Chereads / Ketika Cinta Menuntunmu / Chapter 2 - Hello, Indonesia

Chapter 2 - Hello, Indonesia

Pesawat milik maskapai nomor satu di Indonesia itu mengudara di atas lapisan stratosfer. 

Anindita yang duduk di  sisi jendela sesekali melihat pemandangan di luar. Menikmati pesona alam semesta pada malam hari, dari ketinggian puluhan kilometer di atas permukaan bumi. 

Saat chek-in, kru Garuda Indonesia memberikan voucher wifi on board kepada para penumpang kelas bisnis, yaitu voucher untuk akses penggunaan internet di dalam pesawat. 

Hal itu tidak disia-siakan oleh Anindita yang hari ini mengenakan kaus putih dan celana jeans sepaha, dibalut long coat berwarna coklat. 

Gadis bermata bening itu lekas berselancar di dunia maya, mengunggah beberapa foto di instagram, dan sejenak ia pun mengintip akun milik Leo—mantan kekasihnya. 

Tak berselang lama, seorang pramugari menawarkan makan besar. 

Menu yang disajikan adalah campuran antara menu Indonesia dan western. Anindita memakan soto ayam sebagai appetizer. Kemudian pada menu utama ia memilih grilled beef sirloin dengan souffle kentang, asparagus, jamur dan tomat ceri. Lalu memilih choco lava sebagai dessert-nya. 

"Sayang, kamu pegang uang cash?" tanya Sinta sesaat setelah selesai makan.

"Tidak, Ma," jawab Anindita. 

"Ini," ujar wanita berusia 45 tahun yang masih sangat bugar dan cantik itu, seraya menyodorkan beberapa lembar uang Euro. 

"Nanti tarik tunai di ATM saja, Ma. Lagian, di Indonesia kan pakai Rupiah," jawab Anindita sambil menatap wajah ibunya. 

"Sudah pegang saja, untuk berjaga-jaga." Karena dipaksa oleh sang ibu, Anindita pun meraih uang kertas itu dan lekas memasukkannya ke dalam saku. 

Lampu kabin dimatikan sekitar empat jam setelah take-off. Kedua orang tua Anindita memilih tidur, sedangkan dirinya yang merasa belum mengantuk lekas memasang earphone dan mulai memutar lagu. Tidak sampai satu jam, gadis penuh semangat itu pun ikut terlelap. 

Setelah menghabiskan waktu selama lebih dari tiga belas jam di udara, pesawat itu pun landing di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 14.10 Waktu Indonesia Barat. 

Hendrawan memeriksa barang bawaan yang baru saja ia ambil dari baggage claim, kemudian mereka menaiki taksi yang sudah berada di depan bandara untuk kemudian bertolak ke kota Bandung. 

Sepanjang perjalanan, Anindita terus menatap keluar. Sudah sepuluh tahun ia tidak menginjakkan kaki di tanah airnya ini. Ia juga tidak begitu mengingat daerah tempatnya menghabiskan masa kecil. 

"Jadi, kita mau menginap di hotel atau gimana, Ma?" tanya Hendrawan memecah keheningan. 

"Sebaiknya di hotel dulu, Pa, supaya bisa istirahat dengan nyaman. Besok baru kita ke rumah Ambu." Sinta menjawab pertanyaan sang suami sambil terus memainkan ponsel pintarnya. Ia sibuk mengabarkan sanak saudara, bahwa dirinya sudah tiba dengan selamat di negeri tercinta. 

"Kalau Anin, mau jalan-jalan ke mana besok?" Kini Hendrawan bertanya kepada sang putri. 

"Emm, ke mana, ya?" gadis itu berpikir sejenak. "Gimana kalau ke The Ranch, Pa?" 

"Di Bandung sekarang sudah banyak tempat wisata. Kalau bisa, kita datangi aja semua," sahut Sinta sedikit terkekeh karena begitu antusias. 

Sebenarnya perjalanan keluarga Hendrawan bukan semata-mata untuk liburan, melainkan urusan pekerjaan. 

Jabatan barunya sebagai minister consouller di Fungsi Ekonomi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda, membuatnya harus selalu berkoordinasi dengan para petinggi negeri. 

Karena tujuannya adalah kota Bandung, membuat Sinta memaksa ikut. Dengan begitu ia bisa sekalian pulang ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tuanya yang memang berasal dari kota kembang itu. 

"Di sini panas banget ya, Ma," ucap Anindita. 

"Ini masih daerah Jakarta, Sayang, nanti di Bandung udaranya lebih sejuk," sahut sang ibu yang hari ini berpakaian sangat modis, seperti biasanya. 

Sekitar empat jam mereka menempuh perjalanan dari kota Tangerang. Setelah keluar dari jalan bebas hambatan, terdengar suara azan Isya berkumandang. 

Beberapa ratus meter dari gerbang tol Pasteur, Hendrawan meminta sang sopir untuk menepikan mobil di salah satu rumah makan khas Sunda. 

"Kita makan malam di sini, ya," ucap pria berusia lima puluh tahun itu. 

"Ma, Pa, aku cari toilet dulu ya, udah kebelet." Tanpa menunggu jawaban, Anindita bergegas keluar dari mobil kemudian berlari masuk ke dalam restauran. 

Setelah menyelesaikan urusannya di toilet, Anindita mencari kedua orang tuanya di dalam restauran, tetapi ia tidak berhasil menemukan dua sosok yang dicarinya itu. 

Ia pun keluar, dan betapa terkejutnya gadis itu saat melihat kedua orang tuanya sedang bersama beberapa orang tak dikenal. 

Anindita melipir ke sebuah toko kue yang berada persis di samping restauran. Ia melihat kecemasan di raut wajah sang ayah, begitu pula dengan ibunya yang terlihat panik. Apakah mereka orang jahat? Batin Anindita. 

Dua orang berbadan kekar masuk ke dalam restauran dan tak lama mereka pun keluar lagi. Wajah kedua orang tuanya terlihat semakin cemas. Anindita merasa ada yang tidak beres, ia sangat yakin jika dua orang gempal itu tengah mencari dirinya. 

Kini mereka menyisir ke sekitar area parkir restauran, kemudian mulai berjalan ke arahnya. 

Bersamaan dengan itu, sebuah mobil Honda CRV berhenti tepat di depan toko kue. Dalam keadaan panik, Anindita bergegas melipir dan bersembunyi dibalik mobil berwarna silver itu. 

Setelah si pemilik mobil keluar, Anindita masuk ke dalam mobil dari pintu penumpang sebelah kiri. Beberapa detik kemudian pemilik mobil mengunci pintu dengan tombol otomatis di tangannya. 

Benar saja, dua orang gempal tadi berkeliling di sekitar tempat parkir, bahkan salah satu dari mereka masuk ke dalam toko kue untuk memeriksa. Sesaat kemudian Anindita mengintip dari kaca mobil. 

"Mama! Papa!" teriaknya sambil mencoba membuka pintu. Namun, usahanya sia-sia karena pintu mobil itu terkunci. 

Anindita pun hanya bisa menatap nanar menyaksikan kedua orang tuanya masuk ke dalam mobil bersama orang-orang tak dikenal itu, kemudian mereka berlalu dan menghilang dari pandangan. 

Belum hilang keterkejutannya atas kejadian yang tak terduga itu, tiba-tiba Anindita dikagetkan oleh suara mobil pertanda kunci di pintu telah terbuka. 

Ia tersentak dan segera berpindah ke kursi bagian belakang agar tidak ketahuan. Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, kemudian masuk ke jalan bebas hambatan. 

Panik memang seringkali membuat otak lemah dalam mengerjakan tugasnya, banyak orang salah mengambil langkah dalam keadaan panik. Termasuk Anindita, kini ia terjebak di situasi yang cukup rumit. 

"Tenang, Anin, inhale ... exhale ...," gumam gadis itu sambil terus menarik dan membuang napas pelan. Hal itu ia lakukan demi mengurangi rasa cemas.

Setelah mengatur napas, Anindita pun kembali mencoba berpikir jernih dan rasional. Saat ini, tidak mungkin baginya untuk muncul secara tiba-tiba di hadapan pemilik mobil yang merupakan seorang lelaki. Mereka sedang berada di jalan tol, bagaimana jika ternyata ia orang jahat? 

Anindita memutuskan untuk menunggu hingga mobil berhenti dan keadaan aman, baru nanti ia akan menjelaskan kepada pemilik mobil tentang keberadaannya di dalam sana. 

Puluhan menit berlalu, tetapi mobil itu tak kunjung berhenti. Anindita yang merasa kelelahan mulai diserang rasa kantuk, bahkan perut yang belum terisi tidak dihiraukannya. 

Gadis manis itu akhirnya terlelap sambil meringkuk di kursi paling belakang.