Seperti biasa, Nara itu harus mengurus segala keperluan sang suami di pagi hari. Namun, untuk hari ini Nara bangun sedikit lebih siang. Semalam dia dan Rayhan mulai banyak bicara mengenai satu sama lain. Belum semua, hanya hal-hal yang disuka maupun tidak disuka. Pertanyaan itu Nara yang memulai, karena Nara tidak ingin salah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan pada sang suami.
Kembali pada pagi ini, Nara segera membangunkan Rayhan agar sang suami tidak terlambat menuju kantornya. Ada rasa sedikit menyesal, karena Nara tidak bangun seperti biasanya. Tapi, dia harus tetap tenang dan bergerak lebih cepat dari biasanya. Dan ternyata, yang seingatnya belum memasak nasi, begitu Nara sampai di dapur rupanya ibu mertuanya sudah membuatnya terlebih dahulu. Ya ampun, Nara jadi merasa malu sebagai menantu.
"Ibu, aku minta maaf karena tidak bisa bangun pagi," ucapnya.
Ibu mertuanya hanya tersenyum, "Tidak apa-apa. Ibu juga tidak mempermasalahkannya," timpal sang ibu.
Nara bergerak untuk membuatkan nasi goreng untuk sarapan suaminya. Hanya itu masakan yang menurutnya lebih cepat dilakukan di pagi hari ini, apalagi dengan waktu yang terbilang tidak terlalu banyak untuk suaminya bersiap. Tak lama, tiba-tiba Rayhan sudah turun. Dia tidak mengenakan jas dan dasinya, keduanya ia bawa di tangan kirinya, berjalan turun menuju ruang makan seraya mengancingkan lengan pakaiannya.
Melihat suaminya yang kesulitan, Nara langsung meminta tolong ibunya untuk melanjutkan masakannya, dan dia bergerak membantu Rayhan memasang dasi dan jasnya. Tangan lentiknya sudah bergerak mengalungkan dasi itu pada kerah kemeja Rayhan. Laki-laki itu juga hanya terdiam dan membiarkan istrinya bergerak. Disaat sedang seperti ini, Rayhan jadi ingin melontarkan satu pertanyaannya, namun ia merasa malu lantaran ada sang ibu di dapur.
"Bekalnya aku buatkan nanti siang saja sekalian. Agar hangat saat kau makan," celetuk Nara.
Kedua bola mata Rayhan sontak terarah pada sang ibu, memastikan agar ibunya itu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Nara barusan. Tapi, sang ibu sama sekali tidak menoleh, dia rasa ibunya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Nara. Setidaknya, Rayhan tidak perlu menahan rasa malunya didepan orang tuanya.
Lima menit setelahnya, sang ibu membawa sarapan mereka menuju meja makan. Ya, seperti biasanya, Rayhan akan sarapan lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Pasalnya, ayahnya itu masih bisa melakukannya nanti saat akan pergi ke pabriknya. Waktu untuk berangkat pun juga tidak terikat. Semenjak kantor diserahkan pada Rayhan, pekerjaan ayahnya pun juga lebih ringan, hanya perlu mengawasi pabrik tekstil.
"Sering-seringlah meminta sesuatu pada Nara," ucap sang ibu.
"Ck," Rayhan berdecak, rasanya seperti ia tidak suka jika ibunya menuturi begitu. "Aku sudah besar, bisa melakukannya sendiri," balasnya.
Sontak saja Nara menaikkan kedua alis dan menahan senyumannya. Dia merasa kalimat Rayhan barusan terdengar lucu, sampai-sampai dia harus menahan senyumannya agar tidak kentara dihadapan ibu dan anak ini. Nara tahu, suaminya itu besar gengsi. Apa-apa selalu ingin terlihat sempurna karena usahanya sendiri, tapi ya sudah, Nara hanya akan menganggap sebagai salah satu keunikan yang dimiliki sang suami.
Selagi Rayhan memakan sarapannya, Nara bergerak menuju lemari pendingin guna mengambil kopi susu instan yang ia beli di minimarket. Dia membelinya untuk berjaga-jaga jika Rayhan mengantuk saat bekerja. Suaminya itu tidak bisa meminum kopi hitam, dan ibu mertuanya sudah memberitahunya, karena itu Nara membelikan minuman kopi susu.
"Jangan sampai mengantuk," kata Nara sembari meletakkan botol minuman itu.
Disela-sela sarapannya, secara mendadak Rayhan memberitahu tentang kepindahannya. Memang sangat mendadak, namun akan lebih mengejutkan jika keduanya pindah saat hari sudah mulai dekat. Tapi, Nara saja tidak diberitahu terlebih dahulu jika pagi ini Rayhan akan mengatakannya pada sang ibu, membuat Nara juga terkejut atas ucapan sang suami.
"Kenapa mendadak sekali? Kemana kalian akan pindah? Kenapa tidak bicarakan dulu?" tanya sang ibu runtut lantaran merasa sangat terkejut atas rencana anak-anaknya yang terbilang sangat mendadak.
Rayhan sama sekali tidak menjawabnya, dan dia melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kanannya. Sarapannya juga tidak dihabiskan, Rayhan langsung bangkit guna berangkat ke kantornya. Nara mengikuti langkah sang suami hingga masuk ke dalam mobil. Tak lupa minuman kopi susunya ia bawa, karena Rayhan melupakannya.
"Kenapa mendadak menceritakannya pada ibu?" tanya Nara.
"Karena nanti malam, aku akan lembur. Mungkin, aku akan pulang setelah kau tidur," jawabnya sembari memasang sabuk pengaman.
Tangan Nara memasukkan minuman itu ke dalam mobil, tempat dimana Rayhan sering meletakkan minumannya. "Tapi masih ada hari besok untuk menceritakannya bersama ayah. Sepertinya, ibu cukup terkejut setelah mendengarnya," timpal Nara lagi.
Rayhan berhenti sebentar, menatap wajah istrinya yang berada tepat didepan wajahnya. Laki-laki itu kesusahan menelan ludahnya sendiri. Tidak biasa dia berhadapan sedekat ini dengan Nara, kendati mereka sudah melakukan ciuman sebanyak dua kali. Saat pernikahan, dan saat Nara membayar hukumannya. Tangan Rayhan langsung memegang setir, sehingga membuat Nara akhirnya mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil.
Terdengar helaan nafas panjang dari Nara,dia tersenyum terpaksa karena suaminya juga tidak mendengarkannya lagi. Bahkan, ucapannya saja diabaikan begitu, dan sekarang malah menyalakan mesin mobil, siap untuk meninggalkan rumah. Nara sendiri juga tidak memiliki kuasa atas kepindahan mereka, karena semua ini adalah rencana yang sudah diatur Rayhan. Pun Nara membiarkan suaminya pergi tanpa menuntaskan perbincangan mereka.
Langkah Nara kembali masuk ke dalam rumah, ia membersihkan sarapan pagi suaminya, membawanya ke tempat pencuci piring. Entahlah, kepalanya memikirkan tentang Rayhan yang berbuat sesuatu dengan mendadak. Dia merasa tidak enak terhadap kedua mertuanya, karena semua juga akan Nara yang menjelaskan pada mereka. Wanita itu langsung bergerak menuju kamarnya setelah selesai merapikan dan memastikan dapur sudah dalam keadaan bersih. Beruntung, ibu mertuanya itu sudah tidak ada disekitar dapur. Ia rasa, tidak perlu kebingungan menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya.
Sayangnya, baru beberapa langkah menaiki anak tangga, namanya sudah terpanggil oleh ibu mertuanya. Mau tidak mau, Nara kembali turun dan menghampiri wanita itu. Walaupun ada rasa canggung, namun Nara tetap menyimpannya dan menghadapi ibu mertua.
"Iya, ibu?"
"Ibu hanya ingin tahu maksud ucapan Rayhan,"
Nara mengulum bibirnya sebelum tersenyum lembut. Dia memang sudah menduga jika akan ada pertanyaan ini dari ibu mertuanya. Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu. "Jadi, Mas Rayhan itu sudah merencanakan kepindahan kami. Aku juga sudah diajak melihat rumahnya, dan minggu depan Mas Rayhan meminta agar kami segera pindah ke rumah baru," jelasnya bersamaan dengan berjalan menuju sofa ruang tamu.
"Anak itu memang selalu berbuat semaunya," kata ibu mertuanya berdialog sendiri.