Mengejutkan! Rumi tak habis pikir dengan pria satu ini. Dia mirip seorang penyihir yang bisa menggunakan pintu antar dunia. Bahkan, Saat Rumi datang padanya, ia tak merusak kunci gembok pagar belakang sekolah. Semuanya mulus dan halus. Ia layaknya pencuri kelas kakap.
"Mau aku pindahkan ke sekolah yang lebih bagus?" --terus saja begitu. Rumi sudah mendengar kalimat yang sama terulang sebanyak lima kali dalam satu jam yang sama. Selepas pria aneh ini mengusir Genta dari sisinya, ia duduk di sisi Rumi. Anehnya, ia tak merasa asing. Mr. Tonny layaknya seorang kekasih yang berkunjung di tempat kekasih perempuannya. Terus saja merecoki gadis ini tanpa mau memberi sedikit celah agar Rumi bisa bernapas dengan lega. Kedatangan Mr. Tonny benar mengejutkan dirinya.
"Ikut denganku dan aku akan menjamin semua pendidikan dan masa depanmu." Suara berat kembali menginterupsi. Rumi masih kokoh kala tawaran menggiurkan hampir saja menggoyahkan pendiriannya. "Aku seorang pria."
"Lantas?" Rumi menoleh. Ditatapnya Mr. Tonny sedikit membidik. Kesan tak suka jelas-jelas saja ada. Mr. Tonny Ayres adalah orang asing untuk Rumi.
"Pria akan menepati janjinya."
Rumi menghela napasnya panjang. "Bapak bisa pergi dari sini jika tak punya hal penting untuk dibicarakan," tutur Rumi dengan lembut. Meskipun ia tak suka dengan kehadiran Mr. Tonny, tetapi Rumi tak bisa bersikap kurang ajar dengan mencaci maki pria tua ini. Meskipun sebenarnya, di dalam hati Rumi semua umpatan sudah keluar. Namun, semuanya tertahan di dalam sana. Ini adalah lingkungan sekolah. Mampus saja jika Rumi tertangkap basah mengumpat pada pria jauh yang lebih tua darinya.
"Menikahlah denganku." --sial, kalimat itu lagi.
Rumi menghentikan aktivitas kecilnya. Pandangan mata itu tertuju pada wajah tampan milik Mr. Tonny. Ia bukan orang Indonesia, itulah kesan pertama yang datang dari tatapan intens ini. Wajahnya begitu asing dengan tingkat ketampanan yang berbeda. Ia lebih mirip aktor yang cocok memerankan film mafia di dunia gelap dengan genre kisah romance metropolitan. Kesan barat melekat di atas wajahnya.
"Aku tak bisa melakukannya." Rumi menghela napasnya ringan. "Aku bahkan baru akan lulus satu bulan lagi, Pak. Aku harus fokus pada ujianku minggu depan. Jadi jangan tolong jangan menggangguku dan pergilah," ucap Rumi dengan lembut. Sumpah demi apapun, tak ada gerak yang diciptakan oleh pria sialan ini. Membuat Rumi ingin menumpahkan segala emosinya dan mengumpat habis-habisan untuknya.
"Aku akan akan pergi setalah kau menjawab pertanyaanku tadi. Menikahlah denganku," tukasnya. Wajahnya berbicara tanpa ekspresi. Bukan seperti seorang pria yang jatuh cinta lalu memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, Rumi melihat sebaliknya dari wajah Mr. Tonny. Pria ini bahkan tak punya napsu untuknya. Lalu mereka menikah atas dasar apa?
"Aku mohon, Pak. Ini bukan lingkungan yang bisa kau datangi sembarangan," imbuh Rumi memohon. Ia menutup buku bacaannya dan mengemasi barang-barangnya. Menata dan menumpuknya menjadi satu lalu mengangkat itu bersama dengan tubuh rampingnya yang bangkit. Mendorong kursi kayu yang ia duduki, hingga menimbulkan semua suara yang sejenak menyita fokus Mr. Tonny.
"Aku akan melunasi hutang nenekmu dan membuatmu tinggal juga hidup dengan nyaman. Maka, jadilah istriku." Mr. Tonny tetap pada pendiriannya. Pria itu masih ingin Rumi berada di sini dan berbicara dengannya. "Aku tak akan menyakitimu dan aku tak akan menculikmu. Aku juga tak akan mengurungmu. Jadi—"
"Bapak tuli?" tanya Rumi tiba-tiba. Kalimat itu sukses membuat Mr. Tonny diam membisu. Ia dibungkam paksa dengan kalimat yang baru saja muncul dari celah bibir Rumi. Ekspresi wajah gadis itu pun seakan menyempurnakannya. Rumi marah sekarang.
"Bapak orang berada bukan? Jas mahal itu, jam tangan mahal itu, sepatu mahal itu, semuanya tak murah! Artinya, Bapak juga orang berpendidikan. Setidaknya punya lah sopan santun. Aku yakin, bahkan budaya barat pun mengajari pasal sopan santun," ucapnya menahan emosi. Di dalam dada Rumi sudah menggebu-gebu. Ingin segera mengumpat habis-habisan.
"Apapun alasannya, aku tak akan menikah denganmu. Lagian ... aku punya pacar!" Rumi kali ini meninggikan nada bicaranya. Bukan ingin bersikap kurang ajar, tetapi percaya saja bahwa Rumi sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menahan semua gejolak di dalam hatinya. Pria ini terus aja membuatnya jengkel dan dongkol.
"Maafkan aku ... aku bukannya ingin bersikap kurang ajar, tetapi ...." Kalimat Rumi terhenti begitu saja. Tawa ringan yang muncul dari celah bibi Mr. Tonny menyita seluruh perhatian miliknya. Gadis itu diam sembari mengerutkan keningnya samar. Selain menyebalkan, pria ini juga aneh. Mirip orang gila yang baru saja dilepas bebas di alam liar.
"Kau benar-benar mirip dengan ibumu, Rumi."
Rumi semakin tegas mengerutkan keningnya.
"Ah, tidak ... mirip ayahmu."
Kali ini gadis itu bereaksi. Ia mengambil dari langkah mendekat dan memberi tatapan tajam pada pria di depannya itu. "Jangan membawa-bawa mereka. Aku tak peduli dengan ayahku. Aku tak punya ayah. Jadi, jangan samakan aku dengannya." Rumi menutup kalimatnya. Ia melirik pria yang ada di depannya itu lalu mulai mengambil langkah dan pergi dari hadapan Mr. Tonny.
"Ibumu bekerja padaku." Mr. Tonny tak akan pernah mau melepaskan Rumi begitu saja. Kesempatan untuk berbicara dengan gadis itu tentu saja tak mudah di dapatkan. Ia harus menunggu bertahun-tahun lamanya untuk ini.
Rumi menolehkan kepalanya. Memandang wajah Mr. Tonny dari jauh. "Aku bilang jangan bercanda pasal ibuku."
"Dia bekerja di bawah asuhan Hawtorn dan menjadi wanita pembidik pertama di Black Wolf hampir 15 tahun yang lalu. Dia tewas karena kelalaiannya sendiri. Seharusnya dia tak pernah melakukan hal itu."
Rumi menyeringai tipis. "Anda membicarakan orang yang salah. Ibuku meninggal setahun setelah melahirkanku. Dia tewas sebab kecelakaan."
"Dia wanita perliharaanku." Mr. Tonny menampik. Merogoh masuk ke dalam kantong jas tebal yang ia gunakan, mengeluarkan sebuah kartu nama kecil. "Datanglah kemari. Aku membangun Sarang Temporer Black Wolf di Jakarta. Aku akan memberikan semua yang kau butuhkan."
Gadis itu tak bergeming, bahkan saat Mr. Tonny menyerahkan kartu nama dengan nama pria itu yang menjadi objek utamanya. "Ambilah," tukasnya. Menarik paksa tangan Rumi. Memberikan itu meksipun ia tahu, Rumi mungkin saja langsung membuangnya selepas ini.
"Kau sudah tidak punya nenek, padahal Rahasia kebenaran akan hidupmu ada di tangan wanita tua itu. Hanya aku yang kau punya, Rumi. Hanya aku yang tahu seperti apa kisah kedua orang tuamu yang lampau. Bagaimana mereka bertemu, hidup, dan bagaimana dunia menyiksa mereka hingga di titik darah penghabisan." Setiap kata yang diucapkan oleh Mr. Tonny layaknya sebuah anak panah yang berusaha menembus jantungnya. Rumi sekuat tenaga untuk tetap bisa berdiri dengan tegap.
"Datanglah jika waktumu senggang. Black Wolf selalu menerima serigala betina yang baru." Pria menutup kalimat. Tersenyum ringan, lantas pergi meninggalkan Rumi yang masih mematung di tempatnya.
"Mr. Tonny!" Rumi berteriak lantang. Namun, pria itu tak peduli. "Dasar bajingan gila!"
... To be continued ...