"Katanya nyuruh aku untuk istirahat?"pekik Seina seakan Elan tak menurutinya.
"Kamu bilang buat besok kan? Ya sudah kalau tidak mau."
Hampir saja Elan membalikkan motornya, Seina memohon pada Elan supaya jadi mengantarnya pergi.
"Tung... Tunggu... Tunggu... Jadi Lan."
**
Seina tak bertanya kenapa Elan bisa menjemputnya di jam yang seharusnya ia masih bersekolah, rasa ingin memeluk Elan erat, tapi gengsi. Tanjakan polisi tidur seakan mengerti keadaan, membuat Seina kaget dan tak sengaja memeluk Elan. Ingin ia lepaskan tangannya, namun sikap Elan seakan tak biasanya, ia memegang tangan Seina dan menyuruhnya untuk tak melepaskan pelukannya.
"Jangan lepaskan" ucapnya fokus mengendarai sepeda motornya.
Seina hanya tersenyum malu. Tanpa disadarinya Elan meliriknya dari balik spion.
"Jangan ge'er. Aku hanya tak mau kamu jatuh" pekiknya seolah membuat Seina tertampar oleh ucapannya.
Seina melihat spion yang sudah mengarah ke arah wajahnya, ia mengetahui Elan berbicara seperti itu karena telah melihat tingkahnya yang bodoh itu.
Gadis itu terus bergumam pelan, "Menyebalkan!"
**
Seina memberitahu Elan untuk pergi ke suatu tempat membelikannya kado untuk Elina.
Dari sekian banyaknya tas yang berjajar di depan etalase, Seina menujuk tas yang berada di pojok sebelah kanan.
"Bagus yang itu" ucap Seina menunjuk tas berwarna pink.
"Elina suka warna biru" ucap Elan tiba-tiba tanpa gadis itu minta untuknya menjawab.
Seina masih bingung dan sungguh penasaran bagaimana seorang Elan yang biasa cuek dengan wanita bisa sampai tahu akan hal sekecil itu, meskipun kami bertiga memang sudah akrab. Tetapi yang mengetahui banyak tentang Elan adalah Seina.
"Kamu tahu dari mana? Jangan sok tahu. Aku yang lebih tahu tentangnya."
"Hmmmm..."
Namun setelah Seina pikir-pikir omongan Elan ada benarnya, karena Seina sendiri jarang melihat Elina memaki baju atau benda apapun berwarna pink. Mungkin hanya Seina yang menyukai warna itu, namun bukan berarti orang lain pun menyukai warna yang sama dengannya.
Akhirnya Seina mengalah pada pilihannya, ia mencoba mengandalkan Elan, "Iya deh coba pilihan kamu."
Karena sudah terlanjur Elan seperti sudah mengetahui tentang Elina, Seina berani bertanya padanya, "Kamu sudah beli apa buat Elina?"
"Ada" pekiknya singkat dan datar.
Rasa penasaran Seina semakin menyeruak saat Elan diam-diam sudah berinisiatif memberikan sesuatu untuk sahabatnya itu.
"Apa?" ucapnya memperhatikan wajah Elan. Elan seakan mencoba menjauhi tatapannya, tak hanya itu, ia seolah mencoba menghindar dari Seina, namun Seina semakin berani untuk mendekati wajahnya.
"Aku bilang apa?" pekik Seina kembali bertanya pada Elan.
Gadis itu pikir , Elan akan mencoba memberitahunya. Namun yang ada, Elan mengalihkan pembicaraanya, " Dahlahn cepetan pilihnya. Kebiasaan. Lama!"
**
Cuaca yang dingin menghiasi sunyinya malam. Gemercik air yang Jatuh dari langit seperti sedang beradu sengit.
"Kenapa kamu belum datang? Mana hujan pula. Padahal bentar lagi Elina kesini" pekik gadis itu menunggu Elan datang ke kostannya. Ia sengaja mengundang Elan dan Elina datang tanpa memberitahu keduanya. Seina yakin itu akan menjadi surprise dan momen yang tak dapat dilupakan oleh sahabatnya.
Sekian lama Seina mondar-mandir, yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Elan datang dengan rambut basah.
"Kenapa tidak pake jas hujan?"ucap Seina mengkhawatirkan Elan akan sakit setelah terkena guyuran air hujan.
"Aku bawa mobil."
"Kenapa gak bilang dulu? Kan bisa aku anterin payungnya ke depan?"
Seeprtinya Elan tak mau Seina terlalu mengkhawatirkannya, "Ada apa nyuruh aku kemari?"
Ia mengibaskan rambutnya dengan tangannya, berharap rambutnya cepat kering. Walau Seina sudah memberinya handuk, tetapi ia menolaknya dengan menggelengkan kepalanya.
"Seina.... Aku datang kesini untuk apa? Kamu mau ngasih tahu apa?" pekik Elan sembari mengusap air yang mentes di dahinya.
"Elina bentar lagi datang" seru Seina melengkungkan senyumannya pada Elan.
Bukannya Elan senang akan kabar itu, ia mengerutkan sebelah alisnya, "Lihat di luar Sey! Hujan!"
"Tap... Tapi.... Aku sudah bilang pada Elina."
"Apa jawaban dia?"
Elan menunggu ucapan Seina, seakan ia tak enak hati seolah ia yang salah.
"Katanya..... Iya mau kesini."
Ada rasa marah di wajah Elan, tetapi ia tak terang-terangan memarahi Seina. Entah apa yang dipikirkannya, ia lebih memilih diam daripada menyakiti hatinya.
**
Elina tak mengetahui bahwa Elan berada di rumah Seina, Elina terpaku melihat Elan dengan baju kusut dan tatapan yang dingin.
"Kamu keujanan?" ucap Seina segera memberi Elina handuk.
"Sedikit" pekiknya singkat tanpa ekspresi apapun di wajahnya.
Seina sekan tak mengerti dengan keadaan, bukannya memberi surprise pada sahabatnya sesuai dengan rencana awal, malah justru semuanya seakan berantakan.
Elina melirik ke bawah dengan tatapan ragu, "Sey... Sepertinya aku harus pulang."
"Ko cepet? Kan baru dateng?"
Ada apa dengan Elina? Ia seperti resah dan tak nyaman, sebelum Elina pergi, Seina sempatkan untuk memberikan kado untuk Elina.
Elina tersenyum dan memeluk Seina, "Makasih kawan, aku buka sekarang ya?"
Belum dikasih aba-aba, Elina sudah membuka kado itu, "Waahh... Tas yang cantik. Warna kesukaan aku. Bisa aja kamu tau warna kesukaan aku" pekiknya tersenyum dengan memperagakan memakai tas yang telah Seina berikan.
Apa yang harus Seina katakan, kali ini membuatnya bingung, namun ia tak berfikir panjang untuk memikirkan hal yang tak perlu, "Tentu saja aku tahu. Aku kan orang pertama yang ada dihatimu" pekik Seina sembari memeluk Elina.
Elina membalas pelukan Seina dengan hangat.
"Selain kado dari aku? Kamu dapet dari siapa lagi?" seru Seina memanja didepan Elina layaknya anak kecil yang harus diberitahu tentang apa yang ingin ia ketahui.
"Apaan sih!"
Ia tahu Elina akan menjawab dengan malu-malu, "Pasti Zean ya ngasih kamu kado?"
"Bukan."
"Bukan gimana? Pasti dia kan? Kamu balikan ya sama mantan kamu?"
Wajah Elina terlihat memerah, namun Seina hanya memperhatikan Elina saja tanpa memperdulikan Elan yang berada disamping mereka.
Tiba-tiba Elan meninggikan perkataannya, "Kalau kalian masih mau ngebahas masa lalu. Aku pulang nih!"
Sontak Seina dan Elina merasa kaget yang tak ada badai muncul amarah dari sorot wajah Elan. Bagaikan Elan meraung ditengah malam membuat Seina dan Elina merasa ketakutan dan membuatnya terdiam.
Seina memberanikan diri untuk berbicara, "Ka... Kamu kenapa Lan?" suaraanya ragu melihat ekspresi Elan yang hendak menerkamnya.
Seina seketika menempelkan punggung telapak tangannya ke dahi Elan.
Namun Elan menepisnya dengan keras.
Seina semakin kebingungan, "Kamu kenapa sih Lan?"
"Pulang Elina, sudah malam" ucapnya tanpa melihat kearah kami.
Bukannya Elan mengantarkan Elina untuk pulang, ia justru memesankan taxi untuk Elina.
**
Setelah tinggal berdua Seina dengan Elan, mereka duduk di ruang tamu, karena memang ruang tamu menjadi pilihan satu-satunya supaya Elan masih tetap bisa berada di kostan wanita itu.
Seina berfikir keras apa yang membuat Elan begitu marah, Seina sebelumnya tidak pernah melihat kemarahan Elan yang ternyata lebih menyeramkan dari pada hantu yang tengah bergentayangan di malam hari. Tentunya tidak ada canda tawa diantara keduanya, hanya terpaku diam dan tenang.
Waktu telah berada di jam sembilan malam, setelah sekian abad Elan terdiam, Elan akhirnya angkat bicara, "Jangan terus begitu, nanti matamu bisa copot."
Seina kaget Elan yang terlihat cuek ternyata memperhatikan gerak-gerik wanita di sampingnya itu, "Kamu...." suara Seina purau dan lemah.
"Ya aku tahu, aku sudah tidak apa-apa" pekik Elan mencoba memperbaiki keadaan.
"Bukan itu" timpal Seina.
"Maksudnya?" Elan menatapnya dalam-dalam.