Chereads / My Chance / Chapter 2 - Permintaan

Chapter 2 - Permintaan

Menurutmu apa yang lebih mengejutkan, bertemu dengan cinta pertama atau fakta bahwa dia telah memiliki anak?

Bagi Elza, dua-duanya sama-sama mencengangkan. Kenapa harus sekarang, Elza tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Karena baginya, cinta pertamanya sedikit istimewa.

Guratan ketakutan tercetak jelas di wajahnya.

Arvin langsung memeluk Kaira dengan erat sambil bernafas lega. Elza bisa melihat, laki-laki itu sangat penyayang.

Betapa beruntungnya wanita yang menjadi istrinya. Namun buru-buru Elza menggeleng, kenapa juga ia memikirkan hal seperti ini.

"Ya Tuhan, syukurlah," gumamnya berkali-kali. Kini pandangan matanya lekat menatap sang putri.

Ada saat-saat di mana pria akan nampak jauh lebih keren.

Yaitu ketika ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan anak kecil yang berada di depannya.

"Kaira ke mana saja? Papa cariin ke mana-mana," ujar pria tampan itu sembari merapikan rambut putrinya dengan lembut.

Untuk waktu sebentar, Elza dibuat terpaku. Pria itu terlihat panik dan lega sekaligus. Siapa juga yang tak panik anaknya tiba-tiba menghilang.

"Dia belum berubah," gumam Elza.

"Tadi Kaira kesasar Pa, lalu kakak peri bantuin kakak peri," celetuk gadis itu sambil menoleh ke arah Elza yang tengah memegang paha ayam.

Sambil mengikuti tatapan putrinya, mata keduanya pun bertemu.

Sontak hal itu membuat Elza salah tingkah.

"Kakak peri?" ucap sang pria menatap Elza.

"Tidak! bukan begitu! Namaku Elza," tukasnya cepat kenapa tiba-tiba jadi terasa ambigu pikirnya.

Elza kemudian menjelaskan maksud dari panggilan Kakak peri. Ia begitu karena takut gadis itu mengira bahwa dirinya penculik. Ia juga menceritakan perihal Kaira yang menangis di dekat pohon willow.

Tentu saja dirinya bersikeras mengatakan bahwa ia tak punya niat apa-apa selain menolong.

"Terima kasih banyak Nona, saya tidak tahu bagaimana nasib Kai jika bertemu orang jahat tadi, untung dia bertemu dengan anda," ucap pria itu yang mengenalkan dirinya sebagai Arvin, walau Elza sudah tahu namanya, kata-katanya sangat sopan dan terdengar lembut di telinganya.

Ia tahu Elza tak memiliki niat apa-apa. Seketika ada rasa aneh melingkupi diri Elza.

"Ingat dia sudah punya anak," ucap Elza dalam hati.

Setelahnya, kedua anak dan papa itu pergi meninggalkan Elza yang termenung. Karena Arvin tiba-tiba mendapatkan panggilan penting. Sebelum pergi ia berharap suatu hari nanti bisa membalas kebaikan Elza.

"Dia tidak mungkin masih mengingatku, pada akhirnya perasaan ini terus tumbuh tanpa tahu caranya untuk berhenti, aku mengenalinya hanya sekali pandang, aku pikir aku benar-benar sudah melupakannya, tapi kok aku sedih ya," ucapnya lirih.

Ada seekor kucing mendekat, hingga sisa ayam segera gadis itu berikan untuk hewan mungil berbulu.

Sementara dirinya memilih untuk pulang sebelum diteror oleh telepon sang ibu.

Tiba-tiba sekilas ia mengingat ucapan sang peramal tadi.

"Jodoh apanya, orang pria yang kusukai dulu ternyata sudah punya anak," gumamnya entah kenapa malah kesal.

Sementara itu, Kaira sendiri sudah duduk dengan anteng di kursi samping Arvin mengemudi

"Papa," panggil Kaira tepat ketika Arvin menyalakan mobilnya setelah memasangkan selt belt.

"Apa sayang?" sahut Arvin menoleh pada putri kecilnya. Menunggunya bicara.

Gadis kecil itu tersenyum dengan riang. Kedua bola matanya berbinar-binar.

"Kaira mau punya mama kayak Kakak peri," celetuknya.

"Hm?!"

***

"Tante, temenin aku ke dokter gigi ya?" tanya Naya, gadis berusia sembilan tahun itu menatap ke arah Elza.

Elza baru saja sampai ke rumah kakaknya, Zara, yang meminta tolong untuk mengantarkan putrinya ke dokter gigi, kebetulan ia sedang sibuk sekarang, sebab Zara sudah mulai bekerja lagi, ia dulu memilih resign sampai Naya berumur 7 tahun, dan baru dua tahun belakangan ia berkerja lagi karena bosan di rumah terus.

Sementara Elza yang berprofesi sebagai penulis di salah satu kantor itu tengah menikmati hari liburnya.

Belum lagi naskah novel barunya sedang tahap naik cetak. Jadinya sembari memikirkan judul novel baru ia memilih untuk sekalian istirahat.

Kadang-kadang ketika di panggil Tante oleh keponakannya, saat itulah ia sadar. Usianya memang tak lagi muda. Berasa cepat tua dia.

Elza segera mengganguk.

"Naya enggak takut dokter gigi kan?" tanya Elza balik. Gadis itu pun langsung menggeleng.

"Memangnya Naya anak kecil apa, lagipula gigi Naya bagus, dan datang ke dokter gigi tuh supaya Gigi Naya makin sehat," ucapnya santai dan riang.

Elza mengusap rambut keponakannya pelan. Padahal baru kemarin rasanya ia menimang bocah itu, sekarang tahu-tahu sudah besar saja.

Naya juga pandai bicara, meski anak satu-satunya ia sama sekali tak manja seperti kata kebanyakan orang, anak semata wayang itu manja, malah Naya menjadi pribadi yang mandiri dan penurut, mungkin karena didikan mamanya juga ia bisa seperti sekarang.

Zara pun akhirnya pamit, ia mencium pipi putrinya sekilas dan berpesan agar tak merepotkan Tante Elza dan jadi anak penurut, gadis itu langsung mengganguk sambil tersenyum, ia kemudian meminta Elza untuk menjaga putrinya.

Walau tanpa di bilang seperti itu pun tentunya akan ia jaga.

"Sukses untuk rapatnya," kata Elza menyemangati.

Zara tersenyum sebelum masuk ke mobilnya. Adiknya itu sudah dewasa, cantik dan mandiri juga, tak jarang ada yang ingin berkenalan dengan Elza melalui perantara dirinya, tapi sayang sekali, adiknya itu sama sekali tak berminat mengenal lawan jenis.

Ia berharap adiknya segera mendapatkan pacar.

Lagi pula ia bosan di teror oleh orang-orang itu. Dan yang paling penting, ia merasa lebih baik Elza sendiri yang mencari pendampingnya.

Toh nanti yang menjalaninya juga Elza, tugasnya hanya merestui.

Jika tak cocok ia akan mengingatkan Elza. Tapi tetap, keputusan akhir itu ada pada tangan adiknya.

Jadi sekarang ia hanya harus menunggu.

Naya memang pintar, ia langsung duduk di kursi sebelah sambil memakai selt belt. Mobil itu pun melaju.

Walau ini pertama kalinya ia datang ke klinik, Elza tak perlu khawatir kesasara karena Naya lah yang menjadi penunjuk jalan.

Naya bilang dia sering datang ke sana, dokternya baik dan ramah. Jadinya Naya betah mana ganteng pula.

Seketika saat keponakannya bicara seperti itu, Elza langsung menoleh dengan wajah tercengang. Apakah keponakannya terlalu cepat dewasa, kenapa ia malah membahas dokternya ganteng.

Hingga Naya pun menjelaskan, banyak yang datang kemari karena dokter itu ganteng.

Elza tertawa, pantas saja klinik ini agak ramai. Ia berharap semoga saja antriannya tak panjang. Tapi Naya bilang mereka tak perlu khawatir karena Zara sudah membuat janji temu.

Langkah Elza langsung terhenti ketika matanya mengarah pada papan nama dokter yang tertera.

"Kenapa Tante Za?" tanya Naya.

"Tempatnya di sini?" tukas Elza melirik keponakannya. Naya langsung mengganguk dan masuk duluan, ia sudah merasa seperti berada di rumah sendiri hingga Elza tak sempat memperingatinya.

Sementara Elza mengumamkan nama yang tertera.

"Arvin Nadyansatra."