Rumi menghela napasnya berkali-kali. Tatapan matanya tertuju pada jam dinding yang ada atas papan tulis, sudah hampir tiga jam dia berada di tempat ini, duduk mengerjakan ujiannya. Ini adalah hari pertama Rumi melaksanakan ujian, kelulusan datang juga. Namun, bukan bahagia yang dirasa, Rumi was-was bukan main.
Bagaimana tidak, janji yang dibuat oleh pria itu dalam sepihak adalah membawa Rumi pergi dari Indonesia. Menjadikan gadis itu sebagai istri sahnya. Itu akan terjadi jika ujian di sekolahnya selesai. Mr. Tonny memberi kelonggaran pada gadis itu untuk menamatkan sekolahnya di sini. Meskipun dia tahu benar bahwa itu tak akan banyak berguna selepas Rumi menjadi istrinya nanti. Itu hanya formalitas saja.
Bel nyaring berbunyi. Tanda waktu ujian selesai kali ini. Rumi menghela napasnya panjang. Satu beban sudah pergi, dia berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menghapal semua materi yang ada di tengah peliknya hati dan kalutnya pikiran Rumi kemarin.
"Letakkan pensil dan penghapus kalian. Kemari barang-barang dan pisahkan soal juga jawabannya. Tinggalkan di atas meja, dan keluar dari ruangan. Waktu kalian sudah habis." Seorang pengawas memberi perintah. Menyuruh siapapun yang masih tinggal di dalam ruangan untuk segera pergi. Mengosongkannya, entah pulang atau duduk sebentar dan bercengkerama dengan teman-teman sebaya.
••• Big Man Season 1 •••
--dan inilah pilihan Rumi. Berjalan pulang menuju ke gerbang utama sekolahnya. Dia bukannya tak punya teman, Dani ada di sana. Sibuk membahas soal yang menurutnya tak ada jawaban. Rumi enggan menggubris itu. Hatinya lelah, pikirannya semrawut. Dia ingin pulang, sejenak tidur memejamkan matanya.
"Rumi!" Seseorang memangil Rumi. Naas, ada yang mengganggunya.
Genta. Siapa lagi memangnya? Dia hanya akrab dengan dua orang saja. Genta dan Dani. Gilang? Entah. Rumi malas mendengar namanya. Dia juga tak terlihat batang hidungnya pagi ini. Mungkin ujian di tempat lain, penjara.
"Bagaimana ujiannya?" tanya Genta tersenyum manis. Mereka tak satu ruangan, Genta berada di kelas atas. Sedangkan Rumi berada di kelas tepat bawah tangga naik ke lantai dua.
"Lumayan." Dusta! Rumi bahkan tak bisa fokus.
"Ini baru Bahasa Indonesia. Gue dengar lo cukup pandai di kelas, jadi pasti mudah untuk melakukannya." Genta berjalan bersama, beriringan dengan Rumi. "Meksipun sebenarnya sedikit sulit." Genta menyahut lagi. Dia berbohong, Genta sudah tahu soal dan jawabannya. Gadis yang dia temui di bar memberikan itu pada Genta. Bukan tubuhnya, seperti yang dilakukan Ocha dengan Gilang, tetapi soal dan kunci jawaban. Entah dia dapat dari mana.
"Itu pasti mudah juga buat lo." Rumi menyela. Langkah keduanya terlihat begitu ringan, meksipun ada beban di pundak mereka.
"Lumayan juga," kata Genta terkekeh.
"Ngomong-ngomong ...." Genta memulai lagi. Membuat Rumi meliriknya. "Baretta 92 yang gue temukan di rumah lo, masih ada?" tanya Genta tiba-tiba. Membahas apa yang sudah lalu.
"Kenapa memangnya?" tanya Rumi dengan mengerutkan keningnya samar.
Genta menggeleng dengan samar. "Hanya saja, masih ingat dengan pamanku yang seorang tentara? "
Rumi menganggukkan kepalanya ringan. "Hm, ada apa?"
"Dia berniat membeli itu. Katanya, menyimpan senjata api di rumah akan membahayakan dirimu. Jadi dia berniat untuk menebus itu dan membayar dengan harga yang pantas."
Rumi diam. Menatap Genta yang berjalan di sisinya. Pistol itu sudah kembali pada tuannya. Mr. Tonny. Dia bahkan punya banyak di gudang penyimpanan senjata. Itu tak berbahaya sama sekali.
"Pikirkan, itu akan menguntungkan untuk lo juga menghindarkan bahaya datang."
Rumi menghela napasnya. Dia tak tahu harus menjelaskan itu dengan cara seperti apa, tak mungkin Rumi berkata bahwa seorang pria dewasa terus saja menerobos ke dalam rumahnya. Bahkan, dia hampir saja kehilangan keperawanannya kemarin karena Mr. Tonny. Genta tak akan percaya dengan mudah.
"Pistolnya sudah tidak ada ...." Rumi melirih. Memainkan ujung jari jemarinya.
"Tidak ada? Jangan bilang ...."
"Gue tidak membuangnya," sahut Rumi. Menatap Genta yang bernafas lega. "Bi Nana mengambilnya. Katanya itu punya teman kakek. Jadi dia mengembalikannya."
Genta diam. Tak ada suara yang menyela lagi.
"Mungkin dia menjualnya." Rumi melirih. Menutup kalimat.
Genta menghela napasnya dengan panjang. Anggukan mengakhiri pembicaraan pasal Baretta 92. Toh juga, itu tak begitu penting. Genta hanya mengkhawatirkan Rumi saja.
"Ngomong-ngomong ...." Remaja itu kembali menyela. Tak betah kalau tak ada pembicaraan di antara keduanya.
Remaja itu menghentikan langkah kakinya. Begitu juga dengan Rumi yang dipaksa melakukan hal serupa, Genta menarik pergelangan tangan gadis itu. Membawanya tetap diam di tempat sekarang. "Mau belajar bareng nanti malam?" tanya Genta. Tiba-tiba saja, Rumi merasakan ada yang lain dari tatapan Genta. Mereka tak terlalu akrab sebelumnya.
"Maksud gue ... Besok adalah matematika. Mungkin lo butuh beberapa materi. Gue ada dari tempat les." Genta melepas genggaman tangannya perlahan-lahan. Tersenyum kikuk kala Rumi hanya diam, menatapnya. Gadis itu benar-benar kaku pada orang asing. Genta dan dirinya belum dekat terlalu lama. Mereka hanya sebatas teman biasa sebelumnya.
Nata berdehem ringan. "Gue gak bisa janji ...." Rumi tersenyum tipis. Kembali melanjutkan langkah kakinya.
Genta mengikuti. Berjalan ringan kembali beriringan dengan gadis itu. "Lo canggung sama gue?"
Rumi melirik ke arahnya. Genta menyenggol sisi bahu Rumi, berharap gadis itu mau sedikit lega ketika bersamanya.
Rumi menggelengkan kepalanya. "Kenapa harus canggung?"
"Kita tidak akrab dan berusaha untuk itu. Sebelumnya lo adalah kekasih Gilang. Gue sama Gilang gak cocok."
Rumi tersenyum tipis. "Memang kenapa jika dulunya gue kekasih Gilang? Sekarang sudah tidak."
Percakapan sejenak terhenti. Genta terlihat begitu nyaman dengan Rumi, meksipun sebaliknya tak begitu. Kalau boleh jujur, Genta sempat melirik Rumi dan memandangnya sebagai seorang perempuan yang menarik. Namun, kala itu, Gilang jauh lebih dekat dari dugaan. Dia membenci Gilang, itu sebabnya Genta mengabaikan perasaan suka itu. Nyatanya, semakin jauh dan semakin lama Genta memendam, rasa sukanya tak pernah berkurang. Sekarang waktu memberikan banyak kesempatan untuk Genta memanjakan mata dan perasaannya sendiri.
"Gue dijemput," ucapnya tiba-tiba. Menghentikan langkah kaki Rumi. "Mau bareng sekalian? Kita lewat halte bus yang biasanya menjadi tempat lo nunggu."
Rumi tersenyum manis. Menoleh ke arah mobil mewah yang terparkir di sisi gerbang masuk. Genta dan dirinya jauh berbeda. Rumi bahkan tak pernah naik mobil semewah itu sebelumnya jika saja pengawal Mr. Tonny waktu itu tidak menjemputnya.
"Nggak perlu. Naik bus dari halte di sana jauh lebih sulit. Enak dari halte bus di sisi sekolah."
Genta mengangguk paham. "Hubungi gue jika sudah sampai ke rumah." Genta mengusap puncak kepala Rumi. Membuat gadis itu terkejut. Tak pernah mendapat perlakuan semanis ini sebelumnya. "Gue pergi dulu."
Rumi memandang kepergiannya dengan sayu. "Genta!" panggil gadis itu kemudian. Membuat Genta kembali menoleh padanya. "Kenapa gue harus mengabari? Biasanya tak pernah begitu."
Genta tersenyum manis. Wajahnya benar-benar tampan dan nyaman untuk dilihat. "Biar gue gak khawatir."
... To be continued ...