"Brengsek, kalian tuh bener-bener brengsek!" ucap Diandra sembari menangis. Dia lalu meraih kerah baju Alfa dan menariknya. "Kenapa kamu diam aja hah? Kamu seneng sekarang? Kenapa diem aja hah?" tanya Diandra.
Alfa menelan salivanya, matanya juga kini mulai berkaca-kaca, kali ini dia tak berani menatap Diandra dan hanya diam.
"Kamu harus tau, Al, wanita yang sering kamu hina, yang sering kamu permalukan dan terus kamu sakiti itu banyak berkorban untuk kamu!" ucap Diandra.
Rafli sontak langsung menarik pelan Diandra. "Lepas, Dii ... jangan kayak begini, ini rumah sakit dan Nadisya juga udah pesen sama kita untuk jangan bilang kalau–"
Diandra yang sudah melepaskan kerah Alfa itu menatap Rafli. "Udah saatnya pria bodoh ini tau semuanya! Untuk apa menyembunyikan semuanya dari dia kalau korbannya udah gak ada, di bunuh oleh si pelaku utama!" ucap Diandra dengan mata mendelik sinis pada Nadya.
Yang ditatap diam tak berani menatap Diandra juga.
"Maksud kamu?" tanya Alfa mengerutkan alis bingung dan penasaran maksud ucapan Diandra dan juga Rafli.
"Coba tanya sama pacar kamu, dia juga tau semuanya kok, aku pengen tau, setelah kayak begini, dia bakalan cerita yang sebenernya atau enggak," ucap Diandra.
Alfa sontak langsung melihat ke arah Nadya. "Nad? Kamu tau semuanya? Maksudnya apa? Yang Diandra maksud itu apa?" tanya Alfa.
Nadya masih diam tak berani berucap.
"Nadya? Kok diem? Ngomong dong," ucap Diandra seraya menyeka air mata yang terus menetes membasahi pipinya.
"Diandra? Udah ... ini rumah sakit," ucap Rafli seraya memegang pundak Diandra.
"Sahabat aku gak bernyawa Rafli! Gimana bisa aku diem aja! Enggak! Laki-laki sialan ini harus tau yang sebenernya kayak gimana! Biar seumur hidup dia hancur dan ngerasa bersalah! Aku gak mau mereka bahagia setelah ini! Aku mau mereka hancur!" ucap Diandra.
Nadya memejamkan mata saat Diandra berucap, bulir bening kristal menetes membasahi pipinya.
"Kamu gak mau ngomong?" tanya Diandra pada Nadya. "Oke! Biar aku yang ngomong." Diandra lalu melihat ke arah Alfa lagi. "Tatap aku dan dengarkan semua yang aku katakan!"
Alfa sontak langsung melihat ke arah Diandra.
"Aku tuh gak paham sama kamu, Al, kalau kamu cinta sama dia, harusnya kamu kalau Nadisya sama sekali tidak pernah mengkhianati kamu! Apalagi balikan sama Rafli, itu gak mungkin banget! Nadisya tuh punya prinsip tidak akan pernah kembali atau jatuh cinta sama seseorang yang udah jadi mantan! Nadisya sama Rafli gak pernah berhubungan lagi! Kamu salah paham! Dan perempuan di samping kamu itu juga tau! Dia bahkan tau semuanya tapi dia memilih diam, mengkhianati persahabatan dan malah menjalin hubungan sama kamu!" ucap Diandra.
Alfa diam tak menjawab dan mendengarkan Diandra berucap.
"Dan kamu inget waktu Nadya kecelakaan, itu Nadya ditabrak bukan kecelakaan biasa, tapi ditabrak sama ibu kamu!"
"Ibu aku? Maksudnya?" tanya Alfa.
"Ibu kamu gak suka kalau kamu berhubungan sama Nadisya, karena Nadisya yatim piatu dan kerja sebagai staff biasa, dia minta Nadisya buat jauhin kamu tapi Nadisya gak mau, terus ibu kamu nyuruh orang tabrak Nadya, dia sengaja menyakiti orang-orang yang deket sama Nadisya, makanya setelah itu Nadisya menjaga jarak sama kamu, itu bukan karena Rafli balik ke kehidupan dia, tapi ibu kamu yang berulah! Terus setelah itu barulah setan cantik ini masuk ke kehidupan kamu! Dia tau kalau Nadisya gak salah, Nadisya menerima tekanan dari ibu kamu, tapi dengan PD-nya dia tetap mendekati kamu dan menjalin hubungan sama kamu, dia mengambil kesempatan!" jelas Diandra.
"Kamu ... gak bohong kan?" tanya Alfa menelan salivanya.
"Kalau kamu gak percaya, tanya aja sama pacar kamu yang sekarang ada di samping kamu itu, ucapan aku ini bener atau enggak."
Alfa sontak langsung melihat ke arah Nadya. "Nad? Beneran? Dia bohong kan?" tanya Alfa.
Nadya diam tak menjawab ucapan Alfa dan hanya menunduk.
"Nadya? Jawab dong!" ucap Alfa.
"A-aku ... minta maaf, aku salah," ucap Nadya menunduk.
"Huh!" Alfa menghembuskan napasnya dengan sangat kasar setelah mendengar Nadya berucap, walau hanya beberapa kata, Alfa sudah bisa menyimpulkan kalau yang Diandra katakan benar. Nadya juga sama sekali tidak membela diri atau mengatakan yang Diandra katakan itu salah. Itu artinya yang Diandra katakan benar adanya.
Alfa langsung menerobos masuk ke dalam ruang UGD.
Sedang Diandra, dia mundur beberapa langkah hingga punggungnya bersandar pada dinding rumah sakit.
Rafli mendekati Diandra dan mengelus lengan Diandra. "Kita masuk yuk," ajak Rafli.
Diandra menatap Rafli dengan mata yang berkaca-kaca-kaca.
Rafli yang melihat wajah Diandra memerah itu langsung menarik pelan tubuh Diandra memeluk.
Hiks hiks hiks
"Gak pa-pa, nangis aja," ucap Rafli seraya mengelus punggung Diandra.
Diandra terisak saat kepalanya bersandar di dada Rafli, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan kepala terasa berat, hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
Diandra terkulai lemah saat Rafli memeluknya.
"E-eehh ... Dii? Diandra?" panggil Rafli seraya memeluk erat tubuh Diandra agar tak terjatuh, dia lalu menggendong tubuh Diandra. "Sus, Sus ... tolong, temen saya pingsan," ucap Rafli pada seorang suster yang lewat.
***
"Istrinya gak pa-pa, Mas ... cuma jangan dibikin stress ya .... "
Rafli sontak langsung mengerutkan alis. "Istri?" gumam Rafli.
"Nanti saya kasih vitamin, diminum teratur ya ... biar ibu sama bayinya kuat," ucap seorang wanita mengenakan jas berwarna putih itu.
"Hah? Bayi?" tanya Rafli membulatkan matanya sempurna karena kaget. "Maksudnya bayi apa?" tanya Rafli.
"Istri Mas-nya hamil," ucapnya lagi seraya tersenyum.
"Ham-hamil?" tanya Rafli, dia memegang antara leher dan juga dada yang entah mengapa terasa sesak.
"Iya, selamat ya, Mas ...."
Rafli lalu melihat ke arah Diandra yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit di dalam ruangan. "Kamu hamil? Anak siapa, Dii?" batin Rafli berucap. "Ya Allah ... kok sakit banget hati aku."
Beberapa menit kemudian.
Diandra keluar dari ruangan setelah dia sadar, dia hendak menemui Nadisya. Dia berpegangan pada pintu saat kepalanya masih terasa berat.
Rafli yang berjalan di belakangnya sontak langsung memegang pundak Diandra. "Kamu gak pa-pa?" tanya Rafli.
"Enggak, aku gak pa-pa."
"Kamu istirahat aja dulu," ucap Rafli.
"Enggak, aku mau liat Nadisya," ucap Diandra kembali melangkahkan lagi kakinya.
Rafli masih berdiri di tempatnya, dia teringat saat tadi di restoran saat Diandra yang tiba-tiba saja tidak suka bau ayam bakar padahal Diandra sangat menyukai ayam bakar, dia juga teringat saat tadi Diandra membeli minuman bersoda dan juga buah nanas. "Pantes!" batin Rafli berucap, dia lalu berjalan cepat mengejar Diandra dan langsung meraih pergelangan tangan Diandra.
Diandra sontak langsung menoleh dan melihat ke arah Rafli. "Apa?"
"Kamu istirahat sebentar, aku juga sekalian mau ngomong sama kamu," ucap Rafli.
"Nanti ya, Raf ... aku mau ketemu sama Nadisya dulu," ucap Diandra melepas tangan Rafli di pergelangan tangannya dan kembali melangkahkan lagi kakinya.
"Itu anak siapa Dii? Bayi yang di kandung kamu itu anak siapa!" ucap Rafli dengan nada gemetar.
Diandra sontak langsung menghentikan langkah. "Bayi?" gumam Diandra, dia lalu berbalik dan melihat ke arah Rafli.
Rafli yang sudah berkaca-kaca itu berjalan mendekati Diandra, hingga akhirnya dia berdiri satu langkah di depan Diandra.
"Siapa ayah dari bayi yang sedang kamu kandung, siapa hah?" tanya Rafli.
"Kamu ... kok ...?"
"Kenapa? Kenapa muka kamu kaget kayak begitu hah?"
Diandra menelan salivanya.
Rafli memegang kedua pundak Diandra. "Itu anak siapa? JAWAB AKU!" ucap Rafli dengan nada sarkas dan mata yang terbuka lebar melotot terlihat berkaca-kaca juga. Dia juga meremas bahu Diandra dengan sangat kuat hingga Diandra terlihat meringis kesakitan.
"Sakit, Raf ...." ucap Diandra berusaha melepas tangan Rafli di bahunya.
Beberapa orang yang berlalu lalang juga melihat ke arah Rafli dan juga Diandra.
"Jawab, anak siapa?" tanya Rafli lagi.
"Aku akan mengatakannya, aku bakalan cerita sama kamu kenapa bisa kayak begini, tapi nanti."
"Aku mau sekarang," ucap Rafli.
"Aku mohon, Raf ... jangan sekarang, aku mau liat dulu Nadisya, aku mohon ... kamu ngertiin aku, aku mau ketemu dulu Nadisya."
Rafli memejamkan mata, dia mencoba menetralkan hatinya yang entah mengapa terasa hancur. "Oke ... kita temuin dulu Nadisya, baru setelah itu kamu ceritain semuanya sama aku."
Diandra tak menjawab ucapan Rafli lagi, dia lalu berbalik dan melangkahkan kaki.
Tes
Bulir bening kristal keluar dari matanya saat berjalan. "Dokter yang periksa tadi, pasti dia yang bilang sama Rafli. Itu artinya ... aku beneran hamil?" gumam Diandra.
Bersambung