Bugh!
Suara bantingan pintu mobil menyentak Anindita yang sedang terlelap di kursi bagian belakang.
Sadar jika kendaraan roda empat itu telah berhenti, sontak membuatnya bangkit dan segera membuka pintu. Namun, pintu mobil itu ternyata terkunci.
"Hei! Please, open the door!" teriak Anindita. Ia melihat seorang lelaki tengah berbincang dengan perempuan paruh baya berjilbab biru. Anindita menggedor kaca mobil, berharap si pemilik—yang ternyata Faisal—membukakannya pintu.
"Siapa itu, Sal?" tanya Jamilah setelah beberapa saat saling pandang dengan sang anak.
Faisal menggeleng, "Enggak tahu, Bu."
Tak ingin membuat ibunya berpikir macam-macam, Faisal segera menekan tombol kunci otomatis yang ada di tangannya, kemudian membuka pintu mobil.
"Siapa kamu?" tanya Faisal saat mendapati seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari dalam mobilnya. Ia menyisir tubuh gadis asing itu dari atas hingga ke bawah.
Gadis cantik dengan pakaian serba mini, mengenakan kaus putih ketat dipadu dengan hot pants sebatas paha, dibalut long coat berwarna coklat.
"Sa-saya ...." Anindita menggigit bibir saat melihat dua pasang mata yang tengah menatapnya penuh tanya. Ia bingung harus mulai dari mana untuk menjelaskan semuanya.
"Kamu pencuri, ya?" tuduh Faisal spontan, meski pemuda gagah nan tampan itu meragukan ucapannya sendiri. Karena jika dilihat dari penampilannya, perempuan itu tidak seperti penjahat, ia justru lebih mirip wanita penghibur.
"Tante, boleh saya minta air?" pinta Anindita kepada Jamilah yang sedari tadi hanya terpaku.
"Oh! Eh, iya boleh. Mari, masuk dulu ke dalam," ujar Jamilah sambil tersenyum ramah. Tanpa ragu Anindita mengekor di belakang tubuh wanita berwajah teduh itu.
Faisal mengerutkan kening melihat perlakuan sang ibu kepada gadis yang belum jelas asal-usulnya itu. Maraknya kejahatan di zaman sekarang, dengan berbagai macam modus dan alasan membuat Faisal harus tetap waspada.
Anindita duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas. Untuk ukuran rumah di perkampungan, tempat tinggal keluarga Faisal termasuk besar dan bagus. Dengan model rumah tempo dulu, kusen pintu dan jendelanya tebuat dari kayu. Atap genting dari tanah liat membuat udara di dalam rumah terasa sejuk.
Jamilah mengangsurkan segelas air putih dan langsung diteguk oleh Anindita hingga tandas. Wanita itu mengernyit sambil mengulas senyum tipis, kemudian mengalihkan pandangan ke arah sang anak yang memilih berdiri sambil bersandar ke dinding.
"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" tanya Faisal memulai percakapan.
"Oke, aku akan cerita sekarang," jawab Anindita, kemudian ia menghela napas pelan. "jadi, ada yang menculik Mama dan Papaku di depan restauran tadi. Karena panik saat melihat dua orang yang sedang mencariku, maka aku menyusup ke dalam mobilmu."
Penuturan Anindita yang terdengar sangat konyol itu, membuat Jamilah dan Faisal kembali saling melempar pandangan. "Restauran?"
"Iya, di sebelah toko kue yang kamu masuki," jelas Anindita pada lawan bicaranya yang berwajah rupawan.
"Maksudmu, di Bandung?" tanya Faisal tak percaya. Anindita mengangguk tanpa menoleh sedikit pun, seketika ia tersihir oleh ketampanan Faisal.
"Sudah, sudah," lerai Jamilah yang sedari tadi dibuat bingung oleh percakapan dua anak muda kejelasan. "Nak, coba jelaskan lebih detil, bagaimana kamu bisa masuk ke dalam mobil anak Tante?"
Anindita pun menjelaskan segalanya. Mulai dari perjalanannya ketika tiba di bandara hingga Bandung, dan kronologi saat beberapa orang tak dikenal membawa kedua orang tuanya, hingga kejadian tak terduga yang membuat ia terjebak di dalam mobil Faisal.
"Hemm ... jadi, sekarang kamu bilang rumahmu di Amsterdam?" tanya Faisal sambil menyunggingkan senyum sinis, setelah mendengar penjelasan Anindita.
"Iya, aku memang tinggal di sana."
"Jangan bercanda, kamu!" pekik Faisal. "coba aku lihat KTP-mu?"
Anindita hanya menggeleng pelan. "semua barangku tertinggal di mobil."
Faisal mencebik, tak ingin begitu saja mempercayai gadis asing itu. Boleh jadi ia adalah seorang penipu profesional. Alasannya yang tak masuk akal mulai dari cerita orang tuanya yang diculik, hingga mengaku tinggal di negara Belanda. Semua itu sangat mengada-ada.
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu ke kantor polisi," usul Faisal.
"Besok saja, Sal, ini sudah larut," ucap sang ibu.
"Tapi, kita gak bisa membiarkan dia bermalam di sini, Bu. Gimana kalau ternyata dia ini orang jahat?" Mendengar perkataan Faisal membuat Anindita tersulut emosi, sontak ia berdiri dan menatap Faisal dengan penuh amarah.
"Hei! Dengar ya, sejak tadi aku masih berusaha sopan meskipun kamu menuduhku macam-macam. Tapi apa-apaan kamu sekarang menyebutku sebagai penjahat? Huh!" Akhirnya Anindita tak kuasa menahan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "terima kasih sudah memberi tumpangan, dan tante, terima kasih minumannya. Permisi!"
Anindita berlalu dan menghilang dari balik pintu. Kini Faisal menghempaskan tubuhnya di atas sofa, dan membuang napas kasar. Sang ibu pun merapat ke sebelah anaknya.
Jamilah: "Sal, harusnya kamu gak boleh berlebihan begitu."
Faisal: "Berlebihan gimana, Bu?"
Jamilah: "Ibu kasihan, lho, gimana kalau ternyata dia berkata jujur?"
Faisal: "Ibu percaya sama dia? Kalau ternyata dia jahat gimana, Bu?"
Jamilah: "Faisal, kita gak boleh menuduh seseorang melakukan kejahatan. Bahkan, nyatanya dia gak mencuri atau apa pun. Itu jatuhnya fitnah, Nak."
Faisal: "Astaghfirullah, Isal cuma berusaha menjaga diri, Bu."
Jamilah: "Iya, Ibu tahu ... tapi kalau ternyata dia tidak berbohong dan sesuatu yang buruk terjadi padanya, berarti kita yang zalim, Nak. Ini sudah malam dan dia perempuan, Ibu khawatir."
Sementara Faisal dan Jamilah masih berdebat, Anindita terus melangkahkan kakinya. Suasana kampung menjelang tengah malam begitu sunyi, sesekali bulu kuduknya meremang saat melintasi pepohonan yang rimbun. Ia juga sempat terkejut saat ada seekor kelelawar melintas tepat di atas kepalanya.
Terbiasa hidup di tengah kota Amsterdam dengan segala hingar bingarnya membuat Anindita sadar, bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa tanpa keluarganya. Apalagi saat ini ia tengah berada sangat jauh dari tempat tinggalnya, tanpa ponsel, tanpa kartu identitas apa pun. Sendirian.
"Mama ... Papa ... kalian di mana?" gumamnya lirih. Tanpa terasa bulir bening mengalir deras dari kedua kelopak matanya.
Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Anindita. Semua terjadi begitu cepat, otaknya terus dipaksa berpikir keras. Padahal, belum satu suap pun makanan yang masuk ke perutnya sedari siang. Dalam kondisi lapar dan lelah, ia tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Anindita terduduk di pinggir jalan, meluapkan segala emosi yang berkecamuk di dalam dada dengan cara menangis sepuasnya. Namun, sesaat kemudian, ada sebuah sepeda motor dengan dua orang pria berboncengan berhenti tepat di depannya.
"Hai, Neng! Sendirian aja, nih! Ikut Abang, yuk!"
Anindita yang masih sesenggukan sontak mendongak. Salah satu pria itu sudah berhasil mencengkeram lengan kanannya, sementara pria lainnya masih duduk di atas motor.
"Lepas! Mau apa, kamu?" teriak Anindita berontak. Namun, cengkeraman pria itu sangat kuat.
"Mau seneng-seneng lah, sama kamu, geulis," sahut pria itu sambil terkekeh. Bau alkohol dari mulutnya menguar ke rongga hidung Anindita.
"Lepas!" Anindita masih berusaha melepaskan tangan dari cengkeraman pria mabuk itu, hingga tiba-tiba sebuah lampu sepeda motor menyorot tepat ke arahnya.
"Lepaskan dia!"