"Cepat, Laras?! Panji sudah nunggu lama itu di depan!!"
Laras mendengus, ia sebenarnya malas sekali untuk mengikuti perintah Yuni. Dari awal Laras sudah menolak mentah-mentah perihal perjodohan ini, tetapi Yuni berlagak tutup telinga dan melanjutkan prosesnya. Hingga berakhirlah Laras di dalam mobil, hanya berdua dengan Panji. Sedari tadi keheningan terus menyelimuti mereka. Panji juga sepertinya enggan membuka suara, mungkin laki-laki itu tersinggung dengan ucapan Laras kemarin sore.
"Ayo turun," ajak Panji ketika mobilnya berhenti pada parkiran sebuah butik.
"Aku gak mau fitting baju. Aku udah bilang, aku gak mau lanjutin perjodohan ini. Terserah mau semua orang marah atau bahkan ngusir aku, aku gak peduli. Daripada aku harus terjebak hidup dengan laki-laki yang bahkan gak aku cintai sama sekali."
Panji menghela napas. Hari ini sudah cukup melelahkan dengan banyaknya masalah di kantor, lalu tiba-tiba Yuni memintanya untuk fitting baju bersama Laras. Dan lihatlah, perempuan itu kini enggan turun dari mobil. Ditambah ucapannya yang begitu tepat menusuk hati Panji.
"Iya, saya tahu. Tapi saya nggak bisa menolak permintaan bibi kamu," ucap Panji.
"Kalau nggak bisa menolak, bisa kan kamu pergi sendiri tanpa aku?" Panji menggeleng. "Nggak bisa. Kamu harus ikut juga."
"Kalau aku ikut, sama aja kayak aku setuju dengan perjodohan kita."
Panji memejamkan matanya, berusaha meredam keinginan untuk berucap tajam pada Laras, perempuan yang keras kepala.
"Kalau kamu menolak, nggak papa. Kita bisa bicarakan nanti, secara baik-baik dengan kedua orang tua saya. Tapi untuk sekarang, tolong, Laras. Permudah semuanya, saya sudah sisihkan waktu untuk ini, jangan disia-siakan."
"Siapa suruh kamu nurut? Kalau aja kamu tolak, gak akan tuh Bibi dateng ke kampusku, nyeret aku di depan banyak orang. Kamu kira aku mau kayak gitu?"
Lagi-lagi Panji harus memejamkan matanya, benar-benar. Bicara pada Laras harus menggunakan akal sehat, jangan sampai ikut terpancing emosinya.
"Laras, saya benar-benar minta tolong. Permudah semuanya untuk hari ini saja. Saya harus cepat pulang karena ada pekerjaan yang belum selesai." Panji masih berucap dengan lembut.
"Ya udah, kamu aja sendiri yang masuk. Mudah kan? Aku tunggu di sini sampai kamu selesai, habis itu kita pulang bareng seolah semuanya lancar. Gampang kan? Gak susah? Kamu aja yang dari tadi mempersulit semuanya."
"Laras, ini fitting baju kita berdua, bukan hanya saya. Kalau hanya saya, saya bisa pergi sendiri tanpa kamu."
"Ya udah, toh, perjodohan kita akan dibatalin kan?"
Panji mengusap wajahnya dengan kasar. Kentara sekali jika ia sudah lelah berdebat dengan Laras. "Ya sudah, kamu tunggu di sini."
Lalu, Panji keluar sendirian. Meninggalkan Laras di dalam mobil yang hanyut dalam penyesalan. Harusnya Laras lega juga senang, karena ia tidak perlu lelah berganti baju berkali-kali dalam fitting. Tetapi entah kenapa, ia malah merasa bersalah sebab melihat raut wajah Panji yang sudah kusut itu.
"Ah, paling Panji lagi capek aja. Lagian, siapa suruh dia mau diminta ini itu sama bibi."
Laras akhirnya hanya diam, memandangi langit malam dari balik jendela mobil yang tertutup. Gila! Ia sangat bosan. Jika saja Yuni tidak kembali merampas ponselnya, pasti Laras sudah memesan taksi online untuk mengantarkannya pergi dari sini.
Hampir dua puluh menit, namun Panji tak kunjung keluar dari dalam gedung butik itu. Laras sudah mengantuk, lamat-lamat memejamkan mata sebelum benar-benar hanyut dalam buaian mimpinya yang indah.
Panji sendiri berjalan dengan terburu, sang ayah sudah menelponnya berkali-kali untuk segera pulang ke rumah sebab rekan bisnis mereka sudah datang untuk melakukan rapat sekaligus makan malam. Di saat Panji tergesa-gesa untuk melajukan mobilnya, ia melirik Laras yang ternyata sudah terlelap dengan posisi duduk. Tangannya bersidekap di atas dada, dengan kepala yang bersandar pada jendela mobil.
Perlahan, Panji mengubah kursi Larar agar bisa digunakan untuk berbaring, dia juga memegangi kepala Laras dengan lembut sampai benar-benar bisa terbaring dalam sandaran jok yang nyaman.
"Aku bawa ke rumah aja deh."
Setibanya di rumah, Panji langsung menggendong Laras ke dalam kamarnya. Tentu saja lewat pintu belakang, sebab di ruang tamu sudah ada rekan bisnis ayahnya.
"Loh? Kok Laras kamu bawa ke sini? Ini dia kenapa?" Satya bertanya ketika ia mendapati sang anak yang tengah menggendong seorang perempuan.
"Laras ketiduran, mungkin dia capek banget. Aku mau bawa di kamar, sekalian ganti baju dulu sebelum ikut rapat."
Satya mengangguk saja. "Ya sudah, hati-hati lewat tangganya. Kuat gak kamu?" Satya agak khawatir karena tangga menuju kamar Panji itu lumayan panjang. Takut jika Panji tiba-tiba tak bisa menyeimbangkan tubuhnya lalu berakhir menggelinding ke bawah berdua dengan Laras di gendongannya.
Untungnya saja, Panji mampu menggendong Laras dengan baik hingga bisa membawa perempuan itu untuk berbaring di atas ranjang empuk miliknya. Sebelum beranjak untuk berganti baju, Panji sempat mengelus surai hitam Laras. Memandangi wajah ayunya dengan perasaan rindu yang menggebu.
"Saya harap, kita bisa bersatu."
***
Laras mengerjapkan matanya berkali-kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Seingatnya ia tertidur di dalam mobil, tapi kenapa dia berada di kamar sekarang? Lagi, ini bukanlah kamarnya.
"Ini di mana sih?" Laras membuka matanya lebar-lebar, meneliti sudut kamar besar yang didominasi warna putih.
"Apa ini di rumah lamaku, ya?"
Laras awalnya tenang-tenang saja, sampai ia menemukan sebuah figura berisi foto seorang laki-laki yang tidak asing baginya.
Panji.
Apa ini kamar Panji? Apa Panji yang membawanya ke mari? Apa itu artinya Panji telah ....?
Tidak!!
Panik seketika menyerang Laras. Ia segera bangung dan hendak berlari keluar, namun sebelum itu Panji masuk dengan segelas air putih di tangannya. "Laras? Kamu sudah bangun?"
"Brengsek!!"
Seusai berteriak, Laras mengambil alih gelas dari tangan Panji. Lalu tanpa pikir panjang, ia melemparkan gelas berisi air itu tepat di samping kepala Panji.
Prang!!!
"Laras!!!"
Gelas itu mengenai pintu di belakang. Untung saja tidak mengenai wajah Panji.
"Kamu kenapa?!" Panji ikut panik melihat Laras yang sudah menangis di depannya.
"Gak! Jangan mendekat!! Kamu jahat!!"
Panji tersentak dan reflek mundur ke belakang ketika Laras hendak melemparkan guci ke arahnya. "Laras, tenang dulu. Kamu kenapa?"
"Gak! Aku gak bodoh! Aku gak akan mau disentuh kamu!!" Satu tangan Laras digunakan untuk mengacungkan guci, satunya lagi ia gunakan untuk menutupi telinga sebab denging-denging berisik mulai terdengar hingga isi kepalanya dibuat kacau.
"Kamu kenapa, Laras?!" Panji nekad mendekati Laras. Berkahir pada guci yang dilemparkan ke depannya.
Prang!!
"Laras!!"
"Gak! Pergi kamu! Aku bukan perempuan kotor!!!"
"AAAAA!!"
Laras sempat berteriak kuat sebelum tubuhnya mulai limbung. Bayangan-bayangan hitam itu memenuhi kepalanya hingga terasa ingin pecah. Laras sempat memanggil nama Randi sebelum kesadarannya menghilang.