Hingar bingar kehidupan malam penuh kenikmatan duniawi, selalu gemerlap di ibu kota negara Belanda. Semua hal yang ilegal dan haram menjadi legal di kota dengan sebutan 'The Dam' itu.
Di musim panas seperti ini, segala bentuk kebebasan terhampar nyata di salah satu sudut kota yang terkenal dengan kawasan Red Light Distric (RLD).
Mulai dari wanita-wanita setengah telanjang yang berjajar menawarkan kepuasan kepada para petualang seksual, hingga euforia kebahagiaan melalui hisapan ganja.
"Come on, Beib, just a minute!" (Ayolah, Sayang, hanya sebentar!)
"Promise?" (Janji?)
"Yeah." (Ya.)
"Okay." (Baiklah.)
Anindita Nuria Pratista. Seorang gadis warga negara Indonesia. Dengan ragu ia menuruti permintaan sahabat pirangnya untuk masuk ke dalam Coffee Shop.
Tidak seperti namanya, Coffee Shop di Belanda bukan menjual kopi. Tempat seperti bar atau pub ini biasa dijadikan tempat nongkrong para pencari kenikmatan untuk 'melayang' larut dalam zat adiktif.
Meski sudah sepuluh tahun hidup di negara penganut liberalisme, Anindita tidak serta merta mengikuti semua budaya di sana.
Mungkin seperti remaja pada umumya ia pun memiliki jiwa bebas, tetapi didikan dan petuah tentang menjaga diri sesuai adat ketimuran selalu dipegang teguh oleh kedua orang tuanya.
Anindita lahir di Indonesia tepatnya di kota kembang, dua puluh tahun silam. Pada usia sepuluh tahun, ia bersama ibu dan kakak lelakinya diboyong oleh sang ayah untuk menetap di negara kincir angin itu.
Ayahnya mulai meniti karir sebagai staf di Djakarta Lloyd, perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan angkutan kargo berbasis transportasi kapal laut. Namun, saat perusahaan milik BUMN itu sedang terguncang, Hendrawan Pratista—ayah Anindita—mencoba memulai bisnis kuliner.
Siapa nyana, keberuntungan berpihak. Kini, Hendrawan sudah memiliki beberapa cabang restauran yang tersebar di kota Amsterdam dan sekitarnya.
Ibu Anindita—Sinta Amalia—adalah mantan sekertaris di salah satu perusahaan milik Belanda. Namun, saat ini ia tengah fokus mengelola bisnis kuliner membantu sang suami, setelah Hendrawan memulai karir barunya sebagai minister counsellor di KBRI yang berada di kota Den Haag.
Kakak lelaki Anindita yang bernama Bagaskara Pratista, memilih mengikuti langkah sang ayah dalam dunia bisnis kuliner. Di usia dua puluh lima tahun ia sudah memiliki dua cafe yang dikelolanya sendiri.
"Don't you want to try it?" (Apa kamu tidak ingin mencobanya?) tanya gadis berambut pirang dan berpostur tinggi sambil menyodorkan sebungkus barang haram.
Anindita hanya menggeleng.
"Even once?" (satu kali pun?) lanjut gadis bule itu.
"No, thanks." (Tidak, terima kasih.)
Si gadis bule hanya mengangkat bahu, lalu dimasukkannya bungkusan berisi serbuk ganja itu di saku rok mininya yang bahkan tidak layak disebut pakaian.
Anindita menyalakan sebatang rokok setelah menolak tawaran menggoda itu.
"What's wrong?" (Ada apa?) tanya si gadis bule saat melihat tingkah sang kawan.
"Me and Leo, we broke up," (Aku dan Leo, kami putus,) jawab Anindita.
Gadis berambut sepunggung itu menatap langit lalu menghembuskan napas pelan, asap nikotin mengepul dari mulut dan rongga hidungnya yang mungil.
"But, why?" (Tapi, kenapa?) tanya gadis bule yang kini menatap Anindita lekat.
"He asked me to have sex, and I refused." (Dia mengajakku tidur bersama, dan aku menolak.) Anindita memalingkan wajah dan kembali menghisap rokok di tangannya.
"Oh my God, Anin, are you serious? This ini Amsterdam, Beib!" (Ya Tuhanku, Anin, apa kamu serius? Ini Amsterdam, Sayang!) ujar si gadis bule terkekeh.
Seks bebas di kalangan remaja memang bukan hal yang tabu di negara kerajaan itu, bahkan bisnis prostitusi sudah legal di sana. Namun, tidak bagi Anindita, untuk yang satu ini gadis berwajah ayu itu memiliki prinsip.
Sejauh apa pun pergaulannya, ia hanya akan menyerahkan mahkota suci satu-satunya kepada sang suami suatu hari nanti.
"You wouldn't understand, Beth." (Kamu tidak akan mengerti, Beth.) Anindita melempar sisa rokok lalu menginjaknya.
"All right, I have to go home." (baiklah, aku harus pulang.)
Gadis yang memiliki tubuh langsing setinggi 160 sentimeter itu berjalan sendirian. Melintasi kanal-kanal yang suasananya romantis pada malam hari, juga melewati deretan bangunan tua yang sudah berdiri selama ratusan tahun.
Di pinggiran jalan terlihat banyak anak-anak muda yang bergerombol, bau minuman keras dan ganja menyeruak di udara.
Anindita menaiki trem menuju tempat tinggalnya di daerah IJburg, sebuah pulau buatan yang dibangun menjadi kawasan perumahan.
Wilayah yang terletak di timur Amsterdam itu berjarak sekitar tiga puluh menit menggunakan trem dari pusat kota.
Setibanya di rumah dengan gaya minimalis modern, Anindita disambut oleh sang ayah yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Lelaki berbadan kekar yang sudah tak lagi muda itu menatapnya tajam.
"Dari mana saja kamu?" tanya Hendrawan dengan nada biasa tetapi terdengar tegas karena suara baritonnya.
"Pa, please. Harus banget, ya, Anin ikut?" tanya Anindita setengah memohon.
"Harus!" jawab sang ayah.
"Anin udah gede, Pa, udah bisa jaga diri," jelas Anindita. "Lagian, ada mbak Sri dan pak Arman juga di sini."
Sri adalah asisten rumah tangga, sedangkan pak Arman merupakan sopir pribadi Hendrawan. Mereka berdua orang Indonesia. Hendrawan dan Sinta sengaja memperkerjakan orang Indonesia, karena selain lebih mudah dalam berkomunikasi mereka juga bisa membantu jika keluarganya sedang ingin memakan makanan khas tanah air.
"Papa belum percaya sama kamu," ungkap Hendrawan.
"Lagian kenapa, sih, gak mau ikut? Gak mau jauh dari pacar kamu, ya?" ledek Bagaskara yang tiba-tiba muncul dari dalam.
Anindita mencebik. "Apaan, sih, Kak! Jangan sok tahu."
"Udah, udah!" seru Sinta melerai perdebatan kedua anaknya, kemudian ia duduk di samping sang putri.
"Nin, kita ke Indonesia cuma satu minggu, kok. Dan kebetulan Papamu keperluannya di daerah Bandung, jadi kita bisa sekalian mampir ke rumah keluarga Mama. Gak apa-apa, ya?"
Anindita menghela napas panjang, ia tidak berkutik jika keinginan ibunya yang menjadi tujuan.
Dengan berat hati ia pun mengiyakan, kemudian bergegas ke kamar untuk menyiapkan segala keperluan. Malam ini juga mereka akan terbang ke negara asal yang telah lama tak dikunjungi.
Di dalam ruangan berbeda, Hendrawan tengah membaca selembar surat. Tangan kanannya memijat pelipis setelah membaca tulisan di kertas tersebut. Setelah itu ia segera melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam amplop, tatkala mendengar suara ketukan pintu.
"Honey ... sudah siap?" Wajah Sinta menyembul dari balik daun pintu.
"Iya, sebentar lagi aku keluar," jawab Hendrawan. Sinta mengangguk dan kembali menutup pintu dari luar.
Semua sudah siap untuk berangkat, kecuali Bagaskara, ia tidak ikut karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Mereka saling berpesan dan berpamitan kepada asisten rumah tangga dan sopir pribadi yang akan ditinggal selama mereka ke kampung halaman.
"Oh iya, Mama!" pekik Anindita saat otaknya mengingat sesuatu. "Apa hari ini ada surat untukku dari universitas?"
"Ada, di atas meja kerja Papa," sahut Hendrawan. Gegas Anindita berlari ke dalam ruang kerja papanya.
Karena terburu-buru, Anindita langsung menyambar sebuah amplop berwarna putih yang tergeletak di atas meja. Tanpa memperhatikan apa isinya, ia memasukkan amplop itu ke dalam saku long coat yang dipakainya.
Deru mobil melaju di jalan kota yang tak pernah tidur itu. Lampu-lampu berwarna-warni menghiasi pekatnya malam. Berbagai manusia dengan latar belakang dan warna kulit yang berbeda membaur menjadi satu.
Terlihat banyak orang bersepeda melintas. Mulai dari seorang ibu yang membawa anak balita, hingga eksekutif muda dengan dandanan parlente memakai dasi tetap mengayuh sepeda.
Orang Belanda dengan sepedanya, menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis mancanegara.
Sekitar tiga puluh menit menempuh perjalanan, mereka pun tiba di Amsterdam Airport Schiphol yang terletak di selatan kota Amsterdam. Bandara terbesar di negara Belanda ini termasuk salah satu bandara terbaik di benua Eropa, juga menjadi Top 3 sebagai bandara teraman dunia.
Keluarga Anindita memilih maskapai Garuda Indonesia untuk terbang ke negara mereka. Pesawat Boeing 777-300 ER yang berkapasitas 314 penumpang itu pun take-off.
Anindita menatap keluar jendela pesawat, dalam hatinya berbisik: goodbye, Amsterdam.