Chereads / The Loser Of Love / Chapter 8 - Keangkuhan

Chapter 8 - Keangkuhan

Bagas beberapa bulan sudah menjalani pekerjaan dengan sempurna. Perusahaannya memenangkan proyek besar atas rekomendasi bapak Audrey. Berbagai finansial dan bonus ia dapatkan cukup untuk menutupi defisit anggaran perusahaan, selebihnya keperluan pinangan.

Suatu sore ketika pulang dari kantor, ia berpapasan lagi dengan Jeff si lelaki nyentrik. Perubahan sangat kentara terlihat pada Jeff berpipi membulat.

"Hey, Bagas,"

"Iya. Apa kabar, Jeff. Sudah lama tak melihatmu, barengan istri?"

"Eh, iyaya!"

"Istriku si Fira teman kita dulu, lagi asik momong bayi, Gas! By the way, Bagas kapan acara married? Nunggu apalagi, sih! usia kita udah matang," seloroh Jeff blak-blakan.

Lalu Bagas mengajak Jeff ngopi bareng di kafe dekat kantornya. Jam menunjukkan pukul 17.30 wib, tandanya masih ada waktu, nyantai bareng, Jeff.

"Yuk, Jeff,"

"Bagas yang traktir,"

Keduanya bergegas mencari posisi duduk yang nyaman dan terbuka. Ada meja di pojokan terpisah, sepertinya sangat cocok bagi yang membutuhkan ketenangan. Dan mulailah percakapan di antara Bagas dan teman masa kuliah dulu.

Setelah beberapa menit berlangsung percakapannya dengan Jeff. Terlihat wajah murung Bagas takkala mau menceritakan sesuatu. Niatan Bagas menanyakan pendapat teman dekatnya itu. Ia menjelaskan ke Jeff tentang perjodohan dengan Audrey untuk menolong perusahaan bapaknya yang sedang colaps.

"Hm. Aku meninggalkan Gabriel menjemput Audrey. Keduanya membuatku putus asa, Jeff. Ia begitu mencintai kedua wanita itu. Entahlah, Jeff!" desah Bagas seraya menghela napas berat. Seolah belum ada titik temu di antara Bagas dan kekasihnya.

Dalam hatinya, Gabriel dan Audrey adalah kedua sosok perempuan yang baik budi, dan tak akan tergantikan kedudukan kedua wanita itu di sudut atmanya.

"Jeff, gimana caranya?"

"Bersikukuhlah, Gas. Keduanya segera menjemput dipelukanmu. Bacalah doa-doa untuk melembutkan hati keduanya supaya akur, bahkan musuh pun akan tunduk. Kamu bisa mengamalkannya, Gas. Percayalah," saran Jeff yang berubah menjadi orang alim.

Bagas hanya terdiam dan sesekali mengangguk pembicaraan temannya dengan hati yang bingung.

"Lalu bagaimana? Bagas udah mencoba melamar Audrey ke orang tuanya?"

"Nggak usah buru-buru, Jeff! Aku siapkan dulu semua permintaan bapaknya," tukas Bagas singkat dengan mata penuh binar.

Bagas dengan suara berat menjelaskan syarat pinangannya.

Jeff terpelongo mendengar cerita Bagas. Sesekali Jeff melihat Bagas menahan buncahan rasa yang menggumpal pekat dalam rongga. Rasa iba menyeruak dalam dadanya, ingin membantu temannya.

"Jeff harus bantu apa, Gas?"

"Katakan, aku pasti membantumu!"

"Iya, Bagas janji mengabarimu, Jeff!"

Pada hari yang ditentukan, Bagas dan Jeff meluangkan waktu bertemu, dan merencanakan silaturrahmi ke rumah Audrey. Selama ini mereka hanya mendengar dari mulut orang lain.

Memasuki rumah seorang Bos yang dijaga ketat oleh para satpam. Nampak beberapa mereka menyetop mobil yang dikendarai Bagas. Ibu, bapak, Jeff dan Bagas segera melongok ke luar jendela. Terlihat seorang satpam bertubuh gempal, melambaikan tangan.

"Selamat siang, Pak. Apakah sudah membuat janji dengan Bos?" tanya satpam gempal itu.

"Udah, pak!" jawab Bagas seraya tersenyum, mengangguk.

Seketika satpam itu menyilahkan keluarga Bagas memasuki area perumahan para elite. Ia menenangkan hati dan pikiran yang sudah mulai bergemuruh. Helaan nafasnya mengusik perhatian ibunya.

"Santai aja, Nak! Kita bukan perompak yang ingin merampas. Kedatangan kita suatu itikad baik dan sunah. Yakinlah, semua akan baik-baik aja, kok," ucap ibu Bagas menguatkan anaknya.

Kami dipersilahkan masuk ke ruang paviliun. Seseorang mengabarkan bahwa bos sedang ada tamu, hingga mengharuskan kami menunggu tiga puluh menit lagi..

Sesaat kemudian, lelaki tinggi tegap seperti layaknya seorang militer duduk berhadapan sambil berusaha tersenyum.

"Selamat siang!"

"Hei, he-i... apakabar, pak Johan Bramantio?"

Keduanya berjabat tangan hangat terkesan begitu akrab. Pak Abim Wicaksono tiba-tiba tersenyum begitu melihat mitra kerjanya yang datang dan seketika menjadi ramah.

"Kok, nggak ngasih kabar dulu, mau kemari? Ahh....gimana ini?' tanyanya berubah perhatian pada Bagas.

"Perkenalkan, pak! Aku Bagas dan ini Jeff, temanku, " tunjukku sambil mengangguk.

Pak Johan setelah berbincang-bincang langsung memasuki inti pembicaraan yang serius.

"Pak Abim, izinkan anakku Bagas meminang putri bapak untuk menjadi pasangan hidup baik suka maupun duka," ucap Pak Johan sembari melebarkan sudut mulut hingga menampakkan geliginya putih bersih.

"Bisakah, kalian menjamin kehidupan anakku?"

Rona wajah Bagas dan keluarganya memerah takkala mendengar pernyataan papa Audrey. Konyol banget! tanpa sadar ia menanyakan hal yang sudah melangkahi takdir pemilik alam semesta. Dengan mengumpulkan keberanian, Bagas menanggapinya.

Selang beberapa menit, papa Audrey pun menyambung pembicaraan yang lebih serius. Ia mengamati lamat-lamat keteguhan hati Bagas terhadap anaknya, Audrey.

"Kamu sanggup memenuhi permintaan untuk Audrey?"

Bagas menggangguk sambil menatap bola mata yang membulat. Ada sedikit rasa was-was, entah apalagi yang diinginkan papanya Audrey itu.

"Apapun, akan Bagas lakuin kecuali bapak meminta nyawaku!" tegasku lantang.

"Audrey adalah anak perempuan bapak satu-satunya. Saya tidak mau nanti Bagas akan menyakiti hati, Audrey," ujarnya dengan ekspresi datar.

Sang bapak sesekali menghirup aroma rokok cerutu pertanda ia sedang memikirkan cara menghadapi calon mantunya.

"Bagas, apakah udah menyiapkan rumah untuk, Audrey?" tanyanya setengah bergidik.

"Hm....!?"

Bapak Bagas, mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan menohok. Ia melakukan pembelaan hingga Bapak Audrey menatap sangar dengan kedua netra yang tajam. Itikad baik membawa keberanian melawan tembok keangkuhan bos kaya raya.

"Maaf, Pak Abim!"

"Anakku Bagas telah menyiapkan rumah atas nama Audrey untuk ditempati keduanya, jika mereka berjodoh. Dengan demikian syarat permintaan, udah selesai?!" cetus ayah Bagas tegas, merasa jengah punya besan orang kaya banyak tingkah dan perhitungan.

"Iya!"

"Sebagai hadiah, Bagas saya angkat jadi Direktur Utama," pungkasnya tersenyum memaksa.

"Jangan, Pak! saya belum pantas!"

Baru kali ini Bagas melihat lelaki garang dan penuh wibawa tersenyum lepas.Ia seakan melunak di depan calon mantunya

Arogansi keluarga Audrey seakan lumer bak bunga es yang mencair. Keduanya sudah sah melalui sebuah proses pinangan. Dalam waktu dekat akan ada sebuah resepsi mewah bergelar dua hari dua malam.

"Audrey! Berat beban, Mas!" desahnya sambil memonyongkan bibir beberapa senti.

Setelah beberapa menit bertamu di rumah Audrey, Bagas pamit pulang dengan perasaan gemuruh. Hari yang dilalui Bagas terasa sedikit meringan membumi di awan. Tebing curam bertabur bebatuan cadas telah ditaklukkannya, hingga mental pijakan keberuntungan, Audrey.

"Keras, keras kerak, kena air lembut juga," gumamnya tersenyum dalam hati, mengulangi pepatah yang sering diucapkan ibunya.

Dan tibalah saat penentuan acara resepsi di rumah mempelai wanita. Akhirnya setelah menunggu bakal terwujud juga. Mencari bulan baik, hari baik Bagas serahkan pada orang tua. Rasanya begitu lelah mengikuti prosesi yang berlaku.

"Pantas aja, anak muda sekarang mengambil cara pintas, bahkan ada yang nekad kawin lari atau menodai pasangannya. Niat baik harusnya dipermudah bukan ditodong oleh berbagai persyaratan yang menghamburkan keegoan berbalut harga diri tinggi," batin Bagas menentang.

.