Saat kami mencoba mendobrak pintu Pak Rijal sudah memegang kampak entah dari mana dia mendapatkannya, dia mencoba menyerang kami. Kami melawan sebisa mungkin, kami berlarian untuk menghindari serangannya. Saat dia mencoba menyerang kami dia tiba-tiba terdiam. Ana mencoba mendekatinya perlahan untuk memastikan apa yang terjadi dengannya.
"Dia membunuhku," ujar Pak Rijal.
"Siapa kamu?" tanyaku sambil menahan rasa sakit kepalaku.
"Aku Devita, dia membunuhku dan menguburku di dalam tembok toilet," jawabnya.
"Kenapa dia melakukan itu?" tanya Ana.
"Karena dia menghamiliku, dia menyuruhku untuk menggugurkannya tetapi aku tidak mau," jawabnya.
"Bagaimana dia membunuhmu?" tanyaku.
"Dia membenturkanku ke tembok lalu mencekikku," ujarnya.
"ikutiku," pintanya.
"Bagaimana jika dia berpura-pura?" ujar Sara.
"Aku rasa dia memang benar kesurupan," jawabku.
Kami mengikutinya dan dia berhenti di toilet dia menunjuk ke arah toilet yang rusak itu. Kami melihat ke dalam sana saat kami menoleh ke arah Pak Rijal dia membawa pisau dan menggorokkan ke lehernya. Kami teriak karena kaget dan takut, aku menyuruh Ana dan Sara untuk mencari Satpam sekolah. Aku mencoba menghentikan pendarahan pada leher Kak Ardi.
"Maafkan aku Vita aku sungguh menyesal," ujarnya sebelum dia meninggal.
"Pak bangun! Pak," ujarku, kemudian datang Ana, Sara dan Pak Satpam.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Satpam.
"Dia bunuh diri Pak" jawabku.
"Kamu harus ke Kantor Polisi," ujarnya.
"Tapi bukan saya Pak," ujarku.
"Ayo kamu ikut saya." Ujarnya sambil menarik tanganku.
"Bukan Nina yang melakukannya Pak." Ujar Ana sambil menahan satpam itu agar tidak membawaku.
Satpam membawaku ke Kantor Polisi, Ana menelepon Orang tuaku. Mereka menyusulku Ke Kantor Polisi, saat di sana aku menjelaskan semuanya dan aku menceritakan bahwa Pak Rijal telah membunuh seseorang dan dia menguburnya di tembok sekolah. Polisi di sana meragukanku bahkan mereka mengira aku memakai Narkoba sehingga aku membunuh Pak Rijal karena tidak sadar.
"Pak percaya kepada saya! Bukan saya yang membunuhnya," ujarku.
"Lantas siapa?" tanyanya.
"Saya sudah bilang tadi, dia bunuh diri," jawabku.
"Dan soal pembunuhan itu apa kamu yakin?" tanya Polisi.
"Iya Pak saya yakin kalau Bapak tidak percaya Bapak bisa langsung periksa toilet sekolahnya sekarang," ujarku.
"Nina kamu kenapa?" ujar Mamah panik.
"Aku enggak kenapa-kenapa Mah," jawabku.
"Ini darah siapa?" tanya Mamah.
"Ini darah orang lain Mah," jawabku.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ayah.
Polisi menyuruhku untuk menunggu di luar ruangan dan meminta Orang tuaku masuk untuk membicarakan masalah yang terjadi denganku. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Ana dan Sara datang menghampiriku dia mencoba menenangkan aku, mereka berjanji akan membantu aku meyakinkan Polisi bahwa aku bukan pembunuh.
" Kamu tenang ya kita akan membantu kamu," ujar Ana.
"Kamu tidak akan di tangkap kamu bukan pembunuhnya kita melihatnya sendiri kalau Pak Rijal itu bunuh diri," ujar Sara.
"Tapi aku takut," ujarku.
"Jangan takut kita semua di sini untuk kamu Nin," ujar Ana.
"Terima kasih ya kalian selalu membantuku," ujarku.
"Kita akan selalu membantu kamu," ujar Ana.
Orang tuaku keluar dan ternyata aku bisa pulang karena tidak ada bukti kalau aku pembunuhnya, dan Polisi besok akan pergi ke sekolahku untuk membuktikan perkataanku tentang pembunuhan itu. Kami pulang di perjalanan aku dan Orang tuaku tidak berbicara sepatah kata pun, aku takut kalau mereka akan marah sesampainya di rumah saat aku hendak ke kamar Mamah menyuruhku untuk ke ruang tamu.
"Apa yang sebenarnya terjadi Nin?" tanya Mamah.
"Sebenarnya ada seseorang yang meminta pertolonganku Mah," jawabku.
"Terus kenapa kamu tidak memberitahu kami?" tanya Ayah.
"Aku tidak mau membuat Mamah dan Ayah khawatir lagi," jawabku.
"Kalau terjadi sesuatu dengan kamu bagaimana?" tanya Mamah.
"Aku tidak apa-apa Mah," jawabku.
"Dengar lain kali kalau ada masalah seperti ini kamu harus bilang ke Mamah atau ke Ayah," ujar Mamah.
"Iya Mah maaf," jawabku.
"Sudah sekarang kamu ganti baju," ujar Mamah.
Aku pergi ke kamar dan mengganti baju, aku merasa tidak enak kepada Orang tuaku aku selalu membuat masalah dan menyusahkan mereka. Tapi aku tidak memberitahu masalahku kepada mereka karena aku tidak ingin menyusahkan mereka. Saat aku sedang melamun Adikku tiba-tiba datang dia menanyakan keadaanku.
"Kakak kenapa?" tanyanya.
"Kakak tidak apa-apa," jawabku.
"Kepala Kakak kenapa?" tanyanya.
"Oh ini hanya luka kecil," jawabku.
"Mau aku ambilkan obat?" tanyanya.
"Iya boleh," jawabku, tidak lama Adikku datang membawa plester.
"Ini Kak plesternya." Menyodorkan plester.
"Terima kasih ya," ujarku.
"Kak tadi Nenek itu ada lagi," ujarnya.
"Terus kamu bilang sama Mamah?" tanyaku.
"Enggak karena dia bilang kalau aku mengadu ke Mamah dia akan membunuh semua keluargaku," ujarnya.
"Kalau kamu bertemu Nenek itu kamu lari ya," ujarku.
"Tapi tadi dia yang datang ke sini," jawabnya.
Aku langsung mengajak Adikku untuk memberitahu semua itu kepada Orang tuaku. Tapi saat dia Mamah bertanya Adikku diam dan tidak mau bicara, dia terus melihat ke arah jendela aku menghampiri jendela itu dan melihat-lihat, tetapi tidak ada apa-apa. Mamah menganggapku mengada-ada, tapi aku terus mencoba menjelaskan kepada Orang tuaku tetapi mereka tidak percaya mereka malah menyuruhku untuk pergi tidur. Aku tidak bisa tidur dan memikirkan hal itu, aku takut Nenek misterius itu akan membawa Adikku.
Saat aku tidur terdengar seperti pintu terbuka, aku bangun dan keluar kamar untuk mengeceknya. Tiba-tiba lampu padam aku panik karena aku meninggalkan Adikku sendirian di kamar, aku meraba-raba karena tidak bisa melihat apa pun, aku memegang sesuatu entah apa ini terasa seperti kulit aku terus meraba-raba kukunya sangat runcing dan tajam tangan itu langsung memegang tanganku dengan kencang.
"Tolong! Tolong!" Teriakku, lampu langsung menyala.
"Ada apa ini?" tanya Ayah.
"Tadi ada seseorang di sini," jawabku ketakutan.
"Seseorang siapa Nin?" tanya Mamah.
"Aku tidak tahu siapa tadi mati lampu?" jawabku.
"Sudah kamu jangan seperti ini terus Ayah capek!" Bentaknya.
" Tapi aku tidak bohong, tadi ada orang di sini kukunya tajam," jawabku.
"Sudah Ayah mau tidur," ujar Ayah.
"Kamu jangan seperti ini terus kami khawatir," ujar Mamah.
"Tapi aku enggak bohong Mah," jawabku.
Adikku datang dia terus melihat ke arah jendela, aku langsung mengajaknya ke kamar dan menyuruhnya untuk tidur tapi dia tidak mau tidur dia bilang takut karena Nenek itu ada di rumah, aku menyuruhnya untuk memberitahu Mamah tapi Adikku tidak mau karena Nenek itu mengancam Adikku. Aku marah dan berkata kasar agar Nenek tua itu muncul dan benar dia muncul wajahnya sangat seram dengan kulit yang sangat keriput, mata merah dan tangan yang panjang dengan kuku yang tajam.