Chereads / mata ketiga / Chapter 16 - Bab 16

Chapter 16 - Bab 16

Saat dia menoleh kedua matanya tidak ada, aku lari ketakutan dan tidak tahu harus ke arah mana. Dari jauh aku lihat seperti Pak Dadang, dia adalah Orang kampung sebelahku yang baru saja meninggal. Dia meninggal secara mendadak sepulang dari rumah tetanggaku, aku menghampirinya tapi dia tampak kebingungan aku berusaha menyadarkannya dan dia mengingatku.

"Pak! Pak! Sadar," ucapku.

"Kamu Anaknya Pak Rudi kan?" tanyanya.

"Iya Pak," jawabnya.

"Kenapa kamu berada di sini? Ini bukan tempat kamu," ujarnya

"Saya sedang mencari Adik saya yang hilang Pak," jawabku.

"Kenapa kamu mencarinya ke sini?" tanyanya, aku menceritakan sedikit kepada Pak Dadang.

"Berarti Adik kamu menjadi tumbal sama seperti saya," ujarnya.

"Tumbal dari siapa?" tanyaku.

"Dari Tetangga kamu, mereka memuja setan dan harus .memberikan tumbal agar mereka kaya,"

Aku menangis karena tidak tahu harus bagaimana, tetapi Pak Dadang akan membantuku kata dia kalau belum 7 hari masih bisa di selamatkan. Dia membawaku seperti ke sebuah Istana tapi aneh pijakannya terbuat dari tubuh Manusia dan banyak sekali Orang yang di paksa bekerja seperti Budak bahkan ada yang dibuat menjadi kuda dia harus menarik kereta.

"Pak kenapa pijakannya terbuat dari Manusia?" tanyaku.

"Iya itu adalah para tumbal," jawabnya.

"Jadi semua orang yang di paksa itu adalah yang di tumbalkan?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Sampai kapan mereka akan seperti ini?" tanyaku.

"Sampai umurnya habis," jawabnya.

"Terus bagaimana dengan Adikku?" tanyaku.

"Dia masih di kurung di dalam karena belum 7 hari jadi kita bisa menolongnya, tali kita harus hati-hati dan jangan sampai ketahuan," ujarnya.

Kami mengendap-endap ke dalam, kami melewati jalan belakang dari jauh aku melihat Adikku yang sedang di kurung. Dia menangis dan kakinya di rantai, Aku juga melihat Nenek tua itu dia sedang memasukkan Orang ke dalam kurungan mungkin itu tumbal baru, Aku tidak tega melihat Adikku seperti itu aku spontan berdiri dan akan menghampiri Adikku, tetapi Pak Dadang menghentikanku.

"Kamu jangan ke sana bisa ketahuan," ujarnya sambil berbisik.

"Tapi kasihan Adikku," ujarku.

"Kita akan ke sana setelah situasinya aman," ujarnya.

"Saya akan coba mencari kampak untuk mengeluarkan Adik kamu, kamu jangan ke mana-mana," pintanya.

"Iya," jawabku, karena lama menunggu aku menghampiri Adikku.

"Adek ... " bisikku.

"Kakak," jawabnya senang.

"Suttt jangan pelankan suara kamu nanti ada yang mendengar," ujarku.

Pak Dadang datang sambil membawa kampak dia mencoba membuka gembok itu, dia berusaha sangat keras karena gemboknya sangat kuat, aku berdoa semoga saja berhasil akhirnya gembok bisa di buka, kemudian kami mencoba membuka rantai pada kaki Adikku setelah sudah terlepas kami bergegas untuk pergi.

"Ayo kita pergi," ujar Pak Dadang.

"Tolong bantu saya." Ujar seorang Pak tua Sabil memegang tanganku.

"Pam Dadang bagaimana ini?" tanyaku.

"Kita tidak punya waktu, kita harus segera pergi," jawabnya.

"Pak Maaf tapi saya tidak punya banyak waktu," ujarku.

"Jangan tinggalkan saya." Sambil terus menarik tanganku.

"Pak Dadang tolong!," pintaku.

Pak Dadang berusaha melepaskan genggaman Pak tua itu, namun rupanya suara kami terdengar oleh penghuni di sana tiba-tiba datang makhluk besar bertanduk dia mencoba menangkap Adikku, tapi kami langsung melarikan diri Pak Dadang menggendong Adikku. Saat kami berhasil keluar semua penghuni di sana diperintahkan untuk menangkap kami sehingga kami di kejar oleh seluruh penghuni di sana.

"Pak bagaimana ini kita harus ke mana?" tanyaku.

"Kita harus bersembunyi," jawabnya.

"Kak aku sangat takut," ujar Adikku.

"Semua akan baik-baik saja," aku menenangkan Adikku.

"Kita harus menemukan jalan yang kamu lalui saat masuk ke sini," ujar Pak Dadang.

"Tapi aku lupa lagi jalannya," ujarku.

"Coba kamu ingat-ingat lagi," pintanya.

"Aku tahu jalan keluarnya," ujar Adikku.

"Kamu benar-benar tahu?" tanyaku.

"Iya ayo ikuti aku," jawabnya.

Kami mengikuti Adikku sambil terus waspada karena takut ada yang melihat kami, ternyata benar ada yang melihat kami dia makhluk dengan tangan yang besar sebelah dan bermata besar, Pak Dadang menyuruh kami pergi dan dia akan mencoba menghadang makhluk itu, tanpa pikir panjang aku langsung menggendong Adikku dan melarikan diri sambil di arahkan Oleh Adikku harus pergi ke arah mana.

"Itu kak sebelah sana," ujarnya.

"sebelah mana?" tanyaku.

"Sebelah kiri, itu ada pohon besar, itu jalan keluarnya," ujarnya.

"Kamu yakin?" tanyaku.

"Iya kak itu jalan keluarnya," ujarnya.

"Tapi tidak ada pintu atau semacamnya," ujarku.

"Ayo kita ke sana," pinta Adikku.

"Ayo Kak kita berdoa agar pintunya terbuka," ujarnya.

Saat kami berdoa pintu itu terbuka aku langsung menggendong Adikku dan pergi memasuki pintu, tapi kakiku di tarik oleh Makhluk besar itu. Aku membiarkan Adikku lebih dulu keluar terus aku berusaha untuk melepaskan Kakiku dari Makhluk itu, muncul Pak Dadang dan dia menolongku aku berhasil keluar dan pintu itu tertutup perlahan aku melihat Pak Dadang aku merasa sedih harus meninggalkannya.

"Jangan khawatir sekarang ini tempat Bapak," ujarnya.

"Bagaimana kalau mereka melukai Bapak?" tanyaku.

"Mereka akan selalu melukaiku, cepat temui Adikmu, pintu pun tertutup.

Setelah pintu itu tertutup aku langsung lari walaupun aku khawatir apa yang akan menimpa Pak Dadang. Saat di rumah aku melihat Adikku sudah ada bersama kedua Orang tuaku, kemudian aku menceritakan kepada Orang tuaku dan Pak Ustaz kalau Adikku di jadikan tumbal oleh keluarga Tante Lidia.

"Kita harus memberitahu Warga Mah, agar tidak ada korban lagi," ujarku.

"Tapi kita tidak punya cukup bukti Nin," ujar Mamah.

"Terus kita hanya akan diam saja?" tanyaku.

"Kita harus mencari bukti dulu baru kita bisa meminta pertanggung jawaban dari mereka," ujar Pak Ustaz.

"Iya sekarang kamu istirahat saja, biar kami Orang dewasa yang membereskannya," ujar Ayah.

Aku membersihkan badan terlebih dahulu sebelum aku tidur, malam ini aku tidur bersama Adik dan Mamah karena Mamah takut Adikku akan menghilang lagi. Walaupun Ayah menyuruhku untuk tidak mengurus urusan ini, tetap saja aku akan mencari bukti kalau mereka memuja setan agar mereka bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Nin kenapa kamu belum tidur?" tanya Mamah.

"Aku belum mengantuk Mah," jawabku.

"Ini sudah jam 3 pagi Nin kenapa kamu belum mengantuk? Kamu memikirkan apa?" tanya Mamah.

"Enggak Mah aku hanya tidak percaya saja hal seperti ini menimpa keluarga kita," jawabku.

"Sudah jangan dipikirkan lagi, Adik kamu juga kan sudah pulang sekarang kamu istirahat," ujar Mamah.

"Iya Mah," jawabku.

Aku mencoba tidur saat aku terbangun ternyata sudah jam 9 pagi, untung saja sekarang hari minggu. Ternyata ada pesan dari Ana dan Sara, mereka mengajakku untuk main di hari minggu. Aku membalasnya dan menceritakan yang terjadi pada Adikku, dan mereka bilang akan datang ke rumahku.