Sesampainya di basement sebuah mall, Laras tak langung beranjak turun dari mobil. Sebaliknya, Panji malah langsung keluar. Di tempatnya duduk, Laras masih termenung memikirkan ucapan Panji. Kalimat panjang yang tersirat rasa bersalah yang besar juga ketakutan untuk menerima penolakan. Laras sadar, bahwa dirinya memang sudah keterlaluan pada Panji. Meski mereka baru kenal beberapa hari, namun sudah banyak perlakuan buruk yang Laras tunjukkan pada Panji.
"Ayo turun." Panji membuka pintu mobil di samping Laras.
Sedikit terkejut dengan perlakuan Panji padanya, akhirnya Laras turun juga. Mereka berdampingan menuju store salah satu merk parfum terkenal. Di perjalanan, hanya ada hening yang mengisi suasana juga langkah kaki yang sengaja Laras keraskan agar tidak terlalu canggung suasananya.
"Saya mau cari parfum yang aroma bunga," ucap Panji kepada salah seorang pramuniaga.
"Bunga yang seperti apa, ya, Mas?"
"Bunga yang manis gitu," jawab Panji dengan ragu. Agaknya ia tidak mampu untuk mendeskripsikan bagaimana wangi dari parfum yang dipakai sang ibu.
"Flora blush, Mbak." Laras menyela. Membuat pramuniaga itu langsung mencarikan parfum yang dimaksud Laras.
"Terima kasih," ucap Panji dengan tulus.
Laras tidak menjawab, ia malah berjalan-jalan ke sekeliling store. Memperhatikan banyaknya deretan parfum dengan berbagai aroma yang dipajang. Hingga tatapannya jatuh pada parfum dengan varian aroma Bellagio Aqua. Parfum yang sering Randi pakai. Wangi khas yang bisa dibilang hanya Randi yang memilikinya. Meski banyak juga teman-teman Laras yang memakainya, tetapi akan berbeda dengan Randi aromanya.
"Kamu mau?" Suara Panji membuyarkan lamunan Laras.
"Mau. Emang boleh?"
"Boleh, ambil saja yang kamu mau." Laras mengangguk. "Mbak, minta yang Bellagio Aqua, ya?" pinta Laras pada pramuniaga yang tengah menjelaskan parfum pada Panji.
"Mau yang ukuran berapa, Mbak?"
"Seratus mill," jawab Laras.
Sebuah parfum dengan kemasan kaca juga tempelan berwarna navy diberikan pada Laras. Ia sempat menghirup dalam-dalam aroma itu. Membayangkan bahwa Randi tengah berada di sampingnya. Memeluk dirinya dengan erat seperti hari-hari biasanya, sebelum laki-laki itu pergi entah ke mana.
"Kamu suka parfum laki-laki?" tanya Panji ketika Laras tak henti-hentinya mencium aroma parfum yang perempuan itu minta.
"Suka." Ada jeda sebelum Laras melanjutkan ucapannya. "Ini untuk kamu."
Perkataan Laras berhasil membuat Panji sedikit terkejut. "Hah?"
"Iya, aku pilihin ini untuk kamu. Tapi kamu yang bayar," jelasnya.
"Ah, iya. Terima kasih." Panji mengambil alih botol parfum itu dari tangan Laras dan mengembalikannya kepada sang pramuniaga. Tindakan itu hendak mendapatkan protes dari Laras, namun urung ketika ia mendengar ucapan Panji.
"Saya mau yang varian ini, empat." Laras seketika melotot saat Panji menyebut angka empat. Bukan apa-apa, Laras tahu jika Panji memiliki budget lebih dari cukup untuk membeli parfum itu. Tapi masalahnya, parfum itu memiliki aroma yang pekat juga awet. Tidak perlu menyemprot berulang-ulang, hanya satu kali saja, aromanya bisa melekat hingga sore hari. Jadi, jika Panji membeli parfum sebanyak itu, mungkin bisa dipakai untuk satu tahun ke depan.
"Kenapa belinya banyak banget?" tanya Laras ketika Panji menerima paper bag berisi empat parfum itu.
"Buat stok." Laras mengangguk saja, ia tersenyum ramah kepada pramuniaga yang memberikannya sebuah kotak kecil yang sudah dibungkus kertas kado. "Terima kasih."
"Ngomong-ngomong, kamu tahu varian ini dari siapa? Saya saja yang laki-laki kurang paham dengan aroma parfum." Panji membuka suara ketika mereka berdua keluar dari store parfum. Berjalan sembarang mengikuti alur langkah Laras.
Laras tak menjawab, ia malah menarik kemeja yang dikenakan Panji. "Beli kebab dulu," ucapnya yang tentu saja tidak bisa dibantah oleh Panji.
"Dua, pedes semua." Laras menyebutkan pesanannya.
"Minumnya apa, Kak?"
"Es teh manis dua."
Laras kembali menarik kemeja Panji untuk mengikuti langkahnya. Duduk di atas bangku kedai kebab yang masih sepi pembeli. "Randi."
"Hah?" Tentu saja Panji bingung. Laras tidak mengatakan apa-apa sedari tadi, tapi ia malah tiba-tiba mengucapkan nama laki-laki yang sudah meninggalkannya dalam penderitaan ini. "Maksud kamu? Randi kenapa?"
"Aku tahu parfum itu dari Randi. Dia biasa pakai parfum itu," jelas Laras.
Harapan Panji jatuh seketika. Padahal ia sudah melambung tinggi karena Laras mau memiihkan parfum untuknya. Tapi ternyata, parfum itu malah mengingatkannya para Randi.
"Oh, bagus lah." Panji menanggapi dengan santai. Meski di dalam hati, ia meringis pelan.
"Kok bagus?"
"Iya, pasti parfum ini mengingatkan kamu pada Randi. Saya akan sering pakai, supaya kamu betah lama-lama sama saya."
Laras sedikit terkejut dengan jawaban Panji. Meski begitu, ia hanya memasang wajah datar, seolah tak minat dengan obrolan ini. "Apaan sih?!"
Dua kebab dan dua gelas es teh manis pesanan Laras datang. "Makan, aku pesankan buat kamu, tapi kamu yang bayar." Laras menyodorkan piring berisi kebab ke hadapan Panji.
Panji sendiri tak langsung menyentuh bungkusnya kemudian menyuapkan kebab ke dalam mulutnya, seperti yang Laras lakukan. Laki-laki itu memilih untuk menatap kebab di depannya dengan pandangan serius, seolah memikirkan bahan apa saja untuk membuat makanan ini.
"Kenapa gak dimakan? Kamu gak suka? Kalau gak suka, biar aku aja yang makan semua." Laras hendak mengambil alih piring kebab milik Panji, namun ditahan oleh laki-laki itu. "Eh, jangan."
"Kenapa?"
"Saya suka kok, ini mau saya makan." Panji mengangkat gulungan kertas yang berisikan kebab. Dengan perlahan, ia menggigit kebab itu. Mengunyahnya dengan pelan, dan menyembunyikan ekspresinya karena ditatap terus-menerus oleh Laras.
"Enak kan?" Panji mengangguk menanggapi pertanyaan Laras. Ia masih sibuk mengunyah kebab gigitan pertamanya.
"Aku suka banget kebab di gerai ini. Setiap jalan sama Randi, kita selalu sempetin diri buat mampir ke sini." Laras berucap tanpa beban. Seolah ia sedang bercerita pada teman yang baru saja dikenalnya.
Sementara Panji, ia hanya mengangguk tanpa berucap lebih. Setelah menelan kebab di mulutnya dengan susah payah, Panji segera meminum es teh manis di sampingnya dengan sangat gesit. Sampai-sampai Laras mengernyit melihatnya.
"Kamu haus banget atau gimana?"
Panji sempat menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Laras. "Iya, saya haus banget. Sebentar, ya, saya mau pesan minum lagi." Tanpa menunggu jawaban Laras, Panji bangkit dari tempat duduknya. Berjalan tergesa menuju meja kasir untuk kembali memesan satu gelas es teh manis, dengan ukuran gelas yang paling besar.
"Panji kenapa sih? Perasaan di sini nggak panas-panas banget, masih pagi juga." Laras menggerutu saat ia melihat Panji menerima gelas besar yang berisikan es teh.
"Kita pulang, yuk? Saya ada kerjaan di kantor." Panji mengajak Laras ketika ia kembali duduk di depan perempuan itu.
"Hari minggu gini, kerja apaan?"
"Ada. Kamu belum mau pulang?" tanya Panji, dengan raut wajah tak enak.
"Mau, tapi habiskan dulu kebabnya."
Panji rasanya ingin menangis saja.