Mereka telah tiba di hotel dan lantai yang sama, dengan tempat pertemuan pertamanya bersama Arthur. Seperti biasa Eve di persilahkan masuk ke kamar Pria itu tanpa di temani siapa pun.
Eveline tampak ragu, ia berjalan begitu pelan dan bahkan terlihat seperti mengendap-endap. Dia juga tampak telah melepaskan hak tinggi yang sedari tadi ia gunakan. Dia terlihat meninggalkannya di lantai begitu saja, begitu pun tas tangannya, ia juga menaruhnya di lantai.
Setiap langkah ia mulai melepaskan benda berkilau dari tubuhnya, mulai dari anting, gelang, hingga jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benda-benda kecil itu ia taruh di atas meja.
Penampilan wanita ini sudah tampak polos, hanya menggunakan gaunnya tanpa ada aksesoris tambahan sama sekali.
Eveline tampak bingung, lampu di ruangan tempat ranjang tidur itu tak menyala. Ruangan yang cukup luas itu pun terlihat di selimuti kegelapan.
Eve melirik ke segala sisi, mencari tombol lampu yang kemarin sempat ia lihat di bagian dinding, ia berjalan meraba, hingga sesuatu seolah mendekapnya.
Sangking terkejutnya wanita itu hampir saja berteriak, tapi ia mendengar suara bisikan dari balik telinganya, jelas itu suara orang yang terdengar tidak asing dan ia kenal betul siapa pemiliknya.
"Sial … aku hampair saja melompat ketakutan. Apa kamu tidak mau menyingkir dariku? Hidupkan lampunya, aku tidak terbiasa di tempat gelap."
Terdengar suara Maxime tertawa.
"Umh … bau alkohol … kamu mabuk …." Eveline menggerutu.
Eve tanpa sengaja mengeluarkan desahan, merasakan sentuhan dari balik tubuhnya secara tiba-tiba, dan ciuman mendarat di ceruk lehernya.
Sekarang ciuman itu merambah ke bibirnya. Eveline hanya bisa diam seribu bahasa, membuka dan menutup mata di dalam kegelapan.
Ia memukul dada laki-laki itu beberapa kali karena dia telah kehabisan banyak napas. Napas wanita itu tampak naik turun, dia seolah berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Arthur.
Eve membanting diri ke dinding, mereka berdua sudah sama-sama menempel di dinding, tangan Eveline yang tertekuk ke atas meraba dinding yang ada di atas kepalanya dan menemukan sebuah tombol di sana.
Semua tampak menyala, dan cahaya sudah menerangi seluruh ruangan, hingga ia terperangah menatap pria yang mabuk sedang berdiri di sebelahnya.
Arthur terlihat telanjang, ia tidak mengenakan sehelai benang pun. Eve hanya menggeleng-geleng. "Pria ini benar-benar gila."
Tubuh Arthur terlihat hampir ambruk dan Eveline sigap menangkapnya.
"Kamu itu berat, ayo sadarkan dirimu … hey, pria mesum … bangun lah." Ia menepuk-nepuk pipi pria itu beberapa kali.
Wanita ini terlihat bersikeras menarik tubuh pria tinggi itu, sehingga bagian pinggang, pantat dan seluruh tubuh bagian bawahnya terseret menyapu lantai.
Eve berdiri merentangkan pinggang, mengatur napas dan menyeka keringatnya. "Tubuhnya terlihat kurus, tapi kenapa tubuhnya seberat ini."
Dia kembali merunduk dan meraih dan memeluk sisi di bawah ketiak pria itu, untuk kembali menariknya menuju tempat tidur.
"Bagaimana mungkin pria ini semabuk ini, berapa banyak yang dia minum." Matanya tanpa sengaja menatap pada Botol Wisky yang ada di tempat tidur.
"Pantas saja, untung bila dia tidak mati karena ini." Ia naik ke tempat tidur dan meraih botol itu serta menaruhnya di atas nakas.
Ia masih mencoba menarik tubuh Arthur ke atas tempat tidur. Ia tampak membaringkan pria itu di atas ranjangnya.
Wanita itu berada di atasnya dan terlihat menelan saliva. "Kenapa dia telanjang, apa dia tidak kedinginan … benar-benar menjijikkan, melihatnya seperti ini membuatku sakit kepala." Belum selesai keluh kesahnya, tiba-tiba pria itu tampak bangkit dan memeluknya.
"Hey … lepaskan aku." Eveline berteriak padanya, wanita ini mencoba memberontak tapi pria itu seolah tidak mendengarnya.
"Jangan kemana-mana, tetap di sini denganku hingga pagi."
"Lepaskan aku, aku masih perlu bernapas." Ia mencoba mendorong pria itu menjauh tapi ia tidak bisa.
Akhirnya Eve terpaksa mengalah dan tetap diam di dalam pelukan, menunggu hingga mabuk pria itu menghilang.
"Kamu milikku … jangan biarkan siapa pun menyentuh dan memiliki benda kesayanganku."
Eve membalas gumaman Arthur yang masih begitu erat memeluknya itu. "Aku bukan benda dan aku bukan milikmu, sampai kapan pun aku akan terbang bebas, jika ada seseorang yang harus memilikiku, aku berharap itu bukan kamu, tetapi seseorang yang sudah lama aku inginkan."
Arthur membuka matanya, menatap kepala wanita yang menempel di atas tubuhnya itu. "Siapa dia? Katakan padaku siapa!"
Eve yang tampak kaget berusaha memberontak. "Bukan urusanmu, sekarang lepaskan aku … aku tau kamu sudah sadar dari mabukmu."
"Tidak akan … aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu menyebutkan nama pria itu."
Eveline tampak hening sementara memikirkan jawaban. Sementara Arthur terus saja bertanya.
"Baiklah aku akan mengatakannya."
"Katakan siapa … biar aku menghabisinya."
"Alvin …," tuturnya membuat Maxime bingung dan melepaskan pelukannya, dan ia menghempaskan Eveline dengan kasar di samping tubuhnya.
Ia memiringkan tubuhnya menatap pada wanita yang terlihat menatap dalam pada langit-langit ruangan yang tinggi itu.
"Kenapa kamu menyebut nama Alvin, kamu sangat pintar, kamu tau jika yang keluar nama Alvin maka aku akan melepaskanmu."
"Syukurlah jika kamu tidak ingin menghabisi Alvin." Eve menghela napas panjang.
"Menyebalkan …," ucapnya pada Eveline yang masih terbaring menatap langit-langit.
Pria itu tiba-tiba bangkit, mengunci posisi Eve dan dengan gagah berada di atas tubuhnya.
Wajahnya terlihat turun dan ingin mencium, tapi wanita itu terlihat berpaling. Eveline sengaja memalingkan wajahnya. Arthur yang tadinya sangat ingin mencium bibir wanitanya itu, malah hanya beralih mencium pipi.
"Kamu kenapa?" Ia mengelus kulit mulus di bagian telinga dan turun ke leher wanita itu, membuat wanita itu memejamkan mata.
Tangannya meraih wajah wanita itu dan sedikit mencengram di dagu, membuat Eveline mau tidak mau menatap wajahya. Kali ini wajah Arthur turun dan berhasil mencium bibir wanita yang ada di bawah tubuhya itu.
Mereka telah sama-sama tidak tertutupi benang sama sekali, Eve dan Maxime melakukan hubungan semalaman hingga keduanya tampak mandi keringat dan membuat Seprei mereka basah.
Keduanya terengah-engah, dari atas tubuhnya Arthur tampak tersenyum puas.
"Kamu benar-benar membuatku candu, rasanya aku sudah tidak mampu melepas rasa ketergantungan ini."
Eveline mengangkat kepalanya dan lantas mencium bibir lelaki itu. "Sayangnya aku tidak."
Arthur hanya tersenyum. "Jika wanita mengatakan tidak, itu artinya iya."
Eveline mengalungkan kedua lengannya di leher laki-laki itu. "Tapi aku berbeda. Aku bisa mengatur perasaan sesuai keinginanku."
Maxime tampak tersenyum miring. "Jika benar begitu, maka lakukan itu untukku … aku akan melakukan dan memberikan apa pun yang kamu mau, asalkan kamu selalu berada di sisiku."
Eveline kembali mencium bibir Arthur sekilas."Maaf tapi aku tidak mau."
Arthur menjatuhkan diri di samping tubuhnya sampir tertawa. "Kamu perempuan yang pandai. Aku sangat menyukaimu. Kamu selalu mempermainkanku dan itu membuatku merasa semakin penasaran."
"Simpan saja rasa penasaran itu, agar kamu bisa bermain dengan perempuan lain." Eveline bicara tanpa berpikir.
"Sayangnya aku tidak mau. Jika aku sudah memilih … maka tidak ada seorang pun yang mampu merubah itu!"
Dengan tanpa di prediksi, Arthur lantas memeluk tubuh wanita yang berbaring di sampingnya itu.