Chereads / Pria Yang Salah! / Chapter 6 - Tidak Tahu Malu!

Chapter 6 - Tidak Tahu Malu!

Tidak Tahu Malu!

Plaakk!!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi milik Lisna, Randy yang tidak percaya jika karyawan nya bisa melakukan hal tersebut membuat pria itu begitu berang.

"Kamu! Tidak tahu malu! Keluaaar dari ruangan saya!" teriakan Randy begitu menggema, hingga Lisna sendiri ketakutan. Gadis itu berlari seraya meneteskan ari mata.

Tak kuasa menahan amarah, pria muda nan tampan tersebut membanting segala apa yang ada di dekat dirinya. Rasa kesal, juga sakit hatinya masih bercokol di dalam, terlihat dari dada bidangnya yang naik turun menahan segala gejolak.

Drrrrtt drrrrtt

Enggan menerima panggilan tersebut, sudah sepuluh kali Shelly menghubungi dirinya. Mau tak mau pria itu menggeser ikon hijau agar panggilannya tersambung.

"Rand, maafin aku ya." terdengar suara pilu dari sebrang sana membuat dia semakin sakit.

"Gak ada yang salah, orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anakknya." Sekuat tenaga pria itu menahan rasa sakit, namu tidak ada yang bisa dia katakan lagi.

Randy menutup telpon nya, bergegas untuk kembali ke rumah menemui sang ibunda tercinta.

Sepanjang perjalanan Randy memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa kembali dengan gadis yang sangat dia cintai, restu kedua orang tua Shelly begitu menyiksa batin Randy.

Satu tingkat sudah dia lalui untuk memulai bisnisnya kembali, kini dia juga sang ibunda sudah memiliki rumah tidak mengontrak di rumah petakan.

Namun masalah hati juga perasaan Randy harus kembali berjuang untuk mendapatkan restu kembali. Beberapa menit kemudian sampailah di depan rumah minimalis, pria tampan itu keluar dari balik kemudi.

"Assalamualaikum, bun." ujar Randy, membuka pintu utama rumah mereka.

Wanita setengah paruh baya itu menghampiri sang anak. "Wassalamu'alaikum, Rand.. Tumben kamu sudah selesai jam segini." Pertanyaan itu sang bunda layangkan, pasalnya sang anak memang tidak biasa nya selesai bekerja di waktu yang masih sore.

"Lagi, badmood. Bun," jawab pria itu menggantung, membuat sang ibunda mengetahui apa isi hati sang anak.

Wanita itu hanya bisa mengusap, mengelus punggung milik anaknya berusaha menenangkan juga memberikan semangat dan mengatakan jika dirinya harus sabar untuk cobaan yang sedang dia hadapi.

Selama kekasihnya itu belum di miliki oleh orang lain, Randy harus terus memperjuangkan dan layak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya.

"Bun, gimana kalau kita lamar Shelly aja." Intan mengerutkan keningnya, bagaimana bisa anaknya itu mempunyai pikiran seperti itu.

"Kamu, yakin?" dengan ragu Intan, bertanya seperti itu. Bukan tanpa alasan hanya saja dirinya takut jika ayah dari Shelly akan menolak lagi.

Randy terlihat diam membisu, apa yang di khawatirkan ibunda nya kini dia pun merasakannya. Tapi dengan kendaraan yang di pakainya saat ini, apa mungkin Andika akan menerima sebagai calon menantunya?

Terbesit pertanyaan seperti itu dalam pikiran Randy, pasalnya baru beberapa hari yang lalu dia sempat berganti mobil untuk keperluan nya dalam mencari sebongkah berlian.

"Kita coba aja, bun.. Siapa tau papa Andika, mau terima aku sebagai menantunya. Kita bawa barang barang mewah untuk Shelly." tambah Randy, kemudian.

"Barang mewah? Maksud nya buat hantaran gitu?" Randy menganggukkan kepala, meminta pendapat sang ibunda.

Melihat netra mata milik sang anak seperti itu, Intan tidak bisa menolak apalagi dia yang sudah berjuang untuk kembali seperti keadaan sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Intan pun menganggukkan kepalanya, tersenyum lalu mengusap rambut Randy, anak laki laki satu satunya itu.

***

"Kamu, yakin Rand?" Sebelum turun dari mobil, Intan sang ibunda memastikan kembali pada anak laki lakinya tersebut.

"Bismillah, bun. Yuk!" Pria muda itu, memegang lengan milik wanita yang tengah melahirkan nya tersebut. Mengangguk perlahan memantapkan sang ibunda jika dirinya siap dengan segala penolakan dari ayah Shelly.

Namun ketika mereka turun dari mobil, Intan juga Randy melihat banyak mobil di sana dan terlihat banyak tamu.

Randy masuk lebih ke dalam kediaman kekasihnya itu, betapa hancurnya hati Randy ketika melihat orang yang dia cintai tengah di sematkan cincin pertunangan diantara mereka.

BRAAKK!!!

Terdengar kotak perhiasan jatuh ke lantai, membuat semua orang yang berada di sana menoleh pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu.

Begitu terkejut Shelly melihat sang kekasih berada di sana, seketika itu juga Randy berlari meninggalkan kotak perhiasan yang sudah dia bawa.

"Rand! Tunggu, Rand." Shelly berusaha mengejar sang kekasih, namun sang tunangan menahan Shelly.

Sakit hati kini menyelimuti hati Randy kembali, pria itu menangis tersedu di hadapan sang ibunda. Malu rasanya ketika akan melamar gadis orang namun apa yang dia dapatkan justru sang kekasih bertunangan dengan karyawannya sendiri.

BUGH!! BUGH!!

Randy memukul-mukul setir mobil, menumpahkan segala kekesalan juga rasa sakit di hatinya.

"Sudah, Rand. Sudah! Jangan kamu sakiti dirimu sendiri." Sang ibunda menahan tangan Randy yang kini akan memukul kembali, memeluknya dengan penuh rasa sakit.

Melihat anaknya seperti itu, hati ibu mana yang tak ikutan sakit.

"Sudahlah, mungkin bukan jodoh, masih banyak gadis lain yang lebih cantik juga baik, Rand." Intan hanya bisa memberikan semangat terhadap anak laki lakinya itu.

Randy mengurai pelukan, mencoba untuk tegar juga menghapus jejak air mata yang sedari tadi keluar tanpa di minta.

Melajukan kembali, dan kini mereka berada di sebuah cafe tempat biasa mereka makan atau sekedar ngobrol untuk menghilangkan penat.

Masih terbayang adegan dimana Shelly menyematkan cincin pada jari manis pria yang berdampingan dengan perempuan yang kini masih ada di dalam hati Randy, seperti cuplikan film tak beriklan.

Melihat sang anak menjadi pendiam Intan mencoba untuk mengalihkan topik agar Randy tidak menjadi pendiam seperti itu.

"Rand, bunda dengar dari pak Agus, katanya Lisna kamu pecat. ya?" Deg, mendengar nama Lisna membuat Randy berhasil menoleh pada sang ibunda namun tatapan elang Randy layangkan pada sang ibunda membuat perempuan setengah paruh baya itu memukul mulutnya sendiri.

"Maaf ya, Rand. Bunda salah bicara lagi,"

"Bun! Bisa gak, gak usah bahas Lisna atau siapapun. Aku lagi pusing." Satu oktaf nada bicara Randy naik, membuat Intan diam tidak berani mengeluarkan perkataannya, menunggu makanan tiba.

Memakan makanan itu dengan penuh keheningan, tidak ada canda ataupun tawa yang terlontar dari mulut pria muda di hadapan Intan.

Mungkin anaknya itu memang membutuhkan waktu untuk sendiri, merenung atau pun mencari tambatan hati lain.

Hanya 20 menit, mereka menghabiskan makanan lalu kembali ke rumah mereka. Sepanjang perjalanan pun Intan hanya bisa menghembuskan napasnya kasar melihat anak laki lakinya tengah patah hati di tinggal tunangan oleh kekasihnya.

"Apa yang harus aku lakukan, untuk membuat anakku tidak galau seperti itu. Tidak tega rasanya, melihat perjuangan keduanya selama ini berbuah menyakitkan seperti ini."

Bersambung..