Faisal kalah. Perkataan sang ibu sepenuhnya benar, dia terlalu berlebihan terhadap gadis asing itu. Bahkan sudah menuduhnya seorang penjahat, padahal gadis itu tidak melakukan apa-apa.
"Sekarang, kamu susul dia, ya. Setidaknya kalau memang dia mau pergi, besok saja, jangan tengah malam begini. Kasihan, Sal," ujar Jamilah.
"Baik, Bu, Isal susul sekarang." Faisal gegas mengeluarkan sepeda motor yang berada di dalam rumah. Beberapa menit sudah berlalu, tak mungkin ia menyusul Anindita dengan berjalan kaki.
Beberapa ratus meter dari rumahnya, Faisal mendapati Anindita yang tengah meronta di sisi jalan. Tangannya dicengkeram kuat oleh seorang pria yang terlihat menceracau. Tanpa pikir panjang, Faisal menghentikan sepeda motornya dan menyalakan lampu jarak jauh ke arah mereka.
"Lepaskan dia!" teriak Faisal.
"Jangan ikut campur!" sahut pria yang tangannya enggan lepas dari lengan mulus Anindita. Faisal geram, ia bergegas turun dari sepeda motor dan berjalan mendekat.
"Baiklah, silakan pasang wajah terbaik saat aku rekam perbuatan kalian!" Faisal menggertak sambil menyalakan camera ponsel ke arah dua pria dan satu wanita itu.
"Cabut!" ujar seorang pria yang masih di atas motor. Sedangkan pria yang sedang berdiri di hadapan Anindita mulai melepaskan cengkeramannya.
"Awas kamu, ya!" Pria itu mendengkus sambil mengacungkan telunjuk ke arah Faisal, kemudian ia naik dan sepeda motor itu pun berlalu.
Faisal menatap Anindita, pandangan mereka berserobok beberapa detik. Tampak jelas mata Anindita yang sembab saat tersorot cahaya lampu sepeda motor. Melihat pemandangan itu, terbesit rasa sesal di dalam hati Faisal atas perlakuan kasarnya.
"Ayo, ikut!" ujar Faisal sambil berjalan menuju sepeda motornya, ia naik dan siap melaju. Anindita menuruti titah Faisal, tanpa diminta ia pun naik ke atas sepeda motor matic itu.
Namun, saat akan memacu kendaraan roda duanya, tiba-tiba Faisal tersentak saat merasakan dua tangan melingkar di pinggangnya. Sangat erat, dan ... hangat.
"Hei! Jangan peluk-peluk!" Faisal spontan berdiri dengan tetap memegang stang.
Anindita yang terkejut sontak mengangkat kedua tangannya, persis seperti orang yang sedang ditodong senjata api. "kenapa? Ada apa?"
"Astaghfirullah," ucap Faisal sambil menghela napas pelan. Jantungnya hampir saja lepas karena insiden yang seumur hidup belum pernah dialaminya itu. Jangankan dipeluk erat, bersentuhan tangan dengan perempuan yang bukan mahram saja ia belum pernah.
"Gak perlu pegangan!" ujar Faisal masih dalam kondisi jantung berdebar.
"Kalau aku jatuh gimana?" tanya Anindita polos, karena selama di Belanda, ia tak pernah naik sepeda motor. Ia hanya tahu orang berboncengan sepeda motor dari film-film, dan biasanya penumpang yang duduk di belakang akan memeluk erat pinggang si pengemudi.
"Kamu gak akan jatuh!" jawab Faisal yang mulai kesal dengan situasi aneh itu. "tapi kalau mau, kamu bisa pegangan ke besi yang di belakang itu."
Anindita celingkuan, akhirnya ia pun berpegangan pada besi yang terletak paling belakang di ujung jok.
Faisal mengulas senyum tipis melihat posisi Anindita dengan tangan ke belakang. Cara naik sepeda motor yang sangat aneh kalau dilihat oleh orang lain. Tetapi tidak ada pilihan bagi Faisal, daripada harus dipeluk oleh perempuan tak jelas.
Setibanya di rumah, Jamilah tersenyum menyambut kedatangan mereka lalu bergegas mengajak Anindita masuk. Ia juga sudah menyiapkan segelas teh manis dan beberapa potong brownis yang dibeli Faisal.
"Silakan diminum, kamu pasti lapar juga ya? Tapi maaf, tante sudah gak ada lauk karena sudah malam," ucap Jamilah ramah.
"Terima kasih, Tante." Anindita pun langsung melahap habis makanan yang ada di hadapannya. Serentetan kejadian yang ia alami hari ini membuat perutnya sangat lapar.
"Tante sudah siapkan kamar, kamu istirahat di kamar yang itu, ya." Tangan Jamilah menunjuk ke sebuah ruangan.
Faisal yang sedang menikmati tehnya seketika membelalak. "Dia tidur di kamar aku, Bu?"
"Gak apa-apa, kan? Nanti kamu tidur bareng Fariz, ya," pinta sang ibu. Dengan berat hati Faisal pun mengiyakan. Kemudian beranjak ke kamar Fariz—adiknya.
Jamilah menuntun Anindita masuk ke kamar Faisal. Sebuah kamar yang sangat rapi untuk seorang anak bujang. Terdapat satu ranjang dengan kasur single di dalamnya, lemari pakaian berukuran sedang, dan sebuah meja agak besar yang dilengkapi rak buku yang tertata rapi.
"Kamu istirahat saja dulu, ya, masalah orang tuamu kita pikirkan besok." Jamilah tersenyum ramah kemudian melangkah keluar, "oh iya, namamu siapa, Nak?"
"Anindita, Tante, panggil saja Anin," jawab Anindita tak kalah ramah. Jamilah mengangguk dan menutup pintu kamar itu.
Anindita membaringkan tubuh rampingnya di tempat tidur, wangi blossom yang menguar dari sprei dan sarung bantal membuatnya nyaman. Lama ia menatap langit-langit kamar bercat putih itu, raganya yang lelah meminta haknya untuk beristirahat. Anindita pun terlelap, melupakan semua masalah yang terjadi hari ini.
***
Sinar mentari menyusup ke dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, menandakan telah berlalunya malam. Kicauan burung ikut meramaikan suasana pagi di kampung Banjaran, sebelah utara kota hujan.
Anindita membuka mata kemudian menggeliat, tidur beberapa jam rasanya kurang. Namun, ia sadar dirinya sedang menumpang di rumah orang asing. Bahkan, ini sudah terlalu siang.
Perlahan gadis yang rambutnya terurai itu bangkit, melangkah ke arah pintu dan membukanya perlahan. Saat sudah berhasil keluar dari kamar, dirinya mendengar suara beberapa orang sedang berbincang. Ia pun segera mendekati sumber suara hingga tiba di dapur.
Terlihat Faisal dan seorang anak lelaki tengah duduk di meja makan, semenatara Jamilah sibuk menggoreng sesuatu di depan kompor. Menyadari kehadiran Anindita, adik Faisal sontak melambaikan tangan.
"Hai, Kak Anin!" Sapaan Fariz membuat Faisal dan Jamilah menoleh.
"Eh, Nak Anin, mari sarapan bareng," ajak Jamilah. Anindita mengangguk dan mulai berjalan mendekat.
"Duduk sini, Kak!" pinta Fariz agar Anindita duduk di sebelahnya. Ia pun menurut dan lekas duduk, kini posisinya sudah berhadapan dengan Faisal.
Di meja makan tersaji beberapa lauk dan sayur. Ada sayur sop ayam, tahu dan tempe goreng, sambal terasi lengkap dengan lalapan mentah yaitu mentimun dan daun selada. Sementara Jamilah terlihat masih menggoreng ikan Mas.
"Hari ini aku akan antar kamu ke kantor polisi, di daerah yang dekat dengan restauran kemarin," ucap Faisal pada Anindita tanpa basa-basi. Anindita mengangguk, ia memang merasa harus secepatnya mencari kedua orang tuanya.
"Jadi, kamu mau ke Bandung lagi, Sal?" tanya Jamilah.
"Ke Bandung lagi? Bukannya ini memang kota Bandung?" tanya Anindita dengan wajah bingung.
"Bukan, Kak, ini kota Bogor." Fariz menjawab pertanyaan Anindita sambil tersenyum lebar.
"Apa? Kota Bogor?"