Helena mengangguk. "Ngerti." Lalu kembali berjalan, membuat Fadhil kembali menyejajari langkahnya. "Dia cewek yang gue lihat datang ke apartemen Nathan, by the way."
"Ya?"
"He'em."
Fadhil berjalan mendahului, dia berjalan mundur di depan, lalu menjetikkan jari beberapa kali di depan wajah Helena. "Dengerin gue! Dia memang menarik, punya aura yang keren. Tapi lo jelas jauh lebih keren. Kalau cantik, itu relatif, tapi kalau buat gue ya jelas cantikan lo kemana-mana lah."
Walaupun Helena tahu itu semua sekedar perasaan bersalah dari apa yang sudah diucapkan sebelumnya, dia tetap merasa ucapan Fadhil mampu menghiburnya. "Halah, basi!"
"Eh, serius!" Fadhil kembali berjalan di sisinya. "Aura lo malah lebih tumpah-tumpah." Tangan Fadhil seperti membentuk gambar bunga-bunga di depan wajahnya. "Aura lo tuh beuuuhhhh, nggak ada tandingan. Bego aja si Nathan kalau ninggalin lo demi cewek kayak gitu doang."
"Gitu doang?" Helena tertawa mendengar kalimat yang tidak konsisten itu.
"Kalau gue disuruh mengurutkan wanita tercantik yang pernah gue temui. Gua akan bilang, nyokap gue, calon bini gue, calon anak gue, lalu lo."
"Lo kan belum ketemu calon bini lo!" Helena tidak tahan lagi untuk tidak memukul lengannya.
Fadhil masih tertawa-tawa. "Ya ampun, serius."
"Bodo ah!" Kekehan Helena masih tersisa saat ponsel dalam genggamannya bergetar, menampilkan sebuah pesan singkat dari Galaksi.
Sepertinya tanpa sadar, Helena menggumamkan nama itu, sampai Fadhil berkomentar. "Masih? Lo sama Galaksi?"
"Hah?" Helena baru saja membuka pesan singkat itu dan membalasnya. "Masih apaan? Orang gue sama Galaksi nggak ada apa-apa."
Galaksi Bimantara:
Di mana?
Helena Cellistine:
Di kampus.
"Ya emang gitu, cewek kalau sadar lagi main api emang alasannya gitu. Nggak ada apa-apa." Fadhil menggeleng. "Helen, Galaksi tuh teman gue. Temen kita."
"Gue tahu."
"Iya, karena itu. Karena lo tahu, harusnya lo nggak deketin dia, kan?" Fadhil mengernyit melihat Helena yang kini balas menatapnya seolah-olah tidak melakukan hal yang berbahaya. "Setelah keluar dari dunianya Nathan, harusnya lo nggak masuk ke dunianya Galaksi! Karena itu sama aja."
"Oh, ya?"
"Oh, ya? Santai banget respons lo!"
Setelah itu, Helena mendengar Fadhil terus mengoceh, tapi dia tidak mendengarnya dengan saksama karena perhatiannya kini sudah kembali pada layar ponselnya yang kembali memunculkan satu buah pesan singkat.
Galaksi Bimantara :
Oh. Ketemuan nggak?
Helena Cellistine :
Dimana?
Galaksi Bimantara :
Apartemen gue.
Helena Cellistine :
Mau ngapain?
Galaksi Bimantara:
Ciuman!
****
Galaksi Bimantara :
Ciuman.
Helena kembali membaca pesan terakhir dari Galaksi, tanpa membalasnya tentu saja. Dia tidak akan meladeni orang gila yang sayangnya sedang sangat dia butuhkan itu. Berkali-kali Helena berdecak, tidak habis pikir, bahkan kali ini sampai melempar ponselnya ke meja. "Bisa-bisanya nih orang," gerutunya.
"Helena?"
Helena menatap lurus. Baru ingat bahwa sejak tadi dia sedang berada di kantor penerbit, berada di dalam sebuah ruang meeting bersama Lexi dan Friska lebih tepatnya.
"Kamu nggak lagi mengalami kesulitan atau apa gitu kan, Helen?" tanya Friska.
Helena menggeleng. "Nggak kok." Lalu menatap bolak-balik dua orang di hadapannya. "Kenapa, Kak?" Helena menatap laptop yang terbuka di depan Lexi.
"Dari tadi aku panggil-panggil, kamu diam aja," jawan Lexi.
"Oh, ya?" Helena kembali menatap layar ponselnya. Ini semua gara-gara pesan Galaksi. Sampai Helena terus memikirkannya dan lupa segalanya. Bisa-bisanya dia membuat Helena syok hanya dengan sebuah pesan. Oke, Helena tidak ingin berlagal naif tentang kata ciuman. Tapi membaca bagaimana seseorang mengajaknya melakukan itu dengan terang-terangan benar-benar tidak habis pikir.
Ah, padahal saat melihat tumpukan kondom dalam kotak merah itu, Helena bahkan sudah mendengar ajakan yang lebih ekstrem.
"Jadi, Helen ...." Lexi berdeham.
"Aku tahu, pasti banyak yang harus aku revisi lagi." Setelah sekian lama tidak menulis, apakah kemampuannya menguap begitu saja? Apakah keputusannya untuk kembali menulis ini keliru sekali?
"No. Nggak sama sekali. Ini keren," puji Friska. "Ini ... wah kelihatan banget lho bahwa kamu mengalami pendewasaan dalam manulis."
Pendewasaan? Apa ini? Helena bahkan belum memasukkan adegan dewasa sama sekali dalam tulisannya.
"Dari sisi karakter tokohnya ini kuat banget. Maksudnya kayak nyata dan bisan kita temui di dunia nyata." Lexi tersenyum bangga. "Aku suka ketika kamu mendeskripsikan sosok Rey dengan nggak terburu-buru, nggak membludak di awal cerita. Kamu coba deskripsikan karakter Rey ini dengan menyisipkan di beberapa scene, keren!" Lexi tersenyum lebih lebar. "Gini, dong!"
Helena ikut tersenyum. "Wah, makasih."
"Premisnya udah aku baca. Dan ini bakal keren banget kalau kamu bisa mengeksekusinya dengan baik. Tapi kayaknya aku butuh outline-nya biar bisa tahu lebih detail," lanjut Lexi.
Helena sudah membuat outline lengkap, dari awal sampai akhir cerita. Walau masih dalam bentuk coretan-coretan, tapi dia rasa cukup detail. Namun, "notes-ku hilang, padahal outline-nya ada di sana."
"Kok, bisa?" Suara terkejut itu terdengar nyaris bersamaaan dari Friska dan Lexi.
Helena bisa saja membuat ulang, mengingat-ingat kembali detail outline yang telah disusunnya. Semalam dia mencobanya, tapi rasanya berbeda, selalu terasa ada yang kurang. Dan berakhir menyobek coretan-coretannya, lalu bertekad untuk kembali menemukan notes-nya.
Lexi kembali menawarkan referensi novel baru untuk dibaca, agar Helena bisa kembali menggali ingatan tentang outline-nya yang dulu, tapi Helena menolak. Rasanya dia sudah terlalu kenyang dengan adegan panas dari tokoh-tokoh novel dan penuh kata 'uh-ah' dalam dialognya.
Cukup. Dia harus mulai menulis. Lagi pula, novel-novel itu sudah dia hibahkan pada Jessy ketika sudah selesai dibaca satu per satu.
Dan, pada pukul delapan malam. Setelah terjebak macet yang panjang, yang seharusnya membawanya pada perjalanan pulang, Helena malah melangkahkan kakinya ke sebuah lantai apartemen. Sisa penasarannya harus dimusnahkan, untuk malam ini dia tidak akan bisa tidur jika belum memastikan keberadaan notes-nya di apartemen itu.
Karena, apartemen itu adalah tempat terakhir yang dia kunjungi sebelum notes-nya hilang.
Helena sudah berdiri di depan pintu apartemen Galaksi. Lalu beralih untuk bersandar ke dinding setelah mengirimkan sebuah pesan.
Helena Cellistine :
Gue udah ada di depan pintu apartemen.
Galaksi Bimantara :
Sepuluh menit.
Sebelumnya, Helena sudah mengabari bahwa dia memang akan datang ke kediaman laki-laki itu. Namun dari balasannya, Galaksi seperti masih berada di luar. Mungkin di kampus, rapat BEM, mengurus acara kampus, atau ... entah.
Saat Helena masih menunduk seraya mengotak-atik layar ponsel untuk memberi kabar pada papanya, memberi tahu bahwa malam ini dia akan pulang telat, suara langkah yang mendekat di koridor membuatnta menoleh. Dia melihat Galaksi berjalan ke arahnya.
Penampilannya yang serba hitam--mulai dari sepatu keds, celana jeans, sampai hoodie, rambutnya yang sedikit berkeringat yang segera disugarnya dengan tangan, ditambah wajahnya yang terlihat sangat kusut dan kelelahan, Galaksi tampak ... tengah berbelasungkawa untuk hari ini.
Oke. Agak berlebihan.
.
.
.
To be continued . . .