"Assalamualaikum..." Salam Kirana.
"Waalaikumsalam..." Jawab Ibu.
Ibu, Bapak dan kedua adik Kirana masih berada diruang tengah, mereka masih menonton televisi. Kirana ikut duduk di dekat mereka, ia hari ini lelah tapi bahagia.
"Kamu abis dari mana sih sama Farhan?" Tanya Ibu.
"Makan di Cafe Pelangi, Bu."
"Kok tumben, biasanya jadwal kamu jalan sama dia kan malam minggu?" Tanya Ayah. Kirana tak menjawab, ia memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya pada Ibu dan ayahnya.
"Itu cincin dari siapa?" Tanya Ibu sambil memandang Kirana.
"Dari Farhan." Jawab Kirana.
"Cieee dikasih cincin!" Canda adiknya Kirana yang bernama Fania.
"Iya dong!"
"Untuk apa dia ngasih kamu cincin?" Tanya Ibu.
"Dia ngajak aku nikah, Bu!"
"Hah, nikah?" Ucap Ibu terkejut.
"Iya!"
"Kamu kan belum lama kerja, kamu lagi seneng-senengnya merasakan nyari duit sendiri kan? Masa udah diajak nikah aja!" Tutur Ibu.
"Iya, walau nanti aku udah nikah, aku kan masih bisa tetap bekerja, Bu!"
"Ibu ga setuju kamu nikah sama dia!" Tutur Ibu yang ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi kesal.
"Tapi Bu..."
"Iya, ibu ga setuju!" Ibu memotong pembicaraan Kirana.
Wajah Kirana tertunduk lesu, yang tadinya ia bersemangat ingin meminta restu kedua orang tuanya, tapi ternyata yang ia dapatkan malah ucapan yang membuat hatinya patah.
"Ibu kan udah pernah bilang sama kamu, ibu ga akan setuju kalau kamu nikah sama tetangga dekat!" Cetus Ibu lagi.
"Kenapa, Bu?"
"Nanti kalau ada kejelekan kamu atau kejelekan besannya, akan disebar ke tetangga-tetangga yang lain. Jadi lebih baik kamu dapat suami yang jauh, lebih harum dari pada dekat, bau!" Jelas Ibu.
"Tapi, aku cinta banget sama Farhan, Bu!"
"Tapi ibu ga setuju kalau kamu nikah sama dia! Coba kamu buka hati kamu untuk yang lain! Ibu yakin, kamu bisa!"
Kirana beranjak kekamar, ia langsung mengunci pintu kamarnya. Ia sedih, ibu tidak juga merestui hubungannya dengan Farhan, padahal ibunya Kirana dengan mamanya Farhan berteman baik, mereka sebagai tetangga tak pernah ribut-ribut.
Kirana membuka jendela kamarnya, ia melihat kearah jendela kamar Farhan yang lampunya masih menyala. Biasanya kalau sudah tidur, Farhan selalu mematikannya, kalau masih nyala, berati Farhan belum tidur.
Kirana tak langsung menceritakan pada Farhan, ia masih sedih. Ia tak ingin Farhan tahu, bahwa ia sedang menangis. Sekian lama Kirana mencintainya, sekian lama mereka membangun sebuah hubungan atas dasar cinta dan kepercayaan, rasanya sayang sekali kalau tidak berujung pada pelaminan. Dari jaman mereka sekolah, sudah ada beberapa cowok yang menembak Kirana namun ia menolaknya karena ia mempertahankan Farhan untuk tetap berada dihatinya.
Sudah jam 2 dini hari, Kirana belum juga bisa memejamkan mata. Kirana melihat lagi keluar jendela, lampu kamar Farhan sudah dimatikan, ia sudah nyenyak dalam tidurnya, ia sedang bermimpi, memimpikan indahnya pernikahan dengan Kirana. Sedangkan, Kirana sendiri tak ingin memimpikannya, karena mimpimya belum tentu jadi nyata.
Kirana mencoba untuk memejamkan mata lagi, namun masih tak bisa dipejamkan, matanya sudah lelah, namun pikirannya masih tak bisa diajak untuk beristirahat, padahal jam 5 pagi ia harus sudah bangun untuk kembali bersiap-siap pergi kekantor.
Tok... Tok... Tok...
"Kiran, bangun!"
Ibu mengetuk pintu, lalu membangunkan Kirana. Kirana menggosok - gosok matanya, lalu ia melihat jam, ternyata sudah jam setengah 6 pagi, Kirana langsung bergegas kekamar mandi untuk berwudhu, lalu melaksanakan sholat subuh yang kesiangan, setelah itu ia mandi secepat kilat, lalu ia langsung turun dari kamarnya.
"Ibu udah bangunin kamu dari jam setengah lima, kamu belum juga bangun. Ayo sarapan dulu!" Ucap Ibu sambil menuang teh kedalam cangkir Kirana.
"Nggak Bu! Nanti telat."
"Ibu bungkusin ya nasinya untuk kamu makan dikantor!" Tawar Ibu.
"Ga usah, Bu!" Jawab Kirana, ia hanya meminum secangkir teh hangat lalu bergegas keluar.
Kirana sedang tidak nafsu makan pagi ini, ditambah kurang istirahat, mata dan pikirannya masih lelah tapi sudah harus berangkat berjuang mencari rejeki.
"Wajahmu pucat, kamu ga dandan?" Tanya ayah sambil memandang wajah anaknya itu.
"Nggak!"
"Yaudah, ayo berangkat!" Ucap Ayah.
Kirana berpamitan dengan Ibu, lalu ia naik diatas motor ayahnya. Tiap pagi, ia selalu bareng dengan ayah berangkat ke kantor, karena tempat kerjanya searah dengan kantor ayahnya. Kirana melihat kerumah Farhan, motornya sudah tidak ada, ternyata Farhan sudah berangkat kekantor lebih pagi darinya.
Kirana dan Farhan sangat bersemangat mencari pundi - pundi rupiah untuk di tabung demi masa depan mereka, mereka berharap uang tabungannya bisa cukup untuk acara pernikahan bahkan cukup untuk membeli rumah mereka kelak.
Jalanan pagi ini padat merayap. Setelah sampai dikantor ternyata Kirana telat. Beberapa orang memperhatikan penampilannya, Kirana heran melihat pandangan orang-orang, seperti ada yang aneh pada dirinya.
"Hai, tumben lo telat!" Ucap Elfa, rekan kerja Kirana yang meja kerjanya berada didepan meja Kirana.
"Iya nih!" Jawabnya, sambil duduk dibangkunya.
"Lo ga dandan? Muka lo pucet banget." Tutur Elfa.
"Oh ya?"
"Nih ngaca!" Elfa menghadapkan cermin kecil ke wajah Kirana.
"Iya, gw pucet banget!"
"Kenapa sih? Abis nangis ya? Abis diputusin pacar?" Tebak Siska, yang juga rekan kerja Kirana.
"Nggak!"
Kirana baru mengetahui kalau ternyata orang-orang melihat dengan tatapan yang aneh karena wajahnya pagi ini benar-benar pucat tanpa bedak dan lipstik.
"Pak Roni udah dateng?" Tanya Kirana pada Elfa.
"Udah."
"Gw ke toilet dulu ya, mau dandan!" Izin Kirana.
"Oke!"
Kirana berjalan menuju toilet, tiba-tiba Brukk....
"Eh sorry!" Ucap Kirana. Ia tak sengaja menabrak Pak Roni, Pak Roni adalah atasan Kirana.
"Kiran! Kamu baru datang?" Tanya Pak Roni.
"Iya Pak. Maaf saya mau ke toilet dulu!"
Kirana memoleskan wajahnya dengan bedak dan lipstik agar terlihat lebih segar dipandang, ia harus fokus pada pekerjaannya hari ini, ia tidak ingin masalah pribadinya malah membuat konsentrasinya buyar.
Kirana melihat handphone, ternyata ada pesan dari Farhan.
[Hei, udah sampai kantor? Tadi pas aku berangkat, motor ayahmu masih ada, kamu berangkat jam berapa?]
[Iya, tadi aku telat karena bangunnya kesiangan. Yaudah, aku mau kerja dulu ya]
[Oke, met kerja cantik]
Kirana kembali ke meja kerjanya, ia mulai mengerjakan pekerjaannya. Baru saja mulai bekerja, matanya tak bisa diajak bekerja sama. Kirana ngantuk, memandangi angka-angka di layar komputer. Ia kembali ke toilet untuk mencuci muka.
Jam istirahat tiba, Kirana kekantin bersama Elfa dan Siska.
"Kenapa sih hari ini, keliatan ga semangat gitu?" Tanya Siska sambil mengaduk-ngaduk jus alpukat digelasnya.
"Iya, gw ngantuk. Semalam ga bisa tidur." Jawab Kirana.
"Kalau gw mah begitu nemplok dikasur, langsung pules. Soalnya kan pulang kerja, capek." Tutur Siska sambil menuang saos kedalam mangkuk baksonya.
"Iya, biasanya gw juga begitu. Tapi karena ada yang lagi dipikirin, jadi ga bisa tidur." Jawab Kirana dengan santai.
"Hayooo mikirin apa?" Cecar Elfa.
"Ada deh!" Jawab Kirana sambil melirik Elfa.
Kirana belum pernah menceritakan tentang Farhan pada mereka. Biasanya Kirana bercerita tentang Farhan dengan teman-teman semasa kecilnya, karena mereka yang menjadi saksi kedekatannya dengan Fathan, lalu mereka juga menjadi saksi Kirana dan Farhan menjadi sepasang kekasih.
Jam pulang kerja tiba, Kirana berdiri didepan kantornya, ia masih menanti ojek online yang sudah ia pesan.
Drrrttt....
Handphone Kirana bergetar. Farhan mengirim pesan kepadanay.
[Hei, udah sampai rumah belum?]
[Belum, masih nunggu tukang ojek]
[Oke, hati-hati ya]
[Iya]
Tak lama kemudian ojek online datang, Kirana langsung naik keatas motornya.
Setelah sampai dirumah, Kirana langsung masuk dalam kamar. Setelah beristirahat dan mengganti pakaian, Kirana berdiri di balkon rumahnya, memandangi rumah Farhan yang lampunya masih menyala terang, masih jam 9 malam, Kirana yakin Farhan dan keluarganya belum tidur.
Kirana memandang keatas langit, bulannya terlihat indah, ada beberapa bintang juga yang terang. Hembusan angin malam menyentuh hingga ketulangnya. Kirana melihat ada yang indah melebihi bulan dan bintang, yaitu Farhan, Farhan tiba-tiba berada di balkon juga, mereka saling tertawa.
Mereka berbicara dari kejauhan, tak lama kemudian Farhan menelepon Kirana.
"Hei, kenapa sih kok kamu keliatannya sedih?" Tanya Farhan dibalik telepon.
"Ga apa-apa kok!"
"Aku tuh udah lama kenal kamu, jadi aku tau, kamu lagi senang atau sedih. Aku udah bisa baca ekspresi wajah kamu."
"Besok ya aku ceritain!"
"Yaudah, besok kita jalan yuk!" Ajak Farhan.
"Iya!"
"Yaudah, kamu istirahat sana, udah malam!"
"Iya!"
"Yaudah, bye!"
"Bye!"
Kirana menutup teleponnya, melempar senyum sesaat pada Farhan, lalu ia langsung masuk kerumahnya, disusul Farhan yang juga masuk kedalam rumah.