Dengan tubuh yang sudah terasa segar, Nara berjalan keluar kamar dan menuju lantai satu untuk menghampiri sang ibu mertua. Rasanya sangat tidak sopan sekali, saat dia sejak tadi berada di dalam kamar lantaran menunggu suaminya datang membawa pakaiannya. Ditengah-tengah tangga, Nara melihat jika sang suami sedang duduk bersama dengan ayah mertuanya.
Perhatiannya saat ini hanya tertuju pada sang ibu mertua yang sedang membawa semua hidangan ke atas meja makan. Nara sadar jika dirinya sangat telat, sampai tidak membantu wanita itu untuk memasak sarapan untuk mereka berempat. Sebab itu, saat ini dirinya mendekat pada wanita yang sedang berjalan membawa mangkuk sup.
"Ibu, aku minta maaf karena tidak membantu memasak sarapan," kata Nara dengan suara yang terdengar lirih.
Wanita paruh baya berhenti menatap menantunya dengan senyuman hangat. "Tidak apa-apa, ibu tidak akan marah," langkahnya berlanjut hingga dirinya meletakkan mangkuk itu bersama dengan hidangan yang ada di atas meja makan. "Lagipula Rayhan tadi sudah menjelaskannya," sambung ibu mertua.
Sembari mendengarkan kalimat mertuanya, Nara juga memindai meja makan, memeriksa apa yang belum diletakkan. Lantas berjalan kembali ke dapur guna mengambil empat piring bersih beserta alat makannya. Sedangkan mertuanya sedang mempersiapkan minuman.
"Tapi tetap saja, seharusnya aku membantu ibu disini," balas Nara.
Wanita berusia empat puluh satu tahun itu memanggil suaminya dan juga putranya untuk menuju ruang makan. Dan menantunya baru saja meletakkan peralatan makan. Bersamaan dengan dua laki-laki yang mendatangi meja makan, perasaan Nara mulai bercampur. Ini adalah kali pertamanya sarapan dengan keluarga dari sang suami. Namun, Nara tetap berusaha tenang dan memposisikan diri sebagai seorang istri. Iya, dia mengambilkan porsi nasi untuk Rayhan, serta lauk yang diinginkan oleh suaminya itu. Dia juga menawarkan hal yang sama pada ayah mertuanya, namun hal itu dicegah oleh sang ibu mertua. Bukan karena cemburu, melainkan tugas Nara hanya untuk melayani Rayhan, bukan mertuanya.
Acara makan mereka akhirnya dimulai, baik Nara ataupun Rayhan, keduanya sama-sama terdiam dan memilih fokus pada makanannya. Ibunda Rayhan sendiri, hanya tersenyum lembut menyaksikan pengantin baru didepannya. Rasanya masih tidak menyangka jika putra semata wayangnya itu akhirnya melepas status lajangnya. Sudah lama wanita itu menginginkan menantu cantik seperti Nara.
"Bagaimana semalam? Apa sudah dimulai?" tanya sang ibu.
Kontan membuat Nara dan Rayhan berhenti bersamaan. Laki-laki itu lebih dulu menoleh ke arah ibunya, sedangkan Nara masih tertunduk memperhatikan makanannya. Tak ada kalimat apapun yang dikatakan oleh Rayhan, dia hanya menatap sang ibu untuk beberapa detik sebelum kembali menatap makanannya.
Tepat setelahnya, wanita itu mendapat senggolan kecil dari suaminya. Ayahnya lebih mengerti perasaan pasangan baru itu, sudah pasti mereka akan merasa malu jika diceritakan. "Sudahlah, kau jangan terlalu menganggu urusan mereka," tegurnya.
Ketika Nara sedang menahan senyum malunya, Rayhan justru memasang wajah datar. Tidak, dia selalu memasang wajahnya seperti itu sejak pertama kali Nara dipertemukan dengan Rayhan di rumahnya. Ternyata, suaminya itu sudah selesai makan. Hanya sepatah kata yang keluar dan berjalan menuju kamarnya. Nara sendiri hanya bisa menatap kepergian suaminya itu.
"Kau jangan terkejut. Dia selalu seperti itu," ucap ayah Rayhan.
"Tidak apa-apa, ayah. Aku hanya belum terbiasa saja,"
Ketiganya melanjutkan makan pagi mereka, mengabaikan Rayhan yang sudah berada di dalam kamar. Kendati begitu, sesuatu yang mengganjal di kepala Nara. Dia merasa jika Rayhan sangat tidak menyukai pertanyaan ibunya itu. Setelah ini, Nara akan meminta maaf pada suaminya itu.
Selesai mereka makan malam, Nara membersihkan meja makan dan mencuci semua piring dan alat masak yang masih kotor. Disebelahnya terdapat cangkir berwarna hitam yang akan dia gunakan untuk membuatkan minuman untuk Rayhan. Memang suaminya itu tidak menyuruh, namun dia merasa jika teh hangat itu bisa menenangkan pikiran.
Tangan basahnya langsung ia keringkan menggunakan tisu setelah menyelesaikan semua piring kotor. Menuangkan air panas yang juga sudah mendidih. Aroma dari teh yang Nara buat saja, sudah mampu meyakinkannya untuk segera dibawa menuju kamar. Karena pintu kamar juga tidak tertutup rapat, Nara langsung masuk begitu saja, melihat Rayhan berdiri di balkon sendirian.
"Mas, aku buatkan teh hangat untukmu," ucap Nara.
Rayhan menoleh singkat dan memberikan dua anggukan kecil sebelum kembali melihat ke arah luar rumah. Nara berjalan menghampiri suaminya, berdiri di sebelah dan ikut melihat pemandangan yang dilihat oleh Rayhan. Udara pagi memang sangat menyejukkan, bahkan bisa membuat Nara senyaman ini berada di sini—padahal dia baru satu malam di rumah ini.
"Mas," panggil Nara, dirinya sedikit memiringkan tubuh menghadap Rayhan. "Mas pasti merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibu. Maaf ya, mas," ucap Nara.
Sorot tetap keduanya bertemu cukup lama, sampai tak lama setelahnya Rayhan memutus lebih dulu dan tertawa singkat. Laki-laki itu memutar tubuhnya, bersandar pada railing balkon.
"Dia ibuku, kenapa kau yang meminta maaf?"
Memang benar apa yang dikatakan Rayhan. Tapi, entah kenapa Nara terdorong untuk meminta maaf, agar suasana yang terjadi diantara mereka berdua tidak terasa canggung seperti tadi. Atau mungkin, memang hanya Nara yang merasakannya. Ya, pada intinya, Nara ingin mencairkan suasana.
Rayhan berjalan masuk ke dalam kamarnya, duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan jendela, menyesap teh yang sudah mendingin. Melihat suaminya di sana, Nara hanya memandangnya dari balkon. Dia tidak berbohong, perawakan Rayhan itu sangat bagus. Tubuh kekar dan wajah datarnya itu terlihat sangat cocok. Bisa dibilang, Rayhan mirip dengan tokoh fiksi.
"Apa yang salah dengan diriku?" tanya Rayhan tiba-tiba.
Karena terlalu memperhatikan Rayhan, dia sama sekali tidak mengetahui jika Rayhan juga memperhatikannya. Barulah sadar saat suaminya itu berucap, dan berakhir dengan Nara yang sedikit malu. Kakinya melangkah masuk dan berniat untuk keluar kamar setelah mengambil ponsel diatas meja sebelah ranjang. Nara sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menoleh ke Rayhan ketika akan mengambil ponselnya, namun dia bisa merasakan jika kedua bola mata Rayhan sedang mengikuti langkahnya.
Setelah ponselnya berada ditangannya, Nara segera berjalan ke arah pintu. Baru memegang kenop pintu, tiba-tiba suara sang suami kembali mengudara. Dan kali ini, cukup membuat Nara terdiam dengan kedua alis yang terangkat bersamaan.
"Ikutlah denganku. Kita akan pergi ke rumah yang sudah aku beli," ucap Rayhan. Laki-laki itu bangkit dan berjalan keluar kamar terlebih dahulu, sebelum kembali berbicara. "Bersiap-siaplah, kita akan berangkat siang ini," sambungnya dan langsung menutup pintu kamar.
Suara debuman pintu baru saja membuat Nara bisa melepas nafasnya, bersandar di belakang pintu sembari memegang dadanya yang berdebar. Rasanya sangat tercekat saat mendengar ucapan dadakan Rayhan. "Bahkan dia tidak mengatakan sebelumnya," gumamnya.