Suasana rumah yang sepi, Genta menatap pria yang duduk di atas sofa, sudut ruangan. Dia memainkan sesuatu di dalam genggamannya. Genta nampak tertarik dengan itu. Dia berjalan mendekatinya. Melihat siapa yang duduk dengan santai, sembari sesekali melirik ke arah jam. Papa dan mamanya tidak akan pulang di jam segini. Toh juga, dia tidak punya saudara laki-laki yang akan datang berkunjung tanpa sebab. Ya, tidak ada, kecuali pamannya.
"Om Arzan!" Genta nampak antusias melihat siapa yang datang ke rumahnya siang ini. Pamannya ini adalah satu-satunya laki-laki yang dekat dengannya. Papanya? Tidak. Pria tua itu sibuk dengan pekerjaannya di luar sana. Meskipun dia seorang tentara, tetapi nyatanya, masih punya waktu kadang kala. Tak banyak, tetapi cukup berarti.
"Om ngapain ke sini?" Genta melakukan 'tos' dengan gaya yang khas. Duduk di atas sofa, menghadap pada Arzan. "Papa belum pulang. Mama pun juga begitu. Katanya lembur hari ini." Dia memulai. Melepaskan jaket yang dia kenakan. "Itu kata Pak Andre."
"Aku tahu," ucap Arzan dengan menatap. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas, entah untuk apa. "Aku datang untuk kamu."
Genta mengerutkan keningnya. Menatap pria di depannya itu dengan serius. "Kenapa mau bertemu aku? Aku punya apa?" tanyanya. Tertawa. Inilah cara mereka berkomunikasi. Lebih santai tak pernah terikat dengan angka usia.
Arzan membuka lipatan kertas itu. Sebuah gambar pistol yang tak asing untuk Genta. "Baretta!" Dia menunjuk. Nampak antuasias. "Paman mau memberikan itu padaku? Aku suruh disuruh memilih?" Dia menebak. Kesimpulan yang sembrono. Arzan salah abdi negara yang tidak akan menjual senjata api secara ilegal, apalagi untuk anak di bawah umur.
"Bukan begitu," ujarnya sembari menjitak kepala sang keponakan. "Aku mau tanya ...."
Genta berdecak. Menata kembali rambutnya. "Apa?"
"Katanya kamu pernah melihat Baretta 92 secara asli dan langsung. Di mana?" tanyanya. Membuat Genta diam dalam sejenak. Sebelumnya, Arzan mengatakan padanya untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain. "Katanya kamu menemukan itu di rumah teman kamu. Itu masih ada di sana?" tanyanya lagi kala yang diberi pertanyaan hanya diam, membisu. Tak ada kata yang terucap dari celah bibirnya. Genta benar-benar tak mengerti mengapa Arzan tiba-tiba saja peduli.
"Katanya sudah diambil yang punya. Jadi sudah tidak ada di rumah temanku. Katanya sudah diberikan pada orang yang mengambilnya."
Arzan menaikkan kedua sisi alisnya. Sedikit terkejut. "Seseorang mengambil dan memilikinya? Siapa?" tanyanya bernada panik. Membuat suasana semakin aneh. Sekarang atmosfer tiba-tiba saja berubah. Tak ada candaan, Arzan tak pernah seserius ini kalau sedang berbicara dengan keponakannya.
"Siapa lagi kalau bukan teman kakeknya. Katanya itu pemberian dari teman kakeknya."
Arzan menghela nafasnya. "Baretta yang asli punya tanda tersendiri." Dia menunjuk ke sudut gagang pistol. "Tanda ini hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu. Baretta dengan tanda seperti ini tidak di jual dan dipasarkan oleh sembarang orang, Hanya Baretta dengan tanda ini yang digunakan interpol untuk menangkap para mafia atau semacamnya."
Genta mengerutkan keningnya. Tak mengerti. Ini semakin gila saja. "Jadi?" tanyanya memastikan. "Aku tidak tahu apa yang om katakan. Aku tidak paham sedikitpun."
"Pistol yang kamu lihat kemungkinan bukan Baretta 92 biasa. Itu dibuat khusus dengan teknologi canggih di dalamnya. Entah untuk mata-mata, perekam suara, atau kamera kecil atau apapun itu. Teknologi mafia tidak pernah bisa ditebak oleh interpol atau kepolisian setempat. Tanda yang ada di sini ...." Arzan kembali mengetuk gambar yang ada di depannya dengan menggunakan ujung jari jemarinya. "Ini milik buronan interpol yang tidak pernah bisa ditangkap dengan surat penangkapan resmi. Dia selalu saja lolos."
Genta mulai paham. "Maksudnya ... apa yang aku temuikan saat itu, adalah milik penjahat kelas kakap? Dan aku menemukannya di rumah temanku?"
"Bingo! Temanmu berada dalam bahaya jika begitu." Arzan memberi penekanan di akhir kalimat. "Pistol ini hanya beredar di kalangan penjahat, mafia, gangster kelas tinggi, dan assassin kelas kakap. Ini sebagai tanda bahwa senjata-senjata yang dibuat berasal dari perdagangan senjata ilegal yang dikhususkan untuk orang-orang atau organisasi tertentu."
Arzan menjeda dengan mengulum salivanya. Dia teringat, mungkin kejahatan semacam ini bukan ranahnya, tetapi teman-teman dan rekan kerjanya di interpol mati hanya karena berusaha menangkap mereka.
"Pertemukan aku dengan temanmu yang punya pistol ini. Aku tidak ingin menuduh dia, Genta. Aku hanya ingin tahu dari mana asal pistol ini. Aku akan mengajak temanku dari kepolisian untuk datang bersama. Jadi tolong katakan itu padanya dengan bijak. Jangan membuatnya takut."
Genta hanya diam. Tak memberi jawaban apapun. Toh juga, dia bisa apa? Pamannya tidak mungkin berbicara omong kosong saja. Dia mengenal Arzan dengan begitu baik.
"Aku mohon kerja sama darimu. Aku yakin kamu tidak ingin temanmu kenapa-kenapa."
Genta mengangguk. "Hm, akan ku coba."
... To be continued ...