'tuk'
Itu adalah suara yang berasal dari ponsel Nara. Ia baru saja membalas pesan temannya, dan selesai membalas Nara langsung melipat ponselnya. Dia meletakkan benda pintar itu pada tas selempang miliknya. Pandangannya terarah pada jalanan depan yang ramai namun tetap lancar. Mencoba beberapa kali berdeham guna menarik perhatian Rayhan, sayangnya suaminya itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Jika Nara lihat dari ekor matanya, Rayhan itu seperti tidak bisa melepaskan pandangannya dari jalanan didepannya. Padahal, dari cara dia menyetir saja sangat santai.
Nara melihat ke arah kaca sebelah kirinya, namun yang ia lihat bukanlah keadaan di luar mobil, melainkan bayangan Rayhan yang terpantul dicermin. Hanya berharap jika Rayhan akan menoleh kearahnya. Dan benar saja, tak membutuhkan waktu yang lama, sang suami menoleh ke arahnya. Walaupun hanya tolehan kecil, tapi Nara merasa cukup senang. Dengan cepat Nara langsung melihat ke arah Rayhan.
"Mas Ray ingin bicara sesuatu? Tadi sempat menoleh ke arahku," tanya Nara.
Rayhan yang sedikit kebingungan itu hanya mengerutkan alisnya. Tangan kirinya menunjuk ke arah spion kiri. "Aku melihat itu," katanya.
Ah, mendadak Nara terdiam dengan mulut yang terbuka. Sungguh, dia merasa malu karena salah bicara. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, bergerak acak untuk menghilangkan rasa malunya. Dia juga sedang kehabisan kata-kata, dan memilih untuk duduk pada posisi semula. Jari-jari tangannya saling beradu diatas paha.
"Mas, kamu belum jawab pertanyaanku tadi," ucap Nara.
"Pertanyaan apa?" tanya Rayhan santai tanpa melihat ke arah Nara.
Wanita itu hanya menundukkan kepalanya, bibirnya sedikit maju sebelum dia membuka suaranya lagi. "Apa aku berbuat salah? Kenapa Mas Ray tidak mau berbicara padaku?"
"Memangnya ada sesuatu yang ingin dibicarakan?"
Nara berpikir beberapa detik, memang tidak ada sesuatu yang bisa dibahas sih. Tapi, tidak mungkin juga sepasang suami dan istri saling terdiam. Pernikahan mereka saja belum menyentuh satu bulan. Nara sampai bertanya pada dirinya sendiri, apa semua pernikahan yang melalui perjodohan akan seperti ini? Aish, Nara ingin menjauhkan pertanyaan itu, hanya saja Rayhan juga tidak bergerak sama sekali.
Sesampainya didepan rumah baru mereka, Rayhan turun terlebih dahulu, sedangkan Nara masih memasang wajah cemberutnya sebelum menyusul sang suami yang berdiri didepan mobil. Bahkan, tak ada obrolan apapun diantara mereka berdua. Nara berusaha sesabar mungkin dengan situasi ini. Apalagi mulai saat ini dia akan tinggal berdua di rumah sebesar ini.
Keduanya melangkahkan kaki ke dalam rumah bersamaan dengan barang-barang yang sedang dimasukkan oleh orang-orang tadi. Nara langsung menuju kamar sembari membawa koper, ia ingin merapikan pakaiannya dan Rayhan saat itu juga. Suaminya pergi ke halaman belakang, entah untuk memeriksa apa, tapi Nara ingin mengabaikannya terlebih dahulu, selagi berpikir agar bisa kembali berbicara bersama Rayhan.
Berdiri diambang pintu, melihat semua sudut dan isi dari kamar ini sungguh membuat pandangan Nara menjadi sejuk. Kamar yang dibuat Rayhan dengan senyaman mungkin, kini sudah membuat Nara ikut merasakan kenyamanannya. Koper berwarna hitam milik suaminya itu ia tarik mendekat ke lemari pakaian. Nara menggeser pintu lemari terlebih dahulu, baru mengambil pakaian dari dalam koper. Namun, saat tangannya baru saja masuk dan meletakkan pakaian Rayhan ke dalam lemari, dia terkejut ketika tangan besar melingkar di lehernya. Ditelinga kirinya, ia juga merasakan adanya deru nafas dari sang suami.
"Mas," panggil Nara, tangannya secara otomatis memegang lengan Rayhan yang berada di lehernya.
"Maaf,"
Hanya satu kata itu yang keluar dari birai Rayhan, namun bisa membuat hati Nara mencelos. Perlahan pelukan Rayhan mulai memudar, pun Nara memutar tubuhnya untuk menghadap sang suami dengan senyuman lembut.
"Maaf, karena aku terlalu banyak diam," kata Rayhan lagi. Dua bola mata Rayhan nampak bergetar saat mengatakannya pada Nara. "Sebenarnya, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku selama ini,"
"Apa?"
-
-
-
Tak pernah Nara sangka saat membuka pintu kulkas, ia melihat banyak bahan makanan dan juga buah segar yang tertata rapih. Bahkan, keadaan dapur juga sudah bersih dan lengkap dengan semua peralatannya. Nara hanya tinggal menggunakannya saja. Rasanya seperti anggota keluarga kerajaan, semua keperluan sudah tersedia tanpa perlu bersusah payah keluar rumah untuk membelinya sendiri.
Nara baru saja meletakkan lauk pauk ke atas meja makan. Di sana sudah ada Rayhan yang akan makan malam bersamanya. Keduanya sudah mulai kembali saling berbicara. Walaupun tadi siang Nara sempat mendapat jawaban kejutan dari Rayhan, tapi jawabannya itu mampu membuat Rayhan memakluminya.
"Mas tidak marah dengan jawabanku tadi?" tanya Nara.
Rayhan menggeleng sembari mengambil lauk yang baru saja Nara letakkan di atas meja. "Tidak," dia meletakkan sendoknya dan mulai menatap sang istri. "Aku memaklumi jawaban itu. Suatu saat, akan aku berikan pertanyaan yang sama," tambahnya.
Nara tersenyum senang, dalam hatinya juga berkata jika suatu saat nanti dia berharap bisa memberi jawaban yang berbeda, jawaban yang terbaik untuknya dan Rayhan. Lantas Nara ikut mengambil makanannya dan melakukan acara makan malamnya bersama sang suami.
Keadaannya saat ini sudah sangat menenangkan untuk dialami. Walaupun belum benar-benar membaik, setidaknya bagi Nara, Rayhan tidak mendiaminya seperti hari-hari sebelumnya.
Dikepala Rayhan, dia lega mendengar jawaban Nara tentang perasaan istrinya terhadap dirinya. Tugasnya hanya membuat sang istri nyaman dan menyukainya. Ya, dia akan mengabaikannya untuk saat ini, karena ia juga sadar tak seharusnya dia bersikap dingin di rumah baru mereka.
Keduanya makan dengan pemikiran masing-masing, namun hal itu sama sekali tidak mereka tunjukkan satu sama lain. Justru, mereka berpikir ingin menutupinya dan menampilkan sisi terbaik mereka.
"Ah iya, besok kau akan pergi bersama teman-temanmu, 'kan?" tanya Rayhan tiba-tiba.
"Iya,"
Rayhan menuntaskan kunyahannya sebelum kembali bersuara. Dari air mukanya, ia ingin melontarkan sebuah pertanyaan pada istrinya itu. Ini ada hubungannya dengan seseorang yang menghubungi Nara kala itu. Atau mungkin, memang sering menghubungi istrinya. Karena Rayhan sendiri sebelumnya juga tidak pernah berniat membuka isi ponsel istrinya.
"Apa laki-laki itu sering menghubungimu?" tanyanya lagi.
"Siapa?" tanya Nara begitu selesai meneguk air mineral.
"Bagas,"
Nara terhenti dan menatap wajah suaminya dengan tatapan datar. Mendengar nama itu keluar dari suaminya, ia yakin jika ketika ponselnya tertinggal, Rayhan pasti memeriksanya. Entah, Nara hanya merasa jika panggilan dari laki-laki itu justru yang menjadi penyebab diamnya Rayhan dari hari itu.
"Tidak pernah. Hanya karena ingin berkumpul saja dia sering menghubungiku," jawab Nara dengan jujur.
Rayhan mengangguk kecil, dia mengalihkan pandangannya pada makan malamnya lagi. Ia rasa, jawaban yang seharusnya dia dengan cukup sampai disana saja. "Baiklah, kau boleh pergi besok. Jangan pulang terlalu malam," kata Rayhan yang memberikan izin pada Nara. Tentu saja, Nara langsung mengulas senyum senang.
"Terimakasih, Mas Ray,"