Taman yang ada di dekat kota sangat indah. Aku dan Jihan memandang rumput hijau yang terbentang luas. Ada juga beberapa orang yang duduk di atas rumput itu dengan keluarga dan juga kekasih mereka. Aku dan Jihan duduk di sebuah kursi berbahan besi warna putih.
Aku sangat menikmati hawa sejuk ini. Meski dingin namun terasa nyaman bagiku. Aku merasa hidup kembali saat ini. Sejak berada di rumah sakit aku seperti berada dalam kandang burung. Aku tidak bisa menghirup udara dengan bebas.
Kini kulihat wanita manis bernama Jihan di sampingku. Dia sangat terlihat tegar meski aku tahu banyak kesakitan di dalam hidupnya.
"Jadi kau sudah siap aku pergi?" tanya Jihan dengan lirih.
Aku melihat wajahnya yang kini melihatku. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.
"Memangnya aku terlihat sedih, ya?" tanyaku.
"Menurutmu?" alis Jihan menaik.
"Hem, kenapa kalau malah bertanya kepadaku jika aku sudah siap atau belum jika kau pergi,"
"Ya, karena aku melihat kau seperti sedang sedih. Entahlah, aku tidak tahu," kata Jihan dengan mencoba santai.
Aku menghembuskan nafas berat.
"Ya, jujur saja aku sedih. Karena aku akan berjauhan dengan teman baik sepertimu. Kau adalah teman terbaikku selama ini. Tapi aku juga senang karena melihat kau bisa bebas oleh ayahmu. Aku sangat berharap kau akan hidup nyaman di desa nantinya," ucapku dengan jujur.
Jihan tersenyum manis mendengar ucapanku.
"Ya terimakasih, selama ini kau sudah mau membantuku. Doakan aku ya? Agar aku bisa menggapai mimpiku di desa nanti," ucap Jihan.
"Selalu," jawabku melempar senyum.
Kini waktu sudah di mulai dan saatnya perpisahan ini tiba. Aku mengantar Jihan sampai di sebuah stasiun. Beberapa menit lagi kereta akan segera datang. Tapi kenapa hatiku sangat tidak enak sekali. Aku merasa ada seseorang yang menyoroti gerka gerik aku dan Jihan. Entahlah, aku tidak tahu. Mataku mencoba melihat-lihat ke sekeliling. Ada banyak orang di stasiun ini. Ada yang duduk di kursi sambil memegang ponsel. Keluarga yang berisik dengan banyaknya anak yang memakai ransel. Lalu ada banyak orang yang duduk di kursi menunggu datangnya kereta. Aku tidak melihat orang-orang ini mencurigakan.
"Semoga saja, aku tidak lagi bertemu dengan ayahku," ucap Jihan tiba-tiba.
"Harusnya kau jangan berdoa seperti itu," protesku melihat Jihan.
Wajah Jihan penasaran melihatku.
"Harusnya kau berdoa semoga ayahmu bisa bertaubat dengan sungguh sungguh dan tidak melakukan perbuatan berdosa lagi," nasihatku kepada Jihan.
"Ya, ya ya," seru Jihan mengangguk-angguk.
"Kau benar juga sih," Jihan tertawa kecil.
Kini suasana semakin ramai karena mendengarkan kereta yang melaju. Kini kereta berhenti di stasiun dan beberapa orang langsung berjalan menuju pintu masuk kereta.
Sungguh hati ini rasanya ingin menarik tangan Jihan dan tidak membiarkannya pergi dariku. Namun itu tidak akan membuat Jihan senang. Ia lebih senang jika bebas hidup di desa tujuannya. Mungkin saat ini aku harus menahan keinginanku dahulu. Aku harus memberikan Jihan waktu untuk dia bersenang-senang dengan hidupnya.
Rasanya seperti membiarkan terbang kupu-kupu yang indah. Aku pasti akan sangat merindukan Jihan. Rindu yang nantinya akan aku wujudkan dengan pertemuan yang istimewa.
"Aku pergi dulu, ya?" ucap Jihan dengan wajah cantik yang sempurna. Ia menyentuh lenganku sesaat lalu melepaskannya. Seperti sebuah perpisahan bersama kekasih tersayang. Meski dia hanya temanku saat ini.
"Jangan merindukanku ya?" ledekku dengan sombong.
Jihan tertawa kecil.
"Kau pasti yang akan merindukan aku," tunjuk dia di depan hidungku.
"Oke, baiklah. Aku akan mengaku kalau aku pasti akan merindukanmu dan mungkin kau juga. Iya kan? Mengaku saja lah," sindirku dengan mengerlingkan mata.
"Hahaha, mungkin saja," seru Jihan dengan mengibaskan rambut panjangnya.
"Sampai jumpa kembali," Jihan berkata lirih dan matanya melambaikan dengan cepat.
Aku mengangguk melihatnya lalu dia berbalik dan berjalan beberapa langkah.
"Jihan?" panggilku dengan kaku. Aku benary tidak bisa untuk melepaskannya begitu saja.
"Bolehkah aku memelukmu?" tanyaku dengan canggung. Mataku melihat sekeliling sesaat.
Jihan langsung saja memelukku. Daguku berada di pundaknya. Kedua tanganku juga memeluknya dengan erat.
"Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi," ucapku dengan lirih di dekat telinga Jihan.
Kini aku sudah merasa lega sekarang. Aku melepas pelukan dengan lembut. Mata Jihan menatapku sejenak lalu tersenyum. Kini dia sudah berjalan dengan langkah yang panjang menuju ke pintu kereta. Aku melihatnya di jendela yang bening. Dia berjalan melewati beberapa orang di dalam kereta itu. Aku terus berjalan untuk bisa melihatnya.
Tiba-tiba saja seseorang berjalan cepat ke arah Jihan. Aku panik sekali dan langsung berlari menuju pintu kereta. Ternyata Jihan menyadari bahwa dia telah di kejar seorang pria. Saat Jihan keluar dari pintu. Aku sempat melihatnya dan memanggilnya. Namun Jihan tetap saja berlari dan pria bertopi itu mengejar Jihan. Aku terus berlari untuk menahan pria itu. Namun aku sama sekali tidak bisa menahan pria misterius itu.
Kakiku berlari berusaha sekencang mungkin. Bersama nafas yang berderu cepat. Pikiranku sangat kacau. Bagaimana kalau sampai Jihan jatuh dari larinya? Bagaimana kalau sampai pria itu berhasil menangkap Jihan? Ya Tuhan pikiranku benar-benar kacau sekali.
Aku terus melihat dengan fokus punggung pria itu yang berlari sangat cepat. Aku mengejar dia dengan cepat melewati keramaian orang yang sedang berjalan. Lalu berlari melewati lampu merah hingga aku hampir saja di tabrak oleh sebuah kendaraan beroda empat. Aku kembali berlari lagi mengejar pria itu. Kini pria itu berlari cepat ke anak tangga yang begitu banyak. Aku sesekali berhenti mengatur nafas tetapi pria itu tetap saja berlari mengejar Jihan. Hingga aku bisa melihat Jihan di pegang tangannya dengan erat. Lalu pria itu menarik Jihan dengan keras berlari. Aku langsung saja berlari kembali mengejar mereka.
Sampai di sebuah atap gedung. Tiba-tiba pria itu menodongkan sebuah pisau yang kecil namun terlihat sangat tajam. Tangan pria berwajah kulit hitam itu memeluk leher Jihan. Aku sangat panik sekali melihat semua itu.
"Jangan mendekat atau aku akan membuat Jihan terkapar di sini," ancam pria itu yang merupakan anak buah dari Jack.
Aku memundurkan diri karena aku tidak mau Jihan sampai terluka. Namun aku beranikan diri untuk bertanya kepada pria itu.
"Mau kau apakan Jihan? Kalau berani tantang aku dulu sebelum kau pergi membawa Jihan," ucapku dengan lantang dan membuat ancang ancang untuk berkelahi.
Pria itu panik dan melihat ke atas. Aku tidak tahu dia akan kabur kemana. Ini adalah lantai paling atas. Dia sudah tidak bisa lari lagi dariku.
Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh. Sebuah helikopter terlihat jelas. Aku melihat dengan panik. Mereka pasti akan membawa Jihan. Ya Tuhan. Jihan akan di bawa kemana?