"Diandra, Rafli dan Alfa tiba di rumah sakit bersamaan, mereka lalu berjalan ke arah UGD sesuai dengan apa yang tadi Darren katakan di pesan singkat yang di kirim ke Diandra.
Tap tap tap
Diandra mengerutkan alis saat yang dia lihat bukan hanya Darren tetapi juga ada Nadya. Wajah wanita itu terlihat pucat pasi sama dengan pria bernama Darren.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Diandra.
Nadya yang tengah terduduk itu di kursi besi khas rumah sakit yang menempel pada dinding rumah sakit itu bangun dari duduknya dan berdiri tegak saat melihat Diandra, Rafli dan juga Alfa.
Matanya langsung tertuju pada Alfa. "Al?" Nadya langsung berjalan cepat menghampiri Alfa dan langsung memeluknya. "Kamu di sini." ucap Nadya memeluk erat, dia berbicara dengan suara yang serak dan terdengar gemetar.
Diandra yang bertanya namun tak di jawab itu tak begitu menanggapi Nadya, fokusnya kembali pada Nadisya lagi, dia lalu melihat ke arah Darren yang berdiri dengan punggung bersandar pada dinding rumah sakit di samping pintu UGD.
Diandra menelan salivanya saat melihat Darren yang terlihat menatap lurus dengan tatapan kosong, yang membuat hatinya semakin tak tenang ialah saat melihat baju Darren yang dipenuhi dengan noda darah.
"Ren?" panggil Diandra mendekati Darren, "Nadisya gimana?"
Darren menatap Diandra dengan mata yang berkaca-kaca. "Dia masih di dalem," ucap Darren dengan nada yang gemetar juga.
Diandra memeluk Darren dan menepuk pelan punggung Darren.
"Aku takut banget, Dii ...." ucap Darren seraya menyeka air mata yang tumpah saat Diandra memeluknya, "Bentar lagi aku sama dia mau nikah, masa sekarang dia kayak begini," ucap Darren.
Diandra menatap langit-langit rumah sakit, sebisa mungkin dia tahan agar air mata tak tumpah. "Semua akan baik-baik saja, aku yakin Nadisya gak akan kenapa-kenapa kok," ucap Diandra.
"Nadisya gak akan kenapa-kenapa," ucap Rafli seraya menepuk pelan punggung Darren, melihat Darren yang memeluk Diandra, entah mengapa dia merasa tidak menyukainya.
Darren lalu melepaskan pelukannya dan kembali menyeka lagi air mata di pipinya.
"Kok bisa sih, Ren? Ceritanya gimana bisa sampe ketabrak? Kalian lagi apa?" tanya Diandra.
"Aku gak sengaja, Al. Sumpah! Aku gak sengaja," ucap Nadya tiba-tiba.
Diandra dan Rafli yang mendengar sontak langsung melihat ke arah Nadya saat Nadya berucap pada Alfa.
"Aku gak sengaja dorong dia. Dia yang datengin aku, bukan aku!" ucap Nadya seraya terisak kembali. "Tadi aku lagi jalan sendirian, terus dia nyamperin aku, aku udah minta dia pergi dan gak ganggu aku lagi, tapi dia malah terus ngedeketin aku, aku kesel terus aku dorong dia," jelas Nadya. "Aku takut, Al. Aku takut banget." ucap Nadya lagi seraya kembali melingkarkan tangan lagi memeluk Alfa.
Alfa diam tak menjawab ucapan Nadya.
Sedangkan Diandra yang mendengar Nadya berucap itu langsung memegang lengan Nadya dan langsung menariknya dengan kasar hingga Nadya melepaskan pelukannya dan menghadap ke arah Diandra. "Apa kamu bilang? Kamu yang dorong dia?" tanya Diandra.
"Gak usah berlebihan! Dia gak akan kenapa-kenapa! Namanya juga gak sengaja! Lagian Nadisya kan yang nyamperin, ya dia lah yang salah! Udah deh, gak usah lebay! Emang dasarnya dia drama queen!" ucap Alfa bersuara.
"Jangan mengucapkan sepatah kata pun lagi!" ucap Darren dengan nada sarkas pada Alfa.
"Kamu denger ya, Nad. Kalau sesuatu yang buruk terjadi sama Nadisya, demi apapun aku akan semakin membenci kamu dan aku gak akan pernah mau maafin kamu! Selamanya aku bakalan benci sama kamu!"
Nadya yang mendengar Diandra berucap itu menelan salivanya.
15 menit kemudian.
Seorang wanita paruh baya berusia hampir setengah abad dan juga seorang wanita berusia 20 tahun datang dengan langkah tergesa dan terlihat panik.
"Ren? Disya gimana?" tanya Wanita paruh baya bernama Vitta.
"Mama," ucap Darren langsung memeluk ibunya. "A-aku gak tau ... dia udah lama banget di dalem, aku takut banget, Maa ...."
"Ya Allah ...." Vitta melepaskan pelukannya putranya dan mencoba mengintip pada kaca kecil di pintu namun tak terlihat apapun.
"Insya Allah Nadisya gak akan kenapa-kenapa, Tante. Kita berdoa aja," ucap Diandra. Dia melihat Darren dan Vitta yang terlihat sangat panik, tak mungkin dia memasang wajah yang panik juga, tetapi hatinya sama sekali tidak bisa berbohong, dia juga sama khawatirnya.
Beberapa menit kemudian
Seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan itu. Vitta, calon ibu mertua Nadisya yang sudah menganggap Nadisya sebagai putrinya itu langsung mendekati dokter itu.
"Dok? Anak saya gimana?" tanya Vitta.
"Dia gak pa-pa kan, Dok? Calon istri saya gak kenapa-kenapa kan?" tanya Darren.
Dokter itu diam sejenak, lalu setelahnya dia menggeleng pelan. "Maaf ...."
Semua orang langsung menelan salivanya saat dokter mengatakan kata maaf.
"Maaf? Maksudnya, Dok?" tanya Darren.
"Dengan berat hati saya katakan, pasien tidak bisa kami selamatkan, pasien kami nyatakan meninggal dunia. Maaf ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien, tapi Tuhan berkehendak lain."
Degh!
Diandra yang sejak tadi mencoba berpositif thinking akan sahabatnya itu mundur beberapa langkah karena kaget, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas, Rafli yang berdiri di samping Diandra itu dengan refleks langsung memegang tubuh Diandra dari belakang.
"Jangan becanda ya, Dok!" ucap Darren memegang kerah baju sang Dokter.
Rafli melepas tubuh Diandra sebentar lalu mendekati Darren, berusaha melepas tangan Darren yang di kerah jas si dokter.
"Ren? Apaan sih? Lepas." ucap Rafli menarik tubuh Darren.
Darren jatuh terkulai lemas, dia bersandar pada dinding di samping pintu ruang UGD. Matanya menatap lurus dengan tatapan kosong.
"Saya permisi," ucap Dokter lalu melangkahkan kaki pergi.
Sedang Diandra, dia mendekati Nadya yang menatap lurus dengan tatapan kosong setelah mendengar dokter mengatakan kalau sahabatnya sudah tiada.
Plak!
Satu tamparan berhasil Diandra daratkan di atas pipi Nadya dengan sangat keras.
Bulir bening kristal keluar dari mata Diandra, begitu juga dengan Nadya, matanya berkaca-kaca saat setelah Diandra menamparnya. "Dii ...." ucap Nadya, tenggorokannya terasa perih sesak.
"Belum lama aku bilang sama kamu untuk jangan pernah menyentuh Nadisya! Jangan ganggu aku ataupun Nadisya! Kenapa kamu batu banget sih, Nad?"
"Dii ... udah, jangan sekarang," ucap Rafli memegang pundak Diandra.
"Dia keterlaluan banget, Raf! Dia bunuh sahabat aku! Kemarin disakitin, dicaci, dimaki, terus sekarang?" Diandra menyeka air mata yang mulai tumpah membasahi pipinya. "Aku udah bilang sama dia, aku udah peringatkan dia berkali-kali untuk jangan pernah ganggu lagi! Tapi apa? Dia bikin sahabat aku satu-satunya gak bernyawa! Apa gak cukup apa dibikin sakit hati, kenapa dibikin gak bernyawa juga?"
"Demi apapun aku berani bersumpah aku gak sengaja," ucap Nadya.
"Diam kamu!" ucap Diandra dengan nada sarkas.
Rafli menarik pelan tubuh Diandra dan memeluk. "Nadisya bakalan sedih kalau liat kamu kayak begini, biarkan dia tenang."
"Enggak! Dia gak akan pernah tenang!" Diandra melepas tubuh Rafli yang memeluknnya, dia lalu mendekati Nadya yang kini terisak lagi. "Tatap aku, Nadya! Jangan pura-pura sedih! Ini rencana kamu kan? Kamu pasti sengaja kan dorong dia biar dia ketabrak dan seolah itu kecelakaan."
"Demi apapun aku beneran gak sengaja, Dii ... aku beneran gak sengaja! Aku gak sejahat itu!" ucap Nadya terisak.
"Kamu jahat banget, Nad! Egois! Dia salah apa sih sama kamu? Kenapa kamu bunuh dia?" tanya Diandra dengan nada sarkas lalu mendorong tubuh Nadya karena kesal. Diandra lalu melihat ke arah Alfa yang sejak tadi diam, dia juga sama shock-nya seperti yang lain. "Dan kamu? Kenapa kamu diem huh? Kamu bahagia sekarang? Perempuan yang kamu benci mati di tangan pacar kamu sendiri, kamu bahagia?"
Alfa menelan salivanya, dia memang membenci Nadisya karena berpikir kalau Nadisya telah mengkhianatinya, tapi setidaknya masih ada rasa dihatinya untuk Nadisya. Alfa menolehkan wajahnya ke arah kiri dan menyeka air mata yang tiba-tiba saja keluar dari matanya.
"Kalian brengsek!" ucap Diandra dengan nada sarkas.
Bersambung