Saya mencintai kamu.
Lelucon apa lagi ini, Tuhan? Kenapa bisa laki-laki asing yang bahkan baru satu kali Laras temui, langsung mencintai Laras?
Meski terpaksa, Laras tetap terkekeh geli. "Kamu bercanda? Kita baru sekali bertemu, dan kamu bilang cinta sama aku? Lelucon kamu sama sekali gak lucu."
"Nggak."
"Hah?"
"Ini bukan pertemuan pertama kita. Kita sering bertemu sebelum ini, tetapi sayangnya kamu tidak mengenal siapa saya."
Laras memutar bola matanya malas. "Kalau ini cuma argumen supaya aku terima perjodohan ini, mending kamu pulang. Aku gak akan terpengaruh sama sekali dengan ucapan kamu."
"Saya tidak berbohong, Laras. Saya in--"
"Cukup! Kamu gak usah banyak omong, kita gak sedekat itu." Laras berdiri, hendak beranjak dan meninggalkan Panji sendirian, namun lengannya ditahan oleh laki-laki itu. "Tunggu dulu."
"Apa lagi?"
"Kamu mau ke mana? Biar saya yang antar." Laki-laki itu mendongak menatap Laras. Pantulan terik dari sinar matahari membuat wajahnya semakin bersinar.
Tampan, pikir Laras. Kalau saja Panji membantah perjodohan ini, mungkin Laras bisa bersikap seidkit lembut kepadanya.
"Kok diam? Mau, ya, saya antar?"
"Gak!"
Panji membiarkan Laras pergi, tanpa menghalanginya sedikitpun. Ia tahu, pasti perempuan itu tidak akan menerima begitu saja perihal rencana perjodohan ini. Meski Panji menjelaskan dengan jujur, bahkan sampai mulutnya berbusa, Laras tidak akan percaya begitu saja.
Tapi, sumpah demi Tuhan, Panji mencintai Laras dengan tulus, dari dulu.
***
"Gue gak tahu, Nin. Gue rasanya mau nyari Randi aja. Di manapun, sejauh apapun, gue mau susul dia. Gue gak kuat jauh dari dia, Nin." Laras mengeluh pada Nindy yang baru saja datang.
"Lo diapain lagi sama bibi lo?"
"Gue dijodohin."
Nindy termenung. Ia menatap wajah Laras. Ada yang aneh dari wajahnya. Semenjak kepergian orang tuanya, ditambah dengan Randi yang lari dari tanggung jawabnya, wajah Laras selalu terlihat sayu. Sorot matanya akan menyorot dengan lirih pada siapapun yang menatap. Namun kali ini tidak begitu. Nindy dapat melihat ada sorot kehidupan dalam netranya.
"Terus lo mau?"
"Nggak lah! Gila aja, gue mau. Gue setia sama Randi, gue mau nunggu dia, atau kalau perlu ngusulin dia. Tapi gue bingung mau ke mana nyarinya. Randi nggak kasih tahu gue alamat rumah keluarga besarnya. Dia juga gak pernah bilang tentang keluarganya." Raut wajah Laras mulai pias, sendu kembali menyelimuti wajahnya.
"Mungkin ini jalan keluar buat lo, Ras."
"Maksudnya?"
"Ya, mungkin ini cara Tuhan untuk membantu lo keluar dari rumitnya masalah lo. Lo gak perlu nyari Randi yang udah jelas-jelas kabur dan gak bertanggung jawab atas lo, bahkan buat minta maaf aja dia nggak ngelakuin itu. Dan yang paling penting, lo gak perlu ngelakuin hal bodoh semacam aborsi kayak kemarin. Ada laki-laki yang rela bertanggung jawab atas lo dan calon anak lo." Laras membuang pandangannya. Apa yang dikatakan Nindy memang benar, seratus persen benar. Tapi masalahnya, Laras tidak mau menikah dengan siapapun kecuali Randi.
"Ras?" panggil Nindy. "Coba lo pikir matang-matang, mungkin keputusan lo bakal berubah."
"Nggak, Nin. Keputusan gue gak akan pernah berubah. Lagian, walaupun orang tuanya nerima keadaan gue sekarang, belum tentu juga mereka bakal memperlakukan gue dengan baik. Udah cukup gue diperlakukan layaknya pembantu sama bibi gue, gue gak mau lagi."
"Kalau memang Randi bakal balik ke lo, tanggung jawab atas semua perbuatannya, apa lo pikir keluarganya bakal nerima lo? Apa lo pikir mereka akan memperlakukan lo dengan baik?"
Sekali lagi, ucapan Nindy berhasil menampar Laras. Benar apa kata Nindy. Keluarga Randi adalah keluarga terpandang, dengan segudang prestasi dan nama baik yang terkenal di mana-mana. Akan jadi sebuah aib jika satu-satunya penerus mereka harus menikah di usia muda, tanpa finansial yang memadai, dan bagian yang paling memalukan adalah perempuan yang menjadi pasangannya itu hamil sebelum menikah.
Ah, sepertinya Laras juga akan diperlakukan layaknya sampah oleh keluarga Randi.
Tapi, apa harus Laras menerima perjodohan konyol ini?
***
Sementara di sudut kamar, Panji memandangi sebuah papan kecil yang terbuat dari kayu. Papan yang sudah usang sebab termakan oleh waktu. Papan di mana ada banyak sekali foto seorang perempuan yang sangat Panji cintai.
"I miss you, so much." Panji berucap lirih, sembari mengecup pelan salah satu foto kecil yang menampakkan senyuman manis dari wajah ayu sang gadis.
"Panji?" Laki-laki dengan kemeja yang dibiarkan tidak dikancing itu menoleh, mendapati sang ibu yang menatapnya dengan dalam.
"Mamah kenapa?" Panji bertanya ketika melihat netra sang ibu yang berkaca-kaca setelah memeluk sekilas dirinya.
"Nggak, Mamah cuma khawatir kalau kamu sedih karena Laras tidak mau menerima perjodohan ini." Widia mengelus surai hitam milik Panji dengan sayang. Ada sekelebat sesak yang terasa di dadanya saat mengingat penolakan Laras tadi siang. Hingga akhirnya ia mendapati Panji tengah termenung di sudut kamar seperti biasanya. Memandangi puluhan foto polaroid yang tertempel di papan kayu.
"Aku nggak sedih, Mamah jangan khawatir. Lagipula, wajar kalau Laras menolak. Dia nggak mengenal aku, bagaimana bisa dia mau menikah dengan laki-laki yang bahkan tidak dia kenal."
Widia menggeleng. "No, Panji. Laras itu mengenal kamu. Mungkin karena kamu tidak menampakkan diri di depannya sebagai Panji, makanya dia tidak mengenali kamu."
"Memang salahku, sebuah kesalahan besar. Aku terlalu pengecut untuk muncul di hadapan Laras, aku hanya berani mencari tahu kabarnya. Ketika dia kesulitan, aku selalu membantunya. Segala masalahnya aku tahu, tapi sayangnya aku tidak nggak muncul di depan dia."
Widia mengangguk. Ia tahu betul bagaimana gencarnya Panji untuk bisa mengetahui kehidupan Laras. Dari mulai siapa kekasihnya, teman-temannya. Bahkan sampai masalah yang hanya sedikit orang tahu, kalau ayah kandung Laras masih saja mengganggu perempuan itu. Semuanya Panji tahu, tanpa terkecuali. Dan jika ditanya apa alasannya, tentu saja Panji akan menjawab dengan lantang; karena aku mencintainya, sangat mencintainya.
"Mamah dan papah akan berusaha sebaik mungkin agar Laras bisa menjadi bagian dari keluarga kita. Menjadi pasangan hidup kamu, sampai kalian menua nanti." Panji mengangguk. Ia memeluk Widia dengan erat.
"Mamah boleh bantu aku, tapi jangan sampai membebani Mamah sendiri. Aku gak mau Mamah sakit kayak dulu." Widia mengangguk disertai senyuman.
"Iya, Mamah janji. Kejadian dulu, tidak akan pernah terulang."
Widia pernah koma selama satu bulan karena kecelakaan tunggal yang menimpanya. Peristiwa itu terjadi bukan tanpa hal atau murni kecelakaan. Widia sengaja menabrakan mobilnya pada tiang listrik, hanya karena ia mau Panji berhenti melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri.