-
"Maaf, saya belum bisa menerima kamu bekerja di sini. Saya harap, kamu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini."
Mendengar ucapan itu, Renata pun langsung mendongakan kepalanya dan menatap lurus ke arah seorang wanita parubaya berpakaian modis, yang sedang duduk pada kursi yang ada di hadapannya itu. Gadis itu tidak menyangka, dengan ucapan yang dilontarkan oleh wanita parubaya itu kepada dirinya, sebagai sebuah pneolakan halus.
"Maaf, tapi alasannya apa yah, Bu? Soalnya, setelah membaca semua kriteia dan persyaratan yang Ibu cantumkan di informasi lowongan di sini, saya merasa sudah masuk ke dalam kriteria tersebut. Dan saya rasa tidak mungkin, jika saya tidak masuk ke dalam kriteria itu, Bu," ujar Renata, dengan penuh keyakinan, meskipun perasaanya terasa getir sekarang ini.
Wanita parubaya yang masih berada di depan Renata itu terlihat berdehem pelan, sebelum memperbaiki posisi duduknya.
"Ya, kamu memang sudah memasuki kriteria saya, tapi lowongan pekerjaan yang kamu ajukan sudah terisi oleh orang lain. Jadi, saya mohon maaf, karena tidak bisa menerima kamu di sini," jawabnya kemudian.
Renata terlihat menautkan kedua alisnya, sembari menggelengkan kepalanya perlahan.
"Kalau misalkan lowongannya memang sudah terisi, untuk apa ibu menghubungi saya untuk mengikuti wawancara ini, Bu? Jika memang lowongannya sudah terisi, harusnya Ibu tidak perlu menghubungi saya dan memberi harapan kepada saya untuk mengikuti wawancara, Bu. Maaf jika saya lancang, tapi semua tempat yang mewawancarai saya, selalu menolak saya dengan alasan yang sama, dengan apa yang ibu katakan tadi. Padahal, jelas-jelas, kalian sendiri yang menghubungi saya untuk mengikuti wawancara."
Gadis itu mengatakan kalimat panjang lebar itu dengan ekspresi wajahnya yang terlihat memerah. Sepertinya, dia merasa begitu tersakiti, dengan kalimat penolakan berulang, yang sedari awal dia dengar sedari melakukan wawancara pertama.
Sedangkan, wanita parubaya bername tag 'Kania Greshia' dengan jabatan HRD itu tetap diam di tempatnya, dengan tatapan yang masih terarah lurus ke arah Renata. Dan dalam pandangan mata itu, Renata bisa melihat ada sesuatu yang sepertinya memang disembunyikan dan tersirat dalam pandangan wanita parubaya itu.
"Maaf, aku tidak bisa mengatakan banyak hal lagi. Lebih baik, kamu segera keluar dari ruangan saya dan semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan dari lowongan lain," ujar wanita parubaya tersebut.
Mendengar itu, Renata pun hanya bisa menghela napasnya perlahan, sembari menganggukan kepalanya. Meskipun dalam hati, gadis itu merasa begitu kesal, dengan setiap penolakan yang berkali-kali dia dengar dari orang-orang yang pernah memwawancarainya.
Lalu, Renata bangkit dari duduknya dan kembali mendekap amplop coklat yang sedari tadi dia taruh ke atas meja. Berbasa-basi dan berpamitan sebentar, kemudian segera melangkahkan kakinya dari ruangan HRD itu.
-
Renata menyesap perlahan coklat hangat yang ada di genggaman tangan kanannya sekarang ini, dengan tangan kiri yang masih mendekat amplop berisi data diri pada tubuhnya.
Saat ini, gadis itu sedang duduk sendirian di atas kursi yang ada di taman, setelah sebelumnya memesan coklat hangat kesukaannya. Karena dia merasa begitu lelah, setelah berjalan kaki dari satu restauran ke restauran lain, untuk mengikuti wawancara yang ternyata tidak menghasilkan apa pun bagi dirinya itu.
Lalu, Renata terlihat mendongakan kepalnya dan menatap pepohonan dengan daun yang rimbun, yang ada di atas kepalanya sekarang itu.
"Apakah menjadi pohon adalah hal yang menyenangkan? Tapi aku rasa tidak. Karena ada saatnya daun-daun itu berjatuhan saat musim kemarau, meskipun akan kembali tumbuh saat musim semi. Tapi bukankah begitu menyakitkan, kalau sebagai pohon kau hidup sendirian di sini dan tidak bisa berjalan kemana-mana?"
Renata mengatakan kalimat itu sembari terus menatap pohon besar yang ada di sampingnya, yang daunnya ada di ataa kepalanya sekarang itu. Setelahnya, gadis itu terdiam di atas kursinya, sembari terus menyesap minumanya pelan-pelan. Menikmati menit demi menit kesunyiannya, yang terasa begitu kesepian dan cukup menyedihkan.
Sampai akhirnya, Renata tiba-tiba menegakan posisi duduknya, ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya cukup kencang.
"Renata?"
Renata langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap sosok laki-laki yang baru saja memanggil namanya itu, hingga membuatnya merasa begitu terkejut itu.
"Di—Dimas?" balas gadis itu kemudian, dengan suara terbata karena masih dalam keadaan terkejut.
Dan sosok laki-laki yang Renata panggil dengan nama Dimas itu terlihat menautkan kedua aslinya dan mendudukan dirinya pada bagian kursi kosong yang ada di sisi samping gadis itu.
"Kau selalu datang tiba-tiba seperti ini, apakah kau tidak ada tugas kuliah, hm?" tanya Renata, sembari kembali menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi. Dengan tatapan sepasang mata kecoklatan miliknya, yang kembali terarah lurus ke depan. Menatap satu persatu pasangan laki-laki dan perempuan, yang terlihat begitu bahagia dengan saling menggandeng tangan pasangan masing-masing.
Dimas menghembuskan napasnya perlahan, lalu menolehkan kepalanya ke samping, tepat ke arah sosok gadis yang sedang berada di dekatnya sekarang itu.
"Apakah kau sudah tidak bekerja lagi di restauran milik Ibuku? Beberapa hari ini aku mencarimu di sana dan tidak menemukanmu. Dan semua karyawan lain tidak ada yang menjawab pertanyaanku mengenai keberadaanmu. Dan ibuku, beberapa hari ini aku juga jarang melihatnya dan belum berhasil menanyakan tentangmu kepadanya," ucap Dimas, panjang lebar.
Dan entah karena alasan apa, tiba-tiba Renata malah menggelengkan kepalanya perlahan dan kembali menyesap minuman kesukaannya.
"Aku sudah keluar dari restauran Bu Ani, Dim. Aku sudah tidak bekerja lagi di sana," jawab gadis itu akhirnya, setelah beberapa saat terdiam.
Dimas membulatkan kedua matanya dengan perasaan tidak percaya. Lalu, laki-laki itu terlihat menegakan posisi duduknya dan memaksa Renata untuk menatap ke arahnya.
"Kau dipecat oleh Ibuku, Renata? Atau kau memang keluar dari pekerjaan yang Ibuku berikan?" tanya laki-laki itu kemudian, dengan tatapan sepasang mata gelapnya yang melebar.
Renata tertawa ringan, lalu melepaskan kedua tangan milik Dimas yang masih bertenger pada pundaknya.
"Ekspresi wajahmu terlihat jelek jika seperti ini, Dimas. Hentikan juga tatapanmu itu," ucap gadis itu kemudian, sembari menepuk kencang lengan atas milik laki-laki yang ada di sampingnya sekarang itu.
Dimas menghembuskan napasnya kasar, dengan tatapan yang terlihat menajam. "Aku serius, Renata. Sebenarnya, apa yang terjadi? Katakan kepadaku? Apakah ibuku benar-benar memecatmu?" tanya laki-laki itu lagi, dengan perasaan tidak percaya.
Renata terdiam sekejap, lalu menganggukan kepalnaya perlahan. "Tapi tenang saja, aku juga sedang mencari pekerjaan baru sekarang. Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan baru lagi setelah ini," ucap gadis itu.
"Kenapa Ibu tidak mengatakannya dulu kepadaku? Dan alasan seperti apa yang Ibu katakan, hingga di berpikir untuk memecatmu, Renata? Katakan apa alasannya kepadaku?"
Renata tersenyum tipis. "Kinerjaku memburuk, jadi ibumu berpikir untuk mencari pekerja baru untuk menggantikanku. Tenang saja, aku mohon, jangan katakan apa pun kepada ibumu dan biarkan aku mencari pekerjaan baru," ujarnya.
Mendengar itu, Dimas pun terlihat menggelengkan kepalanya, kemudian bangkit dari posisi duudknya.
"Aku tidak percaya dengan ucapanmu itu Renata. Aku akan menanyakannya langsung kepada ibuku dan membuatmu kembali bekerja di restauran ibuku itu!"
Setelah mengatakan kalimat itu, Dimas pun segera membalikan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan Renata yang masih terduduk di tempatnya.
Renata menghembuskan napansya perlahan. Gadis itu ingin sekali menghalangi langkah Dimas, tapi sepertinya dia tidak akan bisa melakukannya. Apalagi, sekarang ini laki-laki itu sedang dikuasai oleh emosinya sendiri.
"Aku harap, dia tidak melakukan hal gegabah atau tindakan bodoh dengan emosinya sekarang itu," gumam gadis itu lirih.