Malam sudah tiba, di mana pukul delapan nanti adalah waktu untuk Yuni meniup lilin bertuliskan angka 32. Seharusnya Laras sudah duduk manis di dalam mobil Panji, namun yang terjadi malah ia yang hanya duduk diam di kursi teras sembari menggerutu pelan.
"Ini Panji ke sini gak sih? Kok lama banget?"
Berkali-kali Laras mengecek arloji yang terpasang di tangannya. Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh, namun Panji belum menampakkan batang hidungnya. Dering di ponsel Laras juga berkali-kali ia tolak, sebab panggilan itu berasal dari Iwan yang terus-menerus menanyakan kapan sampai.
"Kalau sekali lagi aku telpon gak diangkat, awas aja."
Laras kembali menghubungi Panji via telepon, namun lagi-lagi tidak dijawab oleh laki-laki itu. Mendengus, Laras berdiri. Ia sudah kepalang kesal pada Panji, ia memutuskan untuk tidak datang di acara Yuni. Namun sebelum itu, suara klakson terdengar dari luar gerbang. Namun seingat Laras, mobil yang ada di depan gerbang itu bukanlah mobil Panji.
"Laras?!" Suara Widia terdengar nyaring, membuat Laras langsung berlari menghampirinya.
"Tante?" Laras menyapa dengan bingung, ketika melihat Widia yang turun dari mobil putihnya. "Kok Tante yang jemput aku, Panji mana?"
"Masuk dulu, yuk? Takut macet, nanti telat datangnya." Laras menurut saja. Ia duduk di samping Widia yang menyetir.
"Jadi, Panji ke mana? Aku telponin gak diangkat-angkat." Laras membuka suara. Ia sangat penasaran ke mana perginya Panji sampai-sampai telponnya diabaikan oleh laki-laki itu.
"Dia nggak bisa datang, Laras. Lagi kurang enak badan soalnya. Dan soal telpon kamu, sepertinya dia lagi istirahat dulu. Dia juga sebenarnya jarang banget buka handphone kalau lagi di rumah."
Laras mengangguk. "Oh, gitu. Aku kira dia marah sama aku. Soalnya aku kurang bersikap baik sama dia." Laras mengaku. Ia tak mau menutupi fakta bahwa dirinya yang memang tidak menyukai Panji. Daripada ia bersikap sok manis dan mendapat respon positif, lebih baik ia bersikap apa adanya. Sehingga, baik Widia maupun Satya akan menarik kembali keputusan mereka agar menjodohkan Panji dengan dirinya lagi.
"Nggak. Lagipula, kamu jangan khawatir. Seburuk apapun perlakuan kamu ke Panji, dia nggak akan pernah marah. Sekalipun kamu buat dia nggak bisa jalan juga, dia nggak akan marah."
"Kenapa gitu?"
"Karena dia mencintai kamu, dengan sepenuh hatinya."
***
Berada di dalam lingkaran pebisnis dengan berbagai usia membuat kepala Laras pening dibuatnya. Kalau saja ada Panji di sini, ia bisa meminta laki-laki itu agar membawanya pulang saja. Namun sayang, laki-laki itu malah tak hadir. Padahal dia pula yang meminta Laras agar datang ke pesta ini.
Ah, sebenarnya tidak bisa disebut pesta. Karena sebagian besar acara ini hanya diisi dengan ucapan selamat dari berbagai rekan penting dari Yuni.
"Laras? Kenapa melamun?" Satya datang, duduk di samping Laras sembari menyesap sirup merah yang dibawanya.
"Nggak papa, Om. Cuma bosan aja, aku kira pestanya akan seru. Ternyata cuma gini-gini aja." Laras menawab jujur. Berharap Satya berbaik hati dan mengizinkannya untuk pergi dari sini.
"Memang seperti ini, pesta ulang tahun para pebisnis. Isinya hanya sambutan-sambutan sampai bosan. Panji saja selalu pulang lebih dulu kalau ikut acara seperti ini."
"Oh, iya, Om. Panji itu sakit apa, ya? Katanya lagi kurang enak badan?"
"Iya, sakit perut dia."
"Sakit perut?" Satya mengangguk. "Iya. Siang tadi dia pulang duluan dari kantor, padahal jadwal lagi padat. Katanya sakit perut, habis makan makanan pedas."
Seketika rasa bersalah menyerang hati Laras. Panji sakit perut pasti gara-gara dipaksa olehnya untuk menghabiskan kebab tadi pagi. Tapi, kalau dipikir-pikir, ini salah Panji juga. Siapa suruh dia tidak bilang?
"Sekarang udah baikan?"
"Saya kurang tahu, tapi sepertinya belum. Perutnya sangat sensitif, dia bisa dua hari bolak-balik kamar mandi kalau makan sembarangan."
Duh! Laras semakin merasa bersalah saja rasanya.
Tanpa pikir panjang, ia berdiri dari tempat duduknya. "Om, aku pergi duluan, ya? Kasih tahu sama bibi dan paman." Laras berniat memakai tas selempang miliknya, namun ditahan oleh Satya. "Kamu mau ke mana? Nanti bibiku marah, loh, kalau kamu pulang nggak izin dulu."
"Aku mau nengokin Panji." Satya sampai termenung karena jawaban Laras.
"Oh, ya sudah. Pakai mobil istri saya saja." Satya mengulurkan kunci pada Laras, yang langsung diterima oleh perempuan itu.
"Terima kasih, Om."
Laras bergegas menuju parkiran. Dengan tidak sabar, membaca plat mobil berwarna hitam itu satu-persatu, hingga menemukan inisial nama WD. Langsung saja ia masuk ke dalam. Untungnya, jalanan Jakarta tidak begitu macet. Agak kurang wajar karena biasanya di malam minggu, biasanya akan sangat macet karena banyaknya muda-mudi yang keluar. Entah untuk makan malam atau sekedar menghabiskan waktu mengelilingi jalan bersama orang terkasih.
Ah, lagi-lagi Laras harus mengingat Randi. Karena biasanya laki-laki itu selalu rutin mengajaknya berkeliling Jakarta. Entah hanya berputar-putar tanpa tujuan, atau sesekali mampir pada pedagang kaki lima dan mengobrol banyak hal random di sana. Namun lagi-lagi, Laras harus menelan pil pahit karena semua itu hanya tinggal kenangan.
Baik dirinya maupun Randi tidak jelas mengenai hubungan mereka. Apakah masih berstatus kekasih atau sudah tanpa status?
Harus apa Laras setelah ini?
Waktu akan terus berjalan, janin di dalam rahimnya akan berkembang seiring dengan membesarnya perut. Semua akan tetap berjalan meski Laras tak menginginkannya sama sekali.
Apa Laras harus menerima perjodohan dirinya dengan Panji? Karena setidaknya, jika ia bersama Panji, hidupnya akan baik-baik saja, meski hati yang harus dikorbankan.
Ah, sial! Sudah sampai saja dia di depan gerbang rumah Panji.
Untungnya, gerbang tinggi itu tidak digembok, juga dibiarkan terbuka lebar seperti rumah Panji. Jadi, Laras bisa langsung masuk ke dalam tanpa harus susah payah membukanya.
Laras menekan bel pada bagian tengah pintu. Bunyinya sangat nyaring, pasti agar terdengar sampai kamar Panji yang berada di lantai dua.
Satu kali, belum ada jawaban.
Dua kali, belum juga terbuka pintunya.
Tiga kali, Laras mulai kesal.
Empat kali, Laras sudah mulai kehabisan kesabaran.
"Satu kali lagi, kalau gak dibuka juga, aku mau pergi aja."
Baru saja tangan Laras hendak kembali terulur untuk menekan bel, tetapi urung karena kenop pintu berwarna emas itu bergerak, menandakan bahwa orang di dalam hendak membukanya.
"Maaf lama, tadi saya ke kamar mandi sebentar. Ma--" Ucapan Panji terhenti saat matanya menatap wajah Laras yang juga tengah menatapnya. "Laras? Kamu kenapa ada di sini malam-malam?"
Wajah Panji begitu pucat, bibirnya tak lagi berwarna merah muda. Tangan yang biasanya disisipkan pada saku celana, kini ia gunakan untuk memegangi perutnya yang mungkin terasa sakit. Laras jadi semakin merasa bersalah pada Panji. Lantas tanpa kata, ia mendorong Panji untuk kembali masuk ke dalam. Menutup pintu utama dengan keras hingga menghasilkan debuman.
"Eh, kamu mau ngapain??"