Chereads / Big Man : The Greatest Mr. Tonny Ayres / Chapter 39 - 39. Sweet love : Anak remaja

Chapter 39 - 39. Sweet love : Anak remaja

Mendungnya tidak berada di luar sana, tetapi ada di dalam hati Rumi. Semua temannya berbahagia bukan main. Seakan sedang merayakan hari kemerdekaan dan kebebasan selepas selama ini terbelenggu dalam satu penjara tanpa besi dan tanpa sekat. Akan tetapi, tidak untuk Rumi. Cemasnya semakin melanglang buana. Pikirannya dikacaukan seketika. Bukan memikirkan pasal nilainya nanti. Rumi akan berpisah dengan semua temannya di Indonesia. Hidup di tempat asing bersama orang yang tidak dia kenal.

Naasnya, satu-satunya orang yang diharapakan bisa membela dan membantunya, malah berpihak pada Mr. Tonny, Bibi Nana. Dia unik dengan segala kejutan yang dimiliki olehnya.

"Rumi!" Seseorang menepuk pundaknya. Merangkul Rumi tiba-tiba. Keadaan semakin rumit ketika orang-orang tiba-tiba saja datang padanya. Segerombolan teman, sebagian dari mereka, dia tidak mengenalnya dengan akrab.

"Kita akan pergi ke restoran ayam goreng, lo mau ikut?" Dani, orang yang meruntuhkan segala kecemasan berubah menjadi kebisingan di dalam hatinya sekarang. "Lo harus ikut! Genta juga ikut," katanya. Menoleh pada orang yang berada di barisan paling belakang.

Rumi ikut memandangnya. Genta tersenyum manis kemudian.

"Gue gak enak badan ...." Rumi beralasan. Katanya, dia sakit. Padahal kepribadiannya yang sedang tak waras. Psikologi Rumi terguncang hebat dengan keadaannya sekarang. Dia memendam semuanya sendirian.

Dani menatap wajahnya. Meneliti dengan baik. Menganggukkan kepalanya kemudian. "Memang agak pucat," katanya sok tahu. Sekarang menyentuh dahi Rumi. "Tapi gak panas."

Rumi segera mengalihkan pandangannya. Membuat tangan Dani tak lagi menyentuh dagunya. "Gue hanya kecapekan. Jadi badan gue lemes. Kalian bisa pergi duluan." Dia kokoh untuk menolak. "Gue akan bergabung lain kali."

Lain kali? Bodoh! Rumi bahkan tak tahu sampai kapan dia punya kebebasan ini.

"Janji?" kata Dani penuh kecewa. Padahal dia ingin membuat teman dekatnya ini sedikit bahagia. Belakangan ini Rumi terlihat murung.

Rumi menganggukkan kepalanya. "Janji," ucapnya sembari tersenyum.

Dani mengiyakan. Sekarang mengajak semuanya untuk pergi meninggalkan Rumi. Namun, tidak untuk Genta. Dia memilih berdiri di tempatnya sekarang.

Pandangan Rumi jatuh kembali padanya setelah semuanya pergi. Meninggalkan mereka berdua. "Lo gak mau ikut?" tanya Rumi melirih.

Genta menggelengkan kepalanya. "Katanya lo lagi sakit." Genta berjalan mendekatinya. Rumi melangkah, sekarang mereka berjalan saling beriringan satu sama lain. "Jadi gue berpikir untuk menghantar lo pulang ke rumah. Gue takut lo pingsan di jalan."

Rumi tersenyum tipis. Ada Genta, sebenarnya. Dia peduli pada Rumi. Namun, hanya sebatas teman. Dia bukan keluarga yang harus mengerti semua keluh kesah miliknya. Genta juga punya masalah sendiri di dalam hidupnya.

"Rumi," panggil Genta. Tak betah dengan hening yang ada. "Kenapa lo belakangan ini terlihat begitu murung?"

Rumi mendongakkan kepalanya. Pandangannya tertuju pada Genta. Pemuda ini begitu jangkung jika di sandingkan dengannya. "Lo punya masalah? Sudah gue bilang lo bisa bercerita sama gue. Gue akan bantu jika gue bisa membantu lo."

Ada. Banyak! Kata itu yang ingin Rumi sematkan sekarang. Namun, dia mengurungkan niatnya.

"Hanya berpikir tentang apa yang harus aku lakukan setelah SMA nanti? Kuliah? Sepertinya aku harus memendam itu. Uang tabungan yang ditinggal nenek terlalu sedikit."

"Gue bisa ....."

"Jangan!" Rumi menolak. Bahkan dia sudah tahu sebelum Genta meneruskan kalimatnya. "Gue juga harus mempersiapkan semuanya jika ingin masuk kuliah. Percuma saja, jika bisa masuk tetapi tidak bisa meneruskan sampai akhir. Jadi gue pasti memutuskan untuk mencari pekerjaan dulu."

Genta menghela nafasnya. Rumi mencegah kebaikannya. Dia tidak bisa memaksa.

"Genta ...." Rumi menyela heningnnya lagi. Gadis itu terhenti selepas sampai di depan gerbang utama sekolah. Lalu lalang orang sejenak mencuri perhatian Rumi. "Bagaimana jika suatu saat nanti, gue tiba-tiba menghilang?"

Random! Genta terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa harus menghilang? Lo akan pergi ke suatu tempat?" tanyanya. Menatap Rumi dalam-dalam. Acap kali pandangan matanya bertemu dengan Rumi, hatinya selalu saja bergejolak. Awalnya Genta berpikir bahwa ini adalah rasa iba. Dia punya sifat kemanusiaan yang tinggi. Namun, dia salah besar! Perasaan itu ... adalah cinta. Dia menyukai Rumi.

Rumi terkekeh. Tiba-tiba saja hal lucu terlintas di kepalanya. "Mungkin menjadi TKW di negara orang?" Dia balik bertanya. Sedangkan Genta tertawa renyah mendengarnya.

"Kalau lo pergi ... gue pasti akan mencari kabar lo dan keberadaan lo."

Tawa Rumi hilang karena itu.

"Lo adalah orang terdekat gue sekarang," imbuh Genta mengusap puncak kepala Rumi dengan lembut. Tersenyum manis pada gadis itu. Rumi tahu pandangan matanya. Bukan sembarang orang bisa memandang dengan seperti itu. Nyatanya, Genta yang dulu asing dan jauh, kini terasa begitu dekat dan akrab.

"Gue antar pulang sekarang ...."

Rumi menggelengkan kepalanya ringan. "Gue ingin mampir ke suatu tempat. Jadi lo bisa pulang duluan."

Genta mengerutkan keningnya. "Ke mana?"

Rumi diam. Mencari alasan. Tak mungkin jika dia bilang dia akan pergi ke rumah pengacara seorang mafia besar hanya untuk menanyakan pasal identitasnya.

"Ke rumah teman. Ada urusan tentang dunia perempuan. Jadi akan aneh kalau ada lo."

Pemuda di depan Rumi kembali menarik kedua sisi bibirnya. Tersenyum manis. Mengangguk. "Baiklah. Kabari jika terjadi sesuatu."

"Hm. Pasti."

Mereka berpisah. Genta melihat Rumi berjalan dari arah yang berlawan. Langkah kaki menjauh darinya. Seakan belum puas, Genta kembali memanggil nama gadis itu. "Rumi!"

--yang dipanggil akhirnya menoleh. Menatapnya. Dari jarak yang sedikit jauh, Rumi melihat Genta tersenyum manis padanya. "Akhir pekan besok ada acara?"

Rumi diam lagi. Menggelengkan kepalanya kemudian.

"Mau jalan-jalan?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi, mengingat jarak mereka yang sedikit jauh. Siapapun bisa mendengarnya

Rumi mengangguk. Tersenyum. Mengangkat tangannya, memberi kode jari mengiyakan ajakan Genta.

"Aku datang pukul 11!"

... To be continued ...