Chereads / Ketika Cinta Menuntunmu / Chapter 6 - Ditolak Polisi

Chapter 6 - Ditolak Polisi

Fajar menyingsing, diiringi kokokan ayam yang saling bersahutan. Bulan sudah berada di ufuk barat, meski sang mentari sebagai penggantinya belum terlihat jelas menampakkan diri. 

Gelap dan hawa dingin masih menyelimuti kampung kelahiran Faisal. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim laki-laki, yaitu salat berjamaah di masjid bersama sang adik.  

Ya, Faisal adalah seorang pemuda yang rajin beribadah. Sang ayah berhasil mendidik kedua anak lelakinya itu menjadi anak yang selalu mengutamakan salat, sesibuk apa pun aktivitas dunia, salat harus jadi prioritas. Itulah yang selalu ditanamkan Abdul Hamid sejak anak-anaknya masih kecil. 

"A, yang tidur di kamar Aa semalam siapa?" tanya Fariz sepulang dari masjid. 

"Dia orang yang tersesat, disuruh nginap sama Ibu." Fariz pun hanya menjawab dengan membulatkan mulutnya membentuk huruf O. 

Setiap pagi Jamilah disibukkan dengan rutinitas memasak, untuk sarapan anggota keluarga kecilnya. Setelah salat Subuh ia langsung berperang dengan segala peralatan dapur. Faisal dan Fariz duduk menunggu hidangan siap, sambil berbincang-bincang di meja makan. 

"Bu, nama orang yang menginap itu siapa?" tanya Fariz kepada Jamilah. 

"Anindita," jawab sang ibu. Anak bungsunya itu hanya mengangguk. 

"A, mana katanya Aa mau beliin Fariz stick PS3 yang baru?" Fariz kini beralih ke kakaknya yang sedang memainkan ponsel pintar. 

"Iya nanti, Aa belum sempat." 

"Hai, Kak Anin!" Sapaan Fariz membuat Faisal dan Jamilah menoleh. 

Mereka pun sarapan pagi bersama. Anindita terlihat masih canggung, ia duduk di samping Fariz dan berhadapan dengan Faisal. Sesekali Anindita mencuri pandang pada pemuda tampan itu. Mereka berbincang dan Faisal mengatakan bahwa hari ini ia akan mengantarnya ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian hari kemarin. 

"Apa? Kota Bogor?" Seketika mata Anindita membulat saat mengetahui fakta bahwa dirinya kini tengah berada di kota Bogor, bukan Bandung. 

"Jadi ... ini bukan Bandung?" tanyanya entah pada siapa. Ia hanya mendapat jawaban dari gelengan kepala Fariz. 

Anindita menghela napas, sudah tidak berselera makan. Otaknya masih belum mampu mencerna potongan demi potongan kejadian yang dialaminya selama kurang dari dua hari itu.

Pertama, kedua orang tuanya dibawa oleh orang-orang tak dikenal. Kedua, ia tidak membawa barang apa pun termasuk ponsel, sehingga membuatnya kesulitan. Ketiga, ternyata ia tersesat di kota Bogor? Seumur hidup belum pernah ia menginjakkan kaki di kota hujan itu. 

"Gak usah khawatir, Nak, nanti Faisal antar kamu ke kantor polisi. Semoga dengan begitu kamu bisa menemukan kedua orang tuamu," ucap Jamilah yang sangat peka saat melihat wajah gusar Anindita. Gadis itu pun mengangguk dalam kebingungan. 

Dua jam kemudian Faisal dan Anindita bertolak ke kota Bandung. Sesampainya di daerah Pasteur, mereka mendatangi sebuah kantor polisi yang letaknya tak jauh dari lokasi hilangnya kedua orang tua Anindita. 

Faisal dan Anindita melaporkan kejadian yang bisa disebut sebagai penculikan itu. Seorang polisi laki-laki melakukan klarifikasi dengan mewawancarai Anindita. Ia juga meminta Anindita menunjukkan surat-surat penting seperti kartu keluarga untuk memastikan hubungannya dengan orang yang akan dicari. 

"Mohon maaf, kami tidak bisa menindaklanjuti jika tidak ada berkas yang masuk. Ini kantor polisi, bukan tempat untuk main-main." Polisi berbadan tinggi dan tegap itu berkata dengan tegas. 

"Tapi, Pak. Papa saya adalah minister consouller KBRI di Den Haag, coba Bapak cek dulu, namanya Hendrawan Pratista," jelas Anindita. 

Polisi itu menyunggingkan senyum, penjelasan gadis berkulit putih itu terdengar agak lucu. Bagaimana bisa dia mengaku sebagai anak orang penting dan tinggal di luar negeri, sementara kartu tanda penduduk atau paspor saja tak dapat ia tunjukkan. 

Faisal hanya bergeming, ia sama bingungnya dengan polisi itu. Sejujurnya Faisal tidak lagi berprasangka buruk terhadap Anindita, tetapi bagi kepolisian laporan tanpa adanya bukti yang kuat sama saja dengan mempermainkan hukum. Mereka tidak bisa bertindak tanpa adanya surat-surat sebagai pendukung yang jelas. 

"Sudahlah, ayo kita cari makan, aku lapar," ujar Anindita setelah keluar dari kantor polisi tanpa membuahkan hasil. 

Faisal mendengkus pelan lantas membatin, "Dikira aku ini supirnya apa?" 

Meski Faisal mendumal dalam hati, ia tetap menuruti keinginan Anindita. Mobilnya menepi di sebuah rumah makan, mereka pun makan siang dengan cepat, tanpa ada perbincangan sama sekali. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, hingga sebuah panggilan menggema dari Toa masjid. 

"Sudah Zuhur, kita salat dulu ya, baru pulang." Faisal melangkah diikuti Anindita yang masih membisu. 

Mereka memasuki kawasan Masjid An Nur, yang berada di area PT. Biofarma daerah Pasteur. Faisal bergegas ke dalam masjid agar tak ketinggalan salat berjamaah. Sementara Anindita, entah apa yang ia lakukan. Bukannya melaksanakan kewajiban, ia malah duduk di tangga yang terletak di depan masjid megah berlantai dua itu.  

"Ini kota Bandung, tapi aku bahkan lupa di mana tempatku dilahirkan," gumamnya. "Papa, Mama, apa kalian baik-baik saja?" 

Anindita hanya duduk merenung selama beberapa menit, sesekali memperhatikan anak kecil yang berlarian, atau orang-orang yang berlalu-lalang. Sebagian mereka menatap Anindita dengan tatapan risih, mengingat ia hanya memakai celana jeans yang sangat pendek. 

"Sudah selesai salatnya?" tanya Faisal membuyarkan lamunan Anindita. 

"Eh, emm ...." Gadis cantik itu menyelipkan rambut ke belakang telinga, bingung harus menjawab apa. Karena ia tidak salat, lebih tepatnya tidak tahu caranya salat. 

"Kalau gitu ayo kita pulang, biar nggak kemalaman." 

Faisal kembali memacu kendaraan roda empatnya. Anindita masih tetap diam dengan segala pikiran yang masih berkecamuk di kepala, ia terus saja menatap ke luar jendela. 

"Kamu gak apa-apa?" Faisal memberanikan diri bertanya melihat sikap gadis yang duduk di sampingnya. 

"Aku lahir di kota ini, melalui masa kecil di tanah Sunda ini, tapi aku sama sekali tidak mengingat di mana rumah nenekku," jelas Anindita. 

"Jadi nenekmu tinggal di Bandung? Kenapa gak bilang? Ayo aku antar ke sana." 

"Gak perlu, aku gak tahu alamatnya," terang Anindita. "untuk sementara, aku menginap di rumahmu, boleh?" 

Anindita menatap Faisal lekat, tetapi lelaki beralis tebal itu masih bergeming. "Kamu udah percaya kan, kalau aku ini bukan penjahat atau semacamnya?"

"Iya boleh," jawab Faisal datar. 

"Terima kasih," ucap Anindita sambil menyunggingkan senyum, gigi gingsul terlihat semakin menambah manis wajah mungilnya. 

"Senyum itu?" batin Faisal. Senyum Anindita mengingatkan Faisal pada seseorang di masa kecilnya, begitu mirip. Apakah mungkin? 

"Astaghfirullah," pekik Faisal saat tak sengaja melihat ke bagian bawah tubuh gadis itu. Paha mulus berwarna putih susu seketika menggangu konsentrasinya. Gegas ia mengambil kain sarung dari dalam laci dashboard.

"Ini, tutupi pahamu itu," ucap Faisal seraya mengangsurkan sebuah sarung. 

"Kenapa?" tanya Anindita heran. 

"Tutup saja, nggak enak dilihat."

Seketika mulut Anindita menganga setelah mendengar ucapan Faisal. Lalu ia menggigit bibir bawah karena geram. 

"Hah! Gak enak dilihat katanya? Dia ini normal atau nggak, sih? Bisa-bisanya menghina kulitku yang mulus ini." Anindita menggerutu dengan suara sangat lirih sambil memalingkan wajah ke arah jendela. 

Namun, ia tetap menuruti Faisal untuk menutup pahanya dengan sarung. Sejak itu suasana pun kembali hening sepanjang perjalanan.