Ada papan nama kecil di depan sana. Berisi nama dokter yang tengah bertugas. Pria bernama Arvin memang kerap kali ini tengah memeriksa seorang gadis yang tengah mengecek kesehatan giginya, meski mengenakan masker, ketampanan yang tersirat di wajahnya tak bisa diredam, alisnya yang tebal, hidungnya nampak kokoh, dengan sorot mata ramah terpancar.
Selain itu Arvin memang terkenal sebagai dokter gigi yang ramah. Bahkan tak jarang para gadis berkumpul hanya sekedar untuk mendekatinya, berpura-pura menjadi pasien agar bisa dekat.
"Gigi Anda bagus Nona, jadi tidak perlu datang setiap minggu ke sini," kata Arvin pada seorang gadis yang memang hampir datang setiap ada dirinya. Biasanya masalah gigi banyak muncul pada pasien anak-anak. Sayangnya malah gadis dewasa yang kerap kali datang, anehnya mereka yang datang rata-rata memiliki gigi yang bagus, hingga tanpa melakukan perawatan apa pun.
Tapi aslinya tujuan asli mereka datang bukan untuk periksa, tapi demi mendapatkan hati dokter gigi tampan itu.
Rasanya tak jenuh jika bisa memandangi dokter tampan itu apalagi dari jarak dekat.
"Dokter boleh minta nomor teleponnya?" tanya salah seorang gadis dengan wajah malu-malu.
Arvin tak memikirkan kemungkinan dirinya akan digoda atau apa. Hingga ia hanya membalas dengan ramah.
"Untuk nomer bisa Nona minta ke depan, untuk konsultasi bisa lewat petugas di sana," ujarnya.
Gadis itu langsung menggeleng cepat karena yang ia butuhkan bukan nomor tempat ini, melainkan nomor dari Arvin sendiri, persetan dengan perawatan giginya.
"Bukan, maksud saya nomor anda dokter," jelas gadis itu lagi.
Arvin lalu meminta maaf karena jadwalnya bisa dilihat di klinik, ia tak menerima panggilan ke rumah untuk mengobati atau pun konsultasi.
Gadis itu tersenyum kesal. Padahal ia hanya ingin pedekate kenapa malah jadi rumit begini pikirnya. Apa susahnya untuk sekedar memberikan nomor telepon sih.
Astaga, siapa juga yang serajin itu ingin konsultasi hanya karena masalah gigi yang sama sekali tak sakit.
"Papa, Kaira lapar," ujar sebuah suara mengagetkan gadis yang tadi, membuat pikirannya terpecah, Arvin mengatakan maaf pada gadis itu sambil melepas sarung tangannya dan maskernya. Setelah meletakkan peralatannya di atas meja dengan rapi ia menuju ke arah kursi sofa, yang jadi fokus gadis itu adalah Arvin.
Benar bukan wajah pria itu memang sangat tampan.
Tapi kemudian ia baru sadar, kalau di atas sofa itu seorang gadis kecil baru saja terbangun dari tidurnya, ia nampak mengucek matanya, baru saja terbangun.
Sementara Arvin sendiri terlihat mengusap rambut Kaira dengan lembut sambil mengiyakan, kemudian ia mengatakan untuk menunggu sebentar karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya dulu dengan pasien yang sekarang.
Meninggalkan gadis yang syok karena baru sadar bahwa pria itu ternyata telah memiliki anak. Selama dia ke sini tak sekali pun dirinya pernah melihat anak kecil itu.
"Dokter, itu putri anda?" tanyanya sambil menelan ludah, di dalam hatinya ia berharap itu tidak seperti yang ia bayangkan, mungkin saja keponakannya atau...
"Iya, di putri saya, namanya Kaira," kata Arvin memperkenalkan.
"Sial." Gadis itu bergumam kesal dan sedih. Ya memang suatu kemustahilan jika pria tampan dan mapan macam Arvin belum menikah.
"Tidak, aku tidak boleh jadi pelakor," ujarnya berkali-kali lalu segera mengambil tasnya. Meski tampan atau mapan sekali pun kalau dia sudah menikah ya buat apa, harga dirinya terlalu tinggi untuk menjadi perebut suami orang. Seperti tidak ada laki-laki lain saja.
Lagipula kalau menggoda pria yang sudah menikah bisa dipastikan pria itu bukan orang baik-baik, istrinya saja diselingkuhi bagaimana mungkin ia bisa menjalin hubungan dengan orang seperti itu, terlebih otak dan hatinya masih normal untuk tak merusak kebahagiaan orang lain. Itu perbuatan terlarang sekaligus tercela.
"Anda sudah mau pulang?" tanya Arvin ketika melihat gadis itu sudah berdiri, gadis itu langsung mengganguk dengan senyum tipis sambil menahan kegetiran.
"Terima kasih atas pemeriksaan hari ini dokter," ujarnya berusaha untuk tenang.
Setelahnya berjalan keluar dengan tatapan sendu karena gagal mendapatkan jodoh. Gadis itu lebih baik menjomblo daripada merebut pria yang sudah menjadi hak milik wanita lain. Ia tak punya pikiran senista itu.
Tak bisa ia bayangkan bagaimana mungkin banyak wanita yang bisa jadi perebut suami orang bisa hidup santai saja. Ia rasa hati mereka terlalu busuk sampai punya pemikiran senista itu.
Benar-benar tak terhormat. Percuma cantik dan berpendidikan kalau suami orang malah dicomot juga. Segitu tak lakunya kah.
Lagipula hubungan di atas perselingkuhan itu hanyalah semu belaka.
Sementara Arvin hanya tersenyum, ia pikir mungkin pasien itu punya agenda penting
Sembari mengisi waktu senggangnya.
Ia lalu memilih untuk menyuapi putri kecilnya.
Karena sekarang juga sedang masuk masa istirahatnya sebentar, ia kadang-kadang memang membawa Kaira kalau neneknya sedang sibuk. Lagipula Kaira itu anak yang penurut ia sama sekali tak mengacau jika berpergian. Untuk kejadian kemarin sendiri penyebab Kaira kesasar bukan karena gadis itu nakal, melainkan ia tak sengaja mengejar kucingi liar.
Namanya juga anak-anak. Ia langsung mengejarnya begitu saja sampai tak sengaja terpisah dengan papanya.
"Enak," kata Kaira dengan mata berbinar-binar, ketika Arvin kini menyuapinya. Pemuda itu begitu telaten. Meski Kaira sudah bisa makan sendiri, tapi kadang-kadang anak itu masih memiliki jiwa manja, hingga ingin disuapi oleh Arvin.
Baginya sesekali tak apa-apa lah, lagipula Ia senang melakukannya.
Kaira sekolah menjadi penghiburnya ketika ia merasa sedih.
Tingkah mengemaskannya, dan pertanyaan pertanyaan yang kerap kali ia lontarkan.
seperti kenapa kupu-kupu punya sayap, dan ia tidak, padahal Kaira ingin terbang juga, atau ikan yang tidak mati di dalam air, padahal Kaira saja baru menyelam sudah jadi sesak.
Arvin harus punya stok pemikiran yang bagus untuk dijadikan jawaban bagi anak seusia Kaira.
"Papa sudah ketemu kakak peri?" tanya Kaira tiba-tiba ketika mengingatnya, pertemuan dengan Elza selalu ia ingat, bahkan ia menceritakannya pada neneknya. Sampai mama dari Arvin itu melirik putranya. Kemudian Arvin pun menjelaskannya bahwa Kakak peri itu telah menolong Kaira.
"Belum sayang, tidak sekarang, sabar ya," kata Arvin tersenyum tenang. Walau agak kaget dengan ucapan anaknya.
"Kaira sudah bilang kan mau punya mama seperti kakak peri," celotehnya sambil memegang wortel ditangannya, ia memang suka sekali dengan wortel. Katanya karena melihat kelinci begitu menggemaskan saat memakannya.
"Tapi kan Kakak peri mungkin sudah punya pangeran sendiri," ujar Arvin menjelaskan. Kaira belum paham soal pasangan, ia hanya tahu, kalau putri itu satu paket dengan pangeran. Hingga membuat Kaira merengut mendengarnya.
"Tapi papa juga bisa jadi pangeran," kata Kaira tak mau kalah.
"Baiklah, nanti papa cari," ujarnya mengalah.