Chapter 5 - 5. Jalang!

Ada sebuah luka yang dibawa oleh waktu datang bersama memori lama yang terbuka, Rumi terus meratapi kematian sang nenek. Wanita tua itulah yang sudah membesarkan dirinya. Mengajari Rumi bagaimana kerasnya dunia, bahkan dialah yang menjadi ibu utama di samping ibu kandung yang datang sejenak, singgah bak dermaga kapal besar, lalu pergi dengan membawa nyawa melayang di udara dan raga dipendam tanah sedalam-dalamnya. Hatinya hancur, sumpah demi apapun, Rumi benar-benar tenggelam dalam air matanya sendiri. Kesedihan berlarut-larut, tetapi tak ada obat penenang yang tepat. Ia sendirian! Dunia meninggalkan dirinya. Hiruk pikuk kota seakan menyepi begitu saja. Duka di dalam hatinya, merenggut semua rasa bahagia. Rumi kehilangan semua semangat yang menggebu. Liburan di Bali besok tahun depan yang akan datang bersama nenek, pupus dalam satu malam.

Hatinya kembali terluka, Rumi terlalu muda untuk merasakan semua cobaan ini. Ia terlalu muda untuk melakukan semuanya sendirian. Namun, apa boleh buat? Tetangga hanya peduli sebatas ucapan duka cita saja. Mereka juga punya urusan dan masalahnya masing-masing.

"Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Kamu kembali dengan keadaan basah kuyup bukannya mandi, malah meringkuk di sana." Seseorang menyela Rumi. Ia muncul dari dalam dapur sembari membawakan sup hangat dengan satu mangkuk gunungan nasi di sisi nampan kayu yang sudah tua. Di rumah ini, tak ada barang mewah. Neneknya terlalu 'sederhana' untuk membeli barang-barang mewah yang tak terlalu penting.

Gadis itu menghentikan isak tangisnya. "Bibi ada di sini?" Rumi mendongakkan kepalanya. Ia menatap sayu wanita sepantaran almarhumah ibunya, mungkin. Pandangan sayu yang diberikan Rumi seakan menjadi ujung tombak yang tajam menggores hati wanita paruh baya itu. Anak dari saudaranya yang sudah lama tiada, menangis sebab duka dan lara. Meksipun ia bukan seorang ibu, tetapi dirinya bisa merasakan itu.

"Mandi dulu baru makan supnya," ucapnya mengabaikan. Nada bicara itu 'keras dan tegas' khas orang desa kalau sedang berbicara. Bukan marah, itulah Bibi Nana kalau berbicara. Layaknya orang marah dengan nada bicaranya yang ketus dan ekspresi wajah yang judes. Setidaknya, Rumi masih punya satu harapan untuk hidup. Ia tak benar-benar sendirian sekarang. Tuhan menyisakan satu orang untuk menemaninya. Mungkin bukan tempat bersandar atau mencurahkan isi hati dan keluh kesah, sebab Rumi tak dekat dengan wanita ini.

Rumi berdiri perlahan-lahan. Matanya terus saja sayu dan sendu, tetesan air hujan yang turun dari setiap ujung rambut panjangnya itu mulai membentuk genangan di atas lantai kayu yang menjadi alas pijakannya saat ini.

"Rumah ini akan disita," ujarnya dengan lemas. Ia berdiri mematung sembari menatap ke arah sang bibi. "Aku bilang rumah ini akan segera disita, Bi Nana!" Ia mulai kesal. Tiba-tiba? Ya. Dasar anak puber!

"Lalu?" pekik Nina ikut menyahut dengan nada kerasnya. "Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya lagi. Pasrah! Bukan hanya Rumi yang sedang kacau saat ini. Nenek tua yang baru saja meninggal adalah ibu kandungnya. Ia anak termuda dari semua kakak-kakak yang sudah tua dan punya kehidupan sendiri.

"Aku harus membantumu dan memberimu tumpangan, Rumi?" tanyanya lagi. Ia meletakkan semangkuk sup panas dengan kasar. Menimbulkan suara dentingan kaca yang sejenak menyita fokus Rumi.

Ya, inilah konfliknya! Bi Nana bukan wanita baik-baik yang bisa mengasuh perawan suci seperti dirinya. Kehidupan di metropolitan benar-benar keras dan mengerikan.

"Rumi ... kamu tahu siapa aku bukan?" tanyanya berbasa-basi. Mencoba membangun kembali pengertian di dalam diri gadis muda itu. "Ikut denganku sama saja menghancurkan masa depanmu." Bi Nana memejamkan rapat kedua matanya. Jari jemarinya mengepal, apapun yang terjadi, Rumi tak bisa 'dirusak' itulah wejangan dari ibu kandungnya. "Duduklah dan makan apa yang sudah aku siapkan. Aku tak bisa lama-lama di sini. Aku harus kembali kerja."

"Aku tak punya masa depan lagi," ucap Rumi mulai pasrah. "Lebih baik menjadi wanita jalang sepertimu, Bibi. Itu akan lebih melegakan sebab aku punya uang dan tempa tinggal untuk hidup." --menyerah dan pasrah. Rumi ikut saja pada jalan yang Tuhan berikan padanya sekarang. Jika harus ikut menjadi 'kupu-kupu malam' yang hinggap di setiap bunga yang indah, Rumi akan merelakan semuanya. Ia tak punya siapa-siapa selain bibinya itu.

"Hentikan omong kosong itu dan mandilah. Aku harus pergi setelah ini." Nana kembali mengabaikan. Ia enggan menggubrisnya lagi. Ide yang bodoh! Apapun alasannya, Rumi tak boleh ikut dengannya.

"Aku tak punya siapa-siapa lagi!" Rumi membentak. Tiba-tiba saja isak tangis kembali pecah. Ia menjadi cengeng malam ini. "Aku ... aku sendirian!" Ia kembali bersimpuh. Harapannya lenyap, fakta menamparnya dengan begitu keras. Wanita di depannya adalah wanita penghibur. Banyak laki-laki yang sudah mencicipi tubuhnya. Dunia Nana bukan dunia Rumi. Rumi pantas mendapatkan hal yang lebih baik. Tentunya dengan membangun kembali masa depan.

"Kalau begitu tinggallah di panti!" Nana menyentak. Ia melempar kasar sendok yang baru saja ingin diletakkan di dalam mangkuk. "Panti jauh lebih baik dari rumah para pejabat hidung belang."

"Pelacur juga pekerjaan bukan?" tanya Rumi melirih. Bangkit lagi, seperti orang gila yang tak punya kewarasan lagi. Ia berjalan mendekat ke arah wanita yang ada di depannya. "Pelacur juga sesuatu yang disebut sebagai jalan kehidupan bukan?" Gadis itu terus berteriak-teriak bak kesetanan. Akalnya hilang, toh juga, ia tak perlu akal sehat sekarang.

Nana menggelengkan kepalanya. "Tidak, Rumi. Itu bukan pekerjaan juga bukan jalan kehidupan. Itu seperti ... seperti sebuah kesalahan yang terus berlanjut seiring berjalannya waktu." Nana mencoba menjelaskan. Ini itu, kalimat ia berusaha lontarkan pada Rumi agar gadis itu mau mengerti. "Aku akan membayar biaya sewanya dua bulan ke depan. Aku juga akan membayar SPP-mu hingga dua bulan ke depan. Gajiku hanya cukup untuk itu. Uang duka dari nenekmu bisa kamu gunakan untuk makan atau semacamnya. Kamu bisa cari—"

"Jika itu kesalahan, kenapa Bibi melakukannya?" Rumi menyela memotong kalimat Nana. Keduanya saling diam, mendiamkan. Nana memahami apa yang ada di dalam pikiran bocah puber ini.

Nana menghela napasnya. "Karena aku membenci-Nya."

Rumi diam. Ia diam membisu selepas mendengar kalimat sang bibi.

"Aku membenci Tuhan yang sudah mengambil semuanya dariku, Rumi. Kita punya nasib yang sama, tetapi jalan kita berbeda."

"Apa yang beda?!"

Nana mengulum salivanya. Menarik kedua bahu Rumi dengan kasar dan mencengkeramnya kuat. Membuat si gadis merintih kesakitan. "Masa depanmu masih panjang jika kamu kau berjuang, Tuhan terkadang harus dilawan. Takdirnya tak bisa selalu buruk. Percayalah! Pelangi akan muncul untuk harapan baru nanti. Aku akan berdoa untuk itu."

"Doa pelacur diterima?" Rumi kembali menjawab. Kalimat yang mengejutkan!

"Tuhan tak pernah pilih-pilih siapa yang berdoa pada-Nya jika itu benar-benar tulus datang dari hati. Aku akan mencoba untuk mempercayai itu mulai sekarang, Rumi."

... To be Continued ...