"Jadi gimana, Sal, kemajuan skripsimu?" tanya Hamid kepada Faisal—putranya—yang sedang fokus menyetir.
"Alhamdulillah, sejauh ini lancar, Insya Allah September nanti sidang. Doakan ya, Yah," jawab sang anak.
"Insya Allah, Ayah selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu."
"Makasih, Yah."
Percakapan ringan menyelingi rasa bosan yang tercipta di antara ayah dan anak itu. Perjalanan dari kota Bogor menuju kota Bandung cukup memakan waktu. Terlalu fokus menyetir pun tidak baik di jalan bebas hambatan, untuk itu mengobrol dan bersenda gurau bisa menjadi pilihan.
Abdul Hamid adalah seorang ASN yang menjabat sebagai kepala sekolah SDN Banjaran 1, yang berada di kampung Banjaran, ujung utara kota Bogor. Di kampung itu pula ia tinggal, bersama seorang istri bernama Jamilah, dan dua anak lelakinya—Faisal dan Fariz.
Hari ini, Abdul Hamid atau biasa dipanggil Pak Hamid itu sedang melakukan perjalanan menuju Bandung. Diantar oleh anaknya, Faisal, rencananya ia akan mengikuti diklat selama sepuluh hari di ibu kota provinsi Jawa Barat itu.
Sementara Faisal—anak sulung Abdul Hamid—adalah seorang mahasiswa semester akhir, jurusan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu bertubuh jangkung, memiliki alis tebal dan hidung mancung. Kulitnya putih, sorot matanya yang tajam tentunya mampu menghipnotis para gadis.
Meski dikaruniai paras yang sempurna sebagai laki-laki, tak menjadikan Faisal banyak gaya. Ia adalah anak lelaki cerdas yang alim, rajin beribadah dan taat kepada kedua orang tua. Bahkan di kampus, ia adalah salah satu pengurus LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Faisal juga aktif di masyarakat, ia menjadi ketua IRMa (Ikatan Remaja Masjid) di kampungnya.
"Dari sini kita ke arah mana, Yah?" tanya Faisal saat keluar dari gerbang tol Buah Batu.
"Kita ke jalan Braga, ikuti saja panduan map-nya," jawab sang Ayah. Mereka pun mulai menyusuri jalanan kota kembang itu dengan batuan navigasi di google map.
Bandung merupakan kota memetropolitan terbesar di Jawa Barat, dan terkenal sebagai kota fesyen sejak zaman penjajahan. Oleh karena itu orang-orang Belanda menyebutnya Paris van Java atau Paris-nya Hindia Belanda—nama negara Indonesia sebelum merdeka.
Sekitar dua puluh menit dari gerbang tol Buah Batu, akhirnya mobil Honda CRV yang dikendarai Faisal memasuki kawasan jalan Braga. Di mana banyak toko-toko dengan bangunan tua, dan di kawasan inilah surganya berbelanja.
"Sebentar lagi Magrib, gimana kalau kita salat di Masjid Raya Bandung saja, Sal? Sekalian istirahat," ujar Hamid dan diiyakan oleh sang anak.
Setelah memarkirkan mobil di tempat parkir, mereka masuk ke masjid yang dibangun pada tahun 1812 itu. Masjid yang dulunya bernama Masjid Agung Bandung itu memiliki dua menara yang tinggi di sebelah kiri dan kanannya, dan sebuah kubah besar di tengah atap masjid.
Sebuah lapangan futsal berumput sintetis membentang di halaman depan masjid, dan ada taman bunga di sekitarnya. Selain menjadi tempat beribadah, masjid ini juga bisa dijadikan tempat wisata. Terlihat banyak anak-anak berlarian di lapangan berwarna hijau itu, dan banyak orang duduk bersantai sambil menunggu azan berkumandang.
Setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, Hamid dan Faisal menyempatkan makan malam di warung makan yang berada di area Masjid. Saat tengah menikmati makan, tiba-tiba ponsel milik Faisal berdering.
"Halo, assalamualaikum. Ada apa bu?" sapa Faisal kepada seseorang di seberang telepon yang ternyata ibunya.
"Waalaikumsalam, kamu masih di mana, Sal?" tanya sang Ibu.
"Lagi makan di dekat masjid raya Bandung, Bu, sama Ayah. Kenapa?"
"Oh ... enggak, Ibu cuma mau nitip. Nanti tolong belikan bolu susu Lembang, ya?" pinta sang Ibu.
"Oke, baik, Bu."
"Yaudah gitu aja, salam ya sama Ayah. Assalamualaikum."
"Ibu? Mau apa?" tanya Hamid sesaat setelah Faisal mengantongi ponselnya.
"Minta dibeliin bolu susu, Yah."
"Yasudah, nanti di perjalanan pulang kamu beliin. Nih, uangnya," ucap Hamid sambil menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan.
"Gak usah, Yah, Faisal ada, kok."
"Udah pegang aja," paksa Hamid yang akhirnya dituruti oleh Faisal.
Acara makan malam pun selesai, kini waktunya Faisal mengantarkan sang Ayah ke sebuah hotel yang menjadi tempat diklat selama sepuluh hari ke depan. Mereka meninggalkan kawasan Masjid Raya Bandung sekitar pukul 18.45 untuk bertolak menuju hotel Ibis Style Bandung Baraga yang berlokasi tak jauh dari Trans Studio Bandung.
"Kamu hati-hati di jalan ya, Sal. Fokus nyetirnya, jangan melamun," pesan Hamid setibanya di depan hotel.
"Siap, Yah," jawab Faisal. "oh iya, nanti kalau mau dijemput kabari aja, Yah."
"Oke. Sudah ya, Ayah turun dulu." Mereka saling berpamitan, Hamid pun turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.
Setelah berpisah dengan ayahnya, Faisal kembali memacu mobil berwarna silver itu dengan kecepatan sedang. Matanya menyisir jalan untuk mencari toko kue pesanan sang ibu. Hingga beberapa menit kemudian netranya menangkap sebuah toko yang berada di sisi kiri jalan.
Faisal membelokkan mobilnya masuk ke pelataran toko, setelah turun dari mobil ia pun bergegas masuk. Tak lupa sebelum ke dalam toko, ia mengunci mobil dengan menekan tombol bergambar gembok yang berada di genggamannya.
Tiga kotak bolu susu Lembang dan dua kotak brownis cokelat sudah ia ambil dari etalase dan siap dibayar di depan meja kasir. Namun, saat hendak membayar, ada seorang pria bertubuh gempal yang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Maaf, Bapak cari apa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang kasir kepada pria berkepala plontos yang terlihat bingung itu.
"Apa ada seorang gadis yang masuk ke sini barusan?" bukannya menjawab, pria itu justru menanyakan seseorang.
"Tidak ada, Pak. Baru kakak ini saja pelanggan yang masuk sejak sore tadi," jawab kasir perempuan itu sambil menunjuk Faisal.
"Oh, gitu. Yaudah, makasih." Pria itu melengos dan berlalu ke luar toko, meninggalkan rasa heran di benak kasir perempuan dan juga Faisal.
"Ini aja, Kak?" tanya si kasir berjilbab itu. Faisal mengangguk dan segera meyelesaikan transaksi yang tadi sempat terganggu.
Setelah membeli pesanan sang ibu, Faisal bergegas pulang. Ia memasuki jalan bebas hambatan dengan memacu mobil miliknya berkecepatan sedang. Dan untuk mengurangi rasa bosan, Faisal menyalakan radio. Suara penyiar radio mampu menemani perjalanan panjangnya di kala berkendara sendirian.
Tiga jam berlalu, ia tiba di rumahnya pukul setengah sebelas malam. Saat mobil yang dikendarainya masuk ke halaman rumah, sang ibu keluar dan membukakan gerbang. Faisal memarkir mobil di dalam garasi, kemudian gegas keluar menghampiri ibunya.
"Assalamualaikum, Ibu belum tidur?" sapa Faisal seraya mencium punggung tangan Jamilah—ibunya.
"Waalaikumsalam, gimana Ibu bisa tidur kalau kamu belum pulang," sahut Jamilah.
Faisal tersenyum mendengar jawaban sang ibu yang begitu menyayanginya itu. "Nih, pesenan Ibu."
"Wah, makasih, ya. Kamu tadi ...." Ucapan Jamilah terhenti saat terdengar sebuah suara dari dalam mobil.
"Hei! Please, open the door!"
Sebuah teriakkan menggema di dalam mobil, terlihat seorang gadis tengah menggedor kaca mobil dan meminta dibukakan pintu. Hal itu seketika membuat Faisal dan Jamilah saling pandang.
Siapa dia?