tak akan pernah bisa lepas.
"Kita hanya diutus oleh Mr. Tonny untuk mengawasinya. Jangan bertindak apapun dan jangan sampai ketahuan." Pitter menjawabnya dengan tegas. Dia memang kompeten, tetapi kadang bodoh dalam memutuskan.
"Setidaknya pemuda itu tidak akan membawa Rumi pergi dari Indonesia. Jadi kita tidak perlu melakukan apapun." Pitter kembali membuka suaranya. Memutuskan.
"Hwang," panggilnya. Itulah nama asli dari Black Fox. Agen mata-mata terbaik milik Hawtorn. "Jangan mengecewakan Mr. Tonny. Terus awasi Rumi sampai waktu yang tepat datang untuk membawanya ke Las Vegas. Jika sudah begitu, misi kita selesai."
Pria itu menoleh. Luka sayatan panjang di sisi matanya menjadi tanda perjuangan dari Black Fox. Menyeramkan memang kalau dipandang, tetapi setidaknya dia punya wajah khas orang Korea Selatan yang tampan.
"Aku yang seharusnya berkata itu padamu, Pitter," ujarnya sembari tertawa. "Kau memberikan identitas baru pada Nona Rumi, tetapi kemarin dia tidak datang padamu."
"Dia pasti datang, aku yakin."
Hwang terkekeh. "Kau masih saja bodoh dengan keyakinanmu itu."
Pitter menoleh padanya. Menatapnya dengan tajam. Nyatanya, di balik kerja sama yang profesional, Pitter dan Hwang tidak pernah bisa akur. Luka sayatan di mata kirinya adalah sebab keyakinan bodoh pria itu yang menyerahkan semuanya pada tanda salip di ujung kalung yang ia kenakan. Tuhan.
... To be continued ...