"Kirana!" Ibu memanggil dari luar kamar.
"Iya, Bu!" Kirana baru membuka matanya, ia melihat jam, sudah pukul 5 pagi, lalu perlahan ia membukakan pintu kamarnya.
"Masih mual?" Tanya Ibunya.
"Eemm maa-sih." Jawabnya sambil melihat kebelakang, ia takut kalau ibunya melihat bungkus obat pereda masuk angin didalam kamarnya yang semalam baru saja ia minum.
"Nanti kita kebidan untuk periksakan kandunganmu." Ujar Ibu.
"Hah, periksa kandungan?"
"Iya!"
"Kayaknya nanti aja deh Bu! Soalnya aku masih mual. Hueekkk..." Kirana berpura - pura ingin muntah.
"Justru itu nanti minta obat pereda mual sama dokter kandungan, ya!"
"Tapi kan hari ini aku mau kerja." Kirana beralasan.
"Kamu kuat kerja?"
"Iya, insyaallah kuat."
"Yaudah, nanti malam aja periksa kandungannya setelah kamu pulang kerja."
"Iy-yaa..."
Kirana bingung, ia harus alasan apa lagi agar ibunya tidak menyuruhnya untuk periksa kandungan. Sebelum berangkat kekantor, ia membereskan kamarnya dulu, ia membuang bungkus obat pereda masuk angin yang semalam ia minum.
Setelah bersiap-siap, ia langsung turun dari kamarnya, untuk sarapan pagi bersama ayah, ibu dan kedua adiknya.
"Eh pelan-pelan turun tangganya!" Ucap ibu. Kirana lupa kalau ia sedang berpura-pura hamil.
"Ibu udah masak sayur, karena kamu harus banyak makan sayur, agar janin kamu dapat nutrisi dengan baik."
Kirana tak biasa pagi-pagi makan sayur, apalagi ia tidak terlalu suka sayuran hijau, tapi kali ini ia harus memakannya. Ibu menuangkan sayur kepiring Kirana.
"Kok kamu bengong? Ayo makan!" Ujar Ibu.
Akhirnya Kirana memakannya, baru dua suap, ia berlari kekamar mandi.
"Hueeekkkk...." Kirana sengaja memuntahkannya.
"Kamu mual makan sayur? Sayang banget ya padahal kan ini sayuran bergizi untuk kesehatan janin kamu."
"Iya, aku ga bisa makan sayur, Bu!"
"Waktu ibu hamil sih mualnya itu biasanya cuma sampai 3 bulan, setelah itu baru deh bisa makan apa aja."
"Oh, gitu..."
"Kamu sabar ya! Nanti sore kita ke dokter."
"Iy-iya..." Lirih Kirana.
Seperti biasa, Kirana berangkat kekantor bersama ayahnya.
"Hati-hati ya, jalannya pelan-pelan aja, Yah!" Pesan Ibu pada Ayah. Ibunya benar-benar mengkhawatirkan janin dalam kandungan Kirana.
Sudah jam pulang kerja, Farhan langsung menuju parkiran motor untuk mengendarai motornya menuju kantor Kirana. Ia ingin membicarakan masalah Kirana yang berpura - pura hamil.
Farhan sudah sampai dilobi kantor, Kirana terlihat masih menunggu ojek online.
Tin ... Tin ...
Farhan membunyikan klakson motornya, lalu diberhentikan motornya dihadapan Kirana. Farhan membuka helmya.
"Kamu! Kok jemput ga bilang-bilang?" Ucap Kirana yang kaget melihat Farhan sudah berada dihadapannya.
"Iya, yuk naik!"
Tak lama kemudian, datang ojek online yang sudah dipesan oleh Kirana.
"Tapiii tukang ojeknya udah datang, gimana dong?" Tanya Kirana yang kebingungan.
"Kamu mau ikut aku atau ikut tukang ojek?" Tanya Farhan.
"Ikut kamu lah!"
Farhan mengeluarkan uang dari sakunya, lalu diberikan kepada tukang ojek tersebut walau Kirana tak jadi menaikinya.
Farhan mengajak Kirana ke sebuah Resto. Mereka duduk berhadapan, lalu menulis pesanan.
"Kiran, sudahi ya sandiwara kamu soal kehamilan itu!" Ujar Farhan sambil melipat tangannya diatas meja, matanya menyoroti wajah Kirana.
"Semua udah terlanjur tau, kalau mereka tau aku berbohong, aku tambah malu."
"Aku ga bisa nikah atas dasar kebohongan!" Tegas Farhan.
"Kamu kok ga menghargai aku sih? Aku udah berjuang sampai rela berpura-pura hamil cuma karena ingin nikah sama kamu, tapi kenapa kamu malah ga mau nikah sama aku? Kita udah dapat restu orang tua aku, tinggal jalan menuju pernikahan." Terang Kirana.
"Iya, aku tahu! Tapi setelah nikah, kita akan melanjutkan kehidupan bersama, kalau semua kebohongan kamu terbongkar, aku ga mau orang tua kamu menuduh aku otak dari semua kebohongan ini!"
Kirana terdiam, Farhan pun tidak mengeluarkan kata - kata lagi. Mereka berdua makan menu yang sudah dipesan masing-masing.
"Memang awalnya gimana? Kok kamu bisa-bisanya bilang kalau kamu hamil?" Tanya Farhan setelah selesai makan.
Kirana menceritakan bahwa awal mulanya, ia sakit, ia merasakan mual-mual karena masuk angin, lalu ibunya menyangka kalau ia hamil, akhirnya ia teringat idenya untuk berpura-pura hamil itu.
Farhan mendengus mendengar cerita Kirana, ia tak habis pikir, kalau Kirana benar - benar menjalankan ide bodohnya ini.
"Kalau memang kita jodoh, kita akan dipersatukan dalam pernikahan. Tapi kalau kita ga berjodoh, sekuat apapun cinta kita dan alasan kita untuk bersatu, kita ga akan bisa bersama." Jelas Farhan.
"Jadi, selanjutnya gimana hubungan kita?" Tanya Kirana.
"Kita tetap putus, kita berteman baik aja ya, tanpa harus berharap lebih. Karena akan sakit nantinya kalau berharap, tapi harapan itu tak jadi nyata."
"Iya!" Jawab Kirana sambil menundukkan kepalanya, ia pasrah karena sudah tidak ada pilihan selain putus, lalu ia mengedip-ngedipkan matanya, ia berusaha menahan air mata yang hampir menetes.
"Udah, jangan nangis!" Ujar Farhan.
Kirana mulai mengerti, hatinya mulai melembut, ia akhirnya menghentikan langkahnya untuk menikah paksa dengan Farhan, ia membuang jauh-jauh semua harapannya. Sekarang, ia hanya bisa pasrah pada takdir dengan siapa ia akan menikah nanti.
Dijalan, tiba-tiba hujan deras. Farhan menghentikan motornya untuk berteduh di depan sebuah ruko yang berada dipinggir jalan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kirana melihat handphone-nya, ada tiga panggilan tak terjawab dari ibunya. Kirana ingin menelepon balik ibunya namun tak bisa karena sinyalnya putus - nyambung, petir masih menggelegar ditelinga mereka. Hujan disertai angin membuat jaket yang dipakai Kirana basah.
"Buka jaket kamu! Nih pakai jaket aku aja!" Ujar Farhan yang tak tega melihat wanita yang dicintainya ini kedinginan.
Kirana langsung mengambil jaket Farhan yang anti air itu, lalu memakainya. Sudah satu jam berlalu, namun hujannya tak kunjung reda, Farhan ingin menerobos dinginnya malam ini, namun ia tak tega dengan Kirana yang baru saja sembuh dari sakitnya.
"Jalan aja yuk!" Ajak Kirana.
"Kamu takut sakit lagi, sini dulu ya! Tunggu sampai hujannya reda." Sahut Farhan.
"Udah deh, kamu ga usah sok - sok perhatian sama aku!" Ucap Kirana sambil membuang muka.
"Perhatian sebagai teman yang baik kan ga apa - apa. Ya kan?"
"Ya tapi ga usah kasih perhatian berlebih, karena kamu ga tau hati perempuan yang sangat penuh harap terhadap laki - laki yang dicintainya." Ketus Kirana.
"Iya, aku ngerti. Memang sulit bagi kamu untuk nerima semua ini, bagi aku pun sulit. Maafin aku ya!" Ucap Farhan mendekat pada Kirana.
Kirana hanya meliriknya sesaat. Ia tak ingin menatap wajah Farhan terlalu lama.
Akhirnya hujan sudah mulai reda, Farhan dan Kirana kembali menaiki motor karena perjalanan menuju rumah mereka masih cukup jauh.
Sampai didepan rumah, Kirana turun dari motor, lalu membuka jaket Farhan dan mengembalikannya. "Makasih!"
"Iya!"
"Langsung istirahat ya, jangan tidur malam - malam!" Pesan Farhan.
"Iya."
Kirana langsung masuk kedalam rumahnya. Ayah, Ibu dan kedua adiknya sedang menunggunya.
"Kiran, kamu hujan-hujanan?" Tanya Ibu.
"Iya, tadi aku udah neduh tapi hujannya ga reda-reda."
"Ya ampun, kamu kan lagi hamil! Jaga kesehatan kamu ya!"
Kirana tak tega jika mengatakan pada ibu yang sebenarnya bahwa ia tidak hamil. Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan kebohongannya.
Kirana beranjak kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, lalu ia ingin meminum obat anti masuk angin yang ada didalam tasnya, saat ia ingin meminumnya, ia melihat sekitar, memastikan bahwa semua keluarganya sedang berada diruang tamu.
Ia membuka kemasan obat dan menuangnya kedalam gelas yang berisi air hangat.
Ketika sedang mengaduk obatnya tiba-tiba, "Kiran! Kamu minum apa?" Ibu tiba - tiba mengagetkannya.
Pranggg....
Gelas yang Kirana pegang terjatuh dan pecah, lalu Ibunya mendekatinya. "Kamu minum apa?"
"Mminum vitamin."
Ibu melihat kemasan obat itu dimeja, ibu tahu kalau Kirana berbohong.
"Kamu kok minum obat itu? Ibu hamil ga boleh minum sembarang obat!" Seru Ibu.
Ibu mengambil lap dan ember, lalu membersihkan pecahan-pecahan gelas beserta airnya tersebut.
Kirana masuk kedalam kamarnya, ia merasa lelah karena berpura-pura hamil.