"Kamu serius mau pulang sama saya?" Panji memastikan sekali lagi. Takut jika pendengarannya bermasalah sampai-sampai berhalusinasi seperti ini.
"Iya, aku serius. Memangnya kenapa? Kamu gak bisa antar aku?"
Panji langsung menggeleng. "Bukan, saya bisa kok. Ayo," ajaknya.
Di dalam mobil Panji, Laras hanya diam sembari menatap sekelilingnya. Memperhatikan bagaimana suasana pagi Ibukota di hari minggu. Sedikit rindu menyeruak lagi, mengingat key ia orang tuanya masih hidup, mereka bertiga kerap kali menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Entah itu ke tempat wisata, kolam renang umum, atau bahkan mall.
Semuanya tak lagi sama, Laras tidak akan bisa merasa kebahagiaan itu lagi. Meski dirinya menangis darah di hadapan makam sang ibu, tetap saja itu tidak akan bisa mengubah takdir. Meski sulit, harus diterima dengan lapang dada.
"Kamu mau langsung pulang?" Panji bertanya, memecah hening di antara mereka.
"Memangnya kamu mau ke mana dulu?"
"Saya sebenarnya ingin ke mall sebentar, untuk beli kado. Tapi saya antar kamu dulu," ucapnya.
"Kado buat siapa?"
"Bibi kamu."
Laras termenung. Tidak pernah ia tahu bahwa tanggal dua belas ini adalah tanggal ulang tahun sang bibi. Tapi, memangnya kalau tahu, Laras akan apa? Merayakannya? Hah! Tidak mungkin dan tidak akan mau.
"Kamu mau ikut cari kado?" Langsung saja Laras menggeleng kuat.
"Nggak. Buat apa ngasih kado sama orang yang mau ngejual aku."
Panji menghela napas pelan, sangat pelan bahkan mungkin sampai tidak terdengar. "Tante Yuni nggak menjual kamu, Laras. Dia hanya mau yang terbaik untuk kamu."
"Tapi yang terbaik untuk aku itu hanya Randi, cuma dia, dan gak ada yang lain."
Perih. Seperti disayat, lalu lukanya ditaburkan garam. Agaknya peribahasa itu cocok untuk apa yang Panji rasakan sekarang.
"Ya sudah, saya langsung antar kamu saja."
Panji sudah membelokkan setirnya ke arah rumah Yuni. "Eh, memangnya kamu mau beli kado apa?"
"Apa, ya? Kurang tahu. Tapi nanti saya bisa tanya-tanya sama pramuniaga di sana."
"Ehm, gitu."
Ada sebersit kecewa, karena Laras kira Panji akan memohon kepadanya agar bisa ikut ke mall untuk mencarikan kado. Tapi sepertinya, Laras hanya berharap berlebihan. Panji akan selalu jadi Panji. Dia hanyalah laki-laki kaku yang akan lurus serta menurut saja apa kata orang.
"Kenapa nanya?"
"Hah?"
"Tadi kamu nanya mau cari kado apa. Memangnya kenapa? Kamu ada rekomendasi kado untuk bibi kamu?" Panji melirik Laras sebentar. Yang dibalas dengan garukan di belakang telinga oleh perempuan itu.
"Nggak, cuma ...."
"Cuma apa?"
Lidah Laras gatal sekali rasanya. Ia ingin terus terang jika mau ikut dengan Panji, tapi ia malu mengatakannya secara langsung.
"Bibi suka parfum, kamu beliin itu aja."
Panji sedikit mengangguk. "Parfum, ya? Sama seperti mamah saya. Kira-kira selera wanginya sama tidak, ya?"
"Tante Widia suka parfum apa?"
"Kalau merk-nya saya lupa, cuma variannya aja yang saya ingat. Kalau nggak salah itu bunga blush?"
"Flora blush kali, mamah aku juga suka varian wangi itu."
"Oh ya?" Laras mengangguk. Ia menunggu kalimat ajakan dari Panji.
Laras jadi geram sendiri karena Panji malah diam sampai mereka tiba di depan gerbang rumah Yuni. Sengaja, Laras tak langsung keluar dan berpamitan padanya. Ingin mengetes apakah Panji itu peka atau tidak.
"Kamu nggak turun?"
Sial!
Ternyata memang Panji adalah laki-laki yang tidak peka.
"Ih! Kok kamu gak peka sih?" Laras bertanya denga nada kesal.
"Hah? Peka apa?"
Cemberut, Laras meletakkan tangannya di atas dada. Bersidekap menatap Panji dengan kesal. "Aku mau ikut!"
"Ikut ke mana?"
"Ih! Ya ikut kamu!!"
"Ke mall?" Panji bertanya dengan bingung.
"Iya lah! Ke mana lagi emangnya?"
"Tadi katanya nggak mau belikan kado?"
"Ya emang nggak! Tapi kan aku pengen ikut!!" Panji hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung hendak merespon apa. "Jadi, kamu mau ikut?"
Alis Laras menukik. Ia sudah sangat kesal dengan Panji yang sama sekali tidak peka ini. "Gak! Gak jadi ikut. Kamu nyebelin! Gak peka!"
Blam!!
Laras turun dengan tergesa, tak lupa untuk mebutup pintu dengan keras hingga menghasilkan bunyi debuman. Ia hendak membuka gerbang, meski agak sulit. Namun tangannya ditahan oleh Panji yang ternyata ikut turun juga.
"Ayo ikut," ucapnya.
"Gak usah!" Laras menepis tangan Panji yang memegang kunci gerbang. "Sana! Pergi aja sendiri. Aku mau tidur, capek!"
Laras semakin kesal saja karena gembok dari gerbang ini ternyata sudah karatan sehingga sulit untuk dibuka. "Ih! Apa sih? Gerbang tua! Gembok gak jelas!"
Di tempatnya berdiri, Panji hanya bisa menyaksikan Laras yang kesal akibat tidak bisa membuka gerbang. Ia membiarkannya sebentar, sebelum mengambil alih kunci dari tangan Laras. "Sini."
"Loh kok dikantungin?" Laras protes karena kunci gembok yang seharusnya digunakan untuk membuka gerbang malah dimasukkan ke saku celana Panji. Tidak mungkin jika Laras merogohnya.
"Kamu ikut saya dulu cari kado. Nanti kalau sudah, saya bantuin buka gerbangnya."
Merungut, Laras menatap Panji dengan sedikit mendongak. "Ya udah! Dari tadi kek, kaya gini! Kan gak usah capek-capek keluar mobil, panas tahu!"
Tanpa menunggu respon Panji, Laras berjalan segera menuju mobil. Kembali duduk di samping kemudi, memasang seat belt dan tak lupa juga untuk memasang wajah kesal.
Panji masuk, dengan raut wajah biasa tentunya. Ia tak mengatakan apa-apa dan lanjut memutar setir untuk menuju mall yang akan mereka datangi.
"Nanti ke mall cuma beli parfum doang?" tanya Laras.
"Iya, memangnya bibi kamu suka apa lagi selain parfum?"
Yah, padahal ia berharap Panji akan bertanya Laras mau beli apa. Tapi, pupus sudah harapannya.
"Nggak tahu." Laras menjawab dengan ketus.
"Kamu mau ikut ke restoran malam ini nggak? Ke acara ulang tahun bibi kamu? Kalau mau, nanti saya jemput. Kebetulan, saya nggak pergi dengan orang tua saya."
"Acara ulang tahun bibi? Emangnya dia ngadain acara?"
"Iya, beberapa rekan bisnisnya yang diundang. Acaranya malam, jam delapan. Dress code-nya putih hitam. Kalau kamu mau ikut, biar saya yang carikan bajunya."
"Kenapa harus kamu yang nyari? Kan aku ada, aku bisa nyari sendiri kok."
"Ah, ya, sudah kalau kamu mau cari sendiri. Saya kira, kamu nggak suka nyari-nyari pakaian."
"Kenapa mikir gitu? Aku suka shopping kok, apalagi belanja baju."
"Nggak papa, saya kira kamu nggak mau kejadian tadi malam terulang."
Laras mengernyit. "Kejadian apa? Yang kamu aku lempar pakai gelas?"
"Bukan, bukan itu. Saya hanya takut kamu ngga mau diajak ke butik lagi, karena tadi malam kamu sangat menolak untuk ikut fitting baju dengan saya. Saya hanya takut kamu marah lagi."
Laras termenung dibuatnya.