Kota suttgart tampak dingin meski matahari sudah muncul. Kota yang di dalamnya banyak orang yang berpakaian rapi dan profesional. Terdapat banyak juga penduduk setempat yang bekerja dengan keras.
Bangunan kapel sepulchral tampak besar dan kuno. Di dalamnya terdapat kisah tragis sang raja dan ratu. Lalu di dalamnya juga merupakan tempat peristirahatan pasangan kekasih ini.
Di sekeliling bangunan terdapat kebun anggur yang sangat luas. Pemandangan hijau rumput juga ada di sana. Sementara dua orang pria dengan wajah khas warga setempat sedang berjalan dengan cepat.
Josh sang walikota terlihat menggunakan topi seperti seorang pelukis. Sementara Boy dengan dagu tegas dan rambut rapi itu terus mengikuti sang walikota. Karena Boy adalah bodyguardnya.
Mereka berdua berusaha untuk tidak terlihat mencolok oleh orang di sekitar. Setelah memesan sebuah kopi hangat dan donat Boy kembali duduk bersama tuannya.
Mereka berdua menunggu cukup lama. Suasana mulai ramai di kedai itu. Sementara walikota sangat khawatir kalau Jack tidak datang.
"Apa kau sudah menghubungi Jack dengan benar?" tanya Josh dengan wajah gusar.
"Sudah pak walikota. Saya sudah menghubungi Jack beberapa kali. Kita coba tunggu beberapa menit lagi," Boy memberikan saran.
Pemandangan yang ada di depan mereka adalah kebun anggur yang luas. Mereka menghadap ke arah itu. Karena tidak ingin semua orang tahu bahwa itu adalah walikota mereka.
Kini Jack datang dengan tergesa gesa. Pria dengan tatto di lehernya itu ada di tengah dua orang anak buahnya. Dua anak buah dengan kulit hitam dan putih.
"Maaf, Pak Walikota saya terlambat," wajah Jack tampak merasa bersalah.
Mereka bertiga menunduk dengan permohonan maaf. Josh memandang sengit pria di depannya itu.
"Dasar bodoh! Bagaimana kalau kau bisa sukses kalau bertemu orang penting saja seperti ini. Pantas saja, bisnismu itu tidak pernah naik," ejek Josh dengan tegas.
Sementara Jack tidak bisa berkata apapun. Ia paham apa yang di katakan oleh orang di depannya adalah benar.
"Cepat kalian berdua duduk!" perintah sang bodyguard walikota itu.
Jack duduk bersama dengan kedua anak buahnya.
"Aku sudah mempunyai rencana agar aku bisa bersama dengan Jihan tanpa ada gangguan," jelas Jack dengan wajah serius.
"Bagaimana rencananya Pak Walikota?" tanya Jack penasaran.
"Kalau rencana ini berhasil kalian akan mendapatkan komisi yang sangat banyak. Bahkan bisa untuk membangun sebuah club' malam," terang Jack dengan sorot mata misterius.
Jack langsung berwajah girang. Pikirannya sudah mulai menjelajah kemana-mana. Dia akan menjadi orang kaya.
"Jelaskan padaku apa itu rencananya? Pasti saya akan melakukannya dengan yang terbaik, Pak Walikota," kata Jack dengan percaya diri.
"Jangan ada yang tahu tentang rencana ini. Mengerti?" Jack mewanti-wanti dengan tajam.
Kini mereka semua membicarakan dengan serius rencana mereka. Rencana yang sangat detail untuk di laksanakan.
***
Sementara di sebuah rumah sakit yang tidak terlalu besar. Aku sangat senang sekali bisa di temani oleh Jihan. Perempuan pemberani dan sabar ini sedang mengupas anggur dengan teliti.
Aku sengaja menyuruhnya untuk mengupas kulit anggur. Karena aku ingin memandangnya dengan lama. Kulit anggur yang tipis pastilah akan sedikit susah untuk di kupasnya.
"Nah, sudah. Ini makanlah," seru Jihan dengan melihat ke wajahku.
Tangan dengan jari jari panjangnya menyodorkan sebiji anggur ke mulutku. Aku mengunyahnya dengan perlahan.
"Terimakasih, ya. Sudah mau merawatku seperti ini. Aku tidak tahu siapa lagi yang akan merawatku jika bukan kau," ucapku.
"Ini semua mungkin sudah takdir. Kau tidak perlu berterimakasih," kata Jihan dengan santai.
Dia kembali menyuapi aku lagi.
"Aku tidak akan lama kok, di sini. Aku akan cepat kembali untuk membantumu," ucapku dengan tidak enak hati kepada Jihan.
"Jangan memikirkan tentangku. Kau urusi saja badanmu itu yang sedang sakit. Aku sudah memesan tiket dan aku akan segera pergi dari kota ini. Mungkin aku akan hidup di sebuah desa," jelas wanita dengan rambut pirang itu. Kedua matanya seolah sedang berandai-andai sebuah pemandangan yang tenang.
"Kau bilang kau akan ke kota yang kau dari sini," selaku karena dia sempat bercerita akan pergi dari kota ini ke kota yang lain.
Wanita bermata coklat dengan alis rapi dan hidung bangir itu menghembuskan nafas pelan.
"Aku sudah memikirkan yang terbaik untukku dan setelah berpikir aku memutuskan untuk hidup di sebuah desa. Entah dimana tapi aku yakin aku akan merasa damai di desa. Karena sejak dulu hidupku selalu berada di club'. Aku tidak ingin melihat banyak orang dan mendengar musik musik lagi. Aku ingin melihat danau, gunung udara yang segar. Meski uangku tidak banyak. Namun aku mungkin akan nyaman jika ada di desa," jelas Jihan dengan kedua mata berbinar.
Kulihat Jihan sangat ingin menuju ke tempat itu. Matanya seperti bercerita bagaimana indahnya apa yang ada di benaknya. Gadis pemberani dengan segala masa lalu yang kelam.
"Aku menyetujui apa yang kau mau Jihan. Aku senang kau bisa bermimpi seperti itu. Oh, ya aku belum pernah tahu kau menyukai apa," kataku dengan penasaran.
"Hm, mungkin aku suka membaca dan aku kadang juga menulis apa yang aku rasakan. Tetapi masih sangat jelek bagiku," kata Jihan dengan tawa kecil.
Aku pun tersenyum melihat wajahnya yang sangat membuatku ingin terus berada di dekatnya.
Tiba-tiba telfonku berbunyi. Siapa lagi kalau bukan ibuku.
"Aku ada di suatu tempat, Bu. Kau tidak usah mengkhawatirkan aku," kataku dengan tegas.
"Katakan pada ibumu. Dimana kau sekarang heh? Apa kau tidak kasihan dengan ibu sudah mencarimu kemana-mana," suara ibu membuatku menyingkirkan ponsel dari telingaku.
"Bu, aku bukan anak kecil lagi. Kau tidak usah gelisah seperti itu, Bu. Biarkan aku dengan kebebasanku sendiri. Aku menyayangimu, Bu," ucapku dengan tegas. Karena aku sudah lelah dengan ibu yang selalu bertingkah dan aku di buatnya seperti sebuah robot.
"Bagaimana mungkin ibu tidak khawatir. Kau berteman dengan seorang kupu-kupu malam. Itu sangat bahaya untuk karirmu, Aslan," tegas sang ibu dengan suara penekanan yang tinggi.
"Bu, semua orang itu pasti punya masa lalu. Jihan kini sudah berusaha untuk tidak menjadi seperti itu, Bu. Aku akan selalu berada di samping Jihan. Karena dia adalah wanita hebat, Bu." Ucapku dengan percaya diri.
Kulihat Jihan yang berdiri akan pergi. Namun tanganku mencegahnnya dengan menggenggam erat pergelangan tangannya.
"Sudah ya, Bu. Aku pasti akan pulang. Aku menyayangimu, Bu." ucapku dengan cepat. Lalu menyentuh layar untuk mengakhiri panggilan.
Ku tatap wajah Jihan yang terlihat redup.
"Kau jangan memikirkan apa kata ibuku, ya? " pintaku dengan tulus.
"Iya aku berusaha untuk itu. Aku hanya malu saja saat kau bilang .. "
"Aku akan selalu berada di sampingmu karena kau wanita hebat," selalu dengan tersenyum kepada Jihan.