Blackbutter Club, diskotik sisi kota.
Rumi bodoh, entahlah. Dia berakhir di tempat seperti ini, senja ini. Bukan tanpa alasan, Rumi datang sebab mencari Bi Nana yang sudah berhari-hari hilang kabar. Dia sudah datang ke rumah bibinya yang ada di perempatan tak jauh dari klub malam yang buka selepas jarum jam menunjuk pukul lima sore. Sekarang hampir petang, mungkin beberapa menit lagi, langit senja akan menghilang. Berharap bintang datang, tetapi naasnya mendung menghadang di atas sana.
Rumi masuk ke kawasan yang tak seharusnya dia jajaki. Nyatanya, hanya bermodalkan nekat saja Rumi datang menggunakan seragam sekolah. Layaknya seperti remaja nakal yang putus asa sebab nilai tak kunjung baik.
"Hei!" Seseorang menyenggol bahunya, membuat Rumi hampir saja tersungkur ke depan. Gadis itu menoleh. Menatap siapa yang baru saja menyenggolnya dengan kasar.
Tubuh pria yang kekar, dua orang mengikutinya di belakang.
"Mencari seseorang, Nak?" tanyanya sembari menyentuh sisi bahu Rumi, meremasnya perlahan. "Atau ... kamu berkerja di sini?"
Rumi mengerutkan keningnya. Tempat ini tak ubahnya seperti yang ada di film-film. Bar dan klub malam, menjajakan apapun yang dianggap haram dan tabu untuk masyarakat umum. Namun, Jakarta punya tempat seperti itu di dalam kotanya. Berjajar di pinggiran kota, tepat di sisi kolong jembatan yang jauh dari jamahan pelancong asing. Tentu saja, tempat seperti ini disembunyikan. Ini adalah aib yang tak boleh dibuka untuk mata dunia. Jakarta tidak sekotor itu.
"Kamu anak baru?" Dia melihat kaki Rumi yang sedikit gemetar, takut diapa-apakan.
Rumi mencoba berani. Menatap mata pria bertubuh jangkung di depannya. "Aku mencari bibiku," katanya dengan lirih.
"Bibimu?" Pak tua itu membungkuk, menyamakan tingginya dengan Rumi. "Ah, siapa namanya?"
"Nana," ujar Rumi. Menyabut mamanya dengan mantap.
"Nana? Tak ada yang punya nama itu di sini." Pria itu tertawa. Melirik ke arah kedua temannya. "Ah, begini saja ...." Ia meraih kedua bahu Rumi. "Kamu ikut aku, kita tunggu di dalam sana. Aku akan mencari bibimu."
Rumi diam, menatap ke sekitar kemudian. Suasananya memang tak terlalu ramai. Tempat ini akan penuh jika malam tiba. Keputusan yang sedikit tepat, jika Rumi mengunjunginya jam segini. Namun, pria ini membuatnya sedikit takut.
"Banyak orang yang pakai nama samaran di sini, aku akan mengambilkan foto dan kamu menunjukkan wajah bibimu itu," katanya mengarahkan.
Rumi mengulum salivanya. Dia bukan gadis bodoh, tetapi mau bagaimana lagi? Bibinya pasti punya nama lain dan identitas palsu sebagai jalang kota.
Rumi menganggukkan kepalanya kemudian. Pria itu tertawa senang, puas dengan mudah menipu gadis polos ini.
"Ikut aku." Dia mengiring Rumi. Berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan dengan cahaya lampu remang di sana.
"Kamu duduk dulu, biarkan temanku yang mencari." Pria itu mengarahkan lagi. Mirip seorang pemandu wisata.
Rumi duduk dengan ragu, menjaga jarak. Namun, pria itu mendekatinya. Duduk berhimpitan, tak mencipta celah sedikitpun.
"Paman bisa sedikit geser?" tanya Rumi memberanikan diri. Dia tak tak tahan aroma alkohol di sini. Pria ini mungkin menahan mabuk agar terlihat waras.
"Paman?" Pria itu tertawa. Menepuk paha Rumi beberapa kali, membuat gadis itu mulai merasa ngeri bercampur terkejut. "Panggil mas aja," katanya. Menggoda.
Sialan! Ini yang Rumi benci.
"Kamu umur berapa?" tanyanya menggoda. Jari jemarinya tiba-tiba saja bermain di atas rok Rumi. Membuat gadis itu risih bukan main.
Rumi menggeser posisi duduknya. Berusaha menjauh, tetapi dia sudah berada di ujung sofa. Pria itu pun tak mau lengah, terus mendekati dan menghimpit tubuh Rumi.
Dia memandang Rumi. Dari atas hingga ke bawah. Berhenti pada satu kancing kemeja yang terbuka, normal. Begitulah cara siswi menggunakan seragamnya. Menyisakan satu kancing dipaling atas.
Pria itu tersenyum aneh. Tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya di telinga Rumi. Berbisik, "Kamu datang bukan untuk bibi kamu kan?"
Rumi mengerutkan keningnya.
"Kamu datang untuk uang sekolah?" katanya lagi. Menebak asal, yang penting dapat mangsa.
"Aku punya beberapa uang, kamu mau?" imbuhnya lagi. Tiba-tiba saja menarik tubuh Rumi untuk mendekat. Mendekapnya.
Gadis itu meronta. Mendorongnya dengan kasar. Dia tak suka aroma tubuh pria tua ini. Alkohol.
"Bapak mau ngapain!" Dia menyentak. Kasar. Bukannya tak sopan, pria ini memang tak pantas diberi kesopanan. "Aku akan panggil polisi jika ...." Ucapan Rumi terhenti tatkala pria itu menarik kerah bajunya. Mengendus aroma tubuhnya layaknya seekor anjing yang mencari mangsanya.
"Menjauhlah!" Gadis itu bangun dari tempatnya. Berusaha pergi, tetapi tangannya ditarik dengan kasar. Membuat Rumi terjatuh. Kali ini tepat di atas pangkuan pria itu.
Dia mendekapnya. Erat. Tak peduli Rumi yang meronta sekuat tenaga. Ia melakukan tugasnya. mengusap punggung Rumi, merabanya. Napsu merajalela sekarang. Rumi benar-benar sudah keliru! Tak seharusnya dia datang ke tempat semacam ini.
Sekarang, semuanya telanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Dia berada dalam kandang macan yang siap melahapnya habis.
... To be continued ...