Chereads / Bahaya / Chapter 18 - Pendapat Fadhil

Chapter 18 - Pendapat Fadhil

Rasa bersalahnya bangkit lagi, membawa penyesalan yang mengepung, mengukungnya sampai tidak bisa ke mana-mana dan hanya bisa menjawab 'iya.'

Galaksi menaruh ponselnya di meja, dua tangannya yang saling genggam ditaruh di depan dagu. Dia baru saja akan kmebali merenung, seperti biasa. Menghabiskan waktu dengan diam bersama isi kepala yang penuh.

Namun, kepalanya meneleng saat melihat sebuah benda di bawah meja yang terasa asing. Sebuah notes bersampul merah tergeletak di sana, dan dia membungkuk untuk menariknya.

Tangannya hanya membolak-balik notes itu awalnya, tapi karena tidak ditemukan nama Si Pemilik, Galaksi memberanikan diri membuka isinya yang tiba-tiba membawanya pada sebuah halaman yang ditandai oleh sebuah bookmark berbentuk panah merah muda.

Lalu, sebuah tulisan memaku tatapannya. Galaksi's Profile.

****

Helena ke luar kelas dengan langkah lunglai. Hari ini, Jessy mengikuti mata kuliah pagi karena ada kegiatan bersama HIMA, katanya ada kegiatan sosial di suatu daerah, yang Helena tidak tahu di mana.

Sepertinya, hanya Helena yang tidak lagi aktif berorganisasi selepas SMA. Itu yang menyebabkan dia tidak punya teman dan koneksi terlalu banyak di kampus dibandingkan yang lainnya.

Semuanya berkat Nathan, karena sejak mengenal lelaki itu, Helena merasa tidak membutuhkan dunia dan segala isinya. Terima kasih, Nathan.

Helena berjalan sendirian setelah keluar dari gedung fakultas, lalu berjalan menepi agar tidak langsung tersengat teriknya matahari siang. Dua tangannya memegang ponsel, mengetuk-ngetukkan ke dagu pelan. Sejak kemarin, dia seperti kehilangan arah hidup karena kehilangan notes kesayangannya.

Di dalamnya, tidak hanya ada catatan list tugas kuliah, tapi juga catatan tulisan yang sedang dikerjakannya, atau catatan tentang apa pun, "Terakhir kan gue buka di rumah, terus gue masukin ke tas. Habis itu ke apartemen Galaksi," gumamnya sambil mencoba mengingat-ingat. "Tapi kan, di tempat Galaksi gue nggak buka-buka notes sama seklai. Apa mungkin merosot keluar waktu gue ngambil HP? Terus jatuh?"

Langkahnya terhenti, gusar tiba-tiba menyerbu. "Nggak, nggak." Dia menggeleng-geleng kencang, lalu berjalan lagi. "Nggak mungkin dan nggak boleh terjadi. Gila! Apa nggak bakal jadi mimpi buruk banget kalau sampai notes gue ditemuin sama Galaksi."

Pelan kakinya mengetak-entak sambil terus berjalan. "Duh, di mana sih!!" Wajahnya meringis, nyaris menangis.

Sebuah senggolan dari arah samping membuatnya terlempar dari area teduh ke area teriknya sinar matahari jam dua belas siang. Helena menoleh, dan mendapati Fadhil tengah menyengir. "IH, FADHIL!! PANAS TAHU, LO TUH!!"

Helena menarik yangan Fadhil untuk berganti tempat sehingga dia tetap berjalan di sisi yang teduh, menelusuri sisi dinding Fakultas Teknik.

Fadhil terkekeh pelan. "Lagian sendirian aja, sedih banget hidup lo, Helen. Habis putus dari Nathan lo baru sadar kan kalau dia itu brengsek banget dan udah bikin hidup lo kayak sebatang kara gini?" cibirnya.

Helena hanya mencebik. Dulu, waktu diajak untuk masuk HIMA oleh Jessy, Helena menolak karena Nathan tidak memberi izin. Padahal kalau dipikir-pikir, Nathan juga merupakan anggota HIMA Fakultas Teknik, dia bebas mengenal banyak orang sanai bisa berkhianat dan terlepas dari pantauan Helena. "Nggak, tuh. Dengan begini gue merasa diri gue eksklusif karena nggak mudah didekati bayak orang," elaknya sambil mendelik.

Fadhil hanya tertawa.

"Lo ngapain ke kampus gue?" tanya Helena. Sambil terus berjalan, dia berniat keluar dari kampus, tapi entah mau ke mana untuk menunggu jam mata kuliah selanjutnya yang baru dimulai pukul tiga sore.

"Ada janji sama Kai, sama Galaksi. Kita punya proyek kecil-kecilan gitu lah," jelas Fadhil. "Ikut yuk, daripada luntang-lantung nggak jelas gini."

Helena bergidik. "Nggak ah." Sejak pertemuan dengan Galaksi di apartemennya, melihat tumpukkan karet latex, dan bagaimana Galaksi dengan santai mengajaknya, Helena merasa harus memberi jeda untuk penelitiannya kalau tidak mau kena serangan jantung dadakan.

"Lah, kenapa? Ada kuliah?"

"Ada, sore sih."

"Ya udah, ikut ke Kantek aja. Gue janjian di sana, sama Julian juga kok. Eh, Arjuna juga baru balik kegiatan sosial. Nggak kangen?"

Helena menggeleng lagi.

"Yeee!" Fadhil malah terus berjalan, melewati Kantek begitu saja.

"Lho, katanya janjian di Kantin Teknik?" tanya Helena heran.

"Gampang, Galaksi belum ngabarin." Fadhil mengotak-atik layar ponselnya sejenak. "Lo mau nunggu di mana? Gue temenin dulu deh, kasihan banget."

Helena melirik Fadhil, lalu menatapnya penuh selidik. "Tumben?"

"Ya lo ngerti lah, anak bisnis kan cantik-cantik tuh, nggak punya satu teman aja gitu? Hehe."

"Nggak ada. Lo yang bilang kalau gue nggak punya temen." Helena terus berjalan, walaupun tujuannya belum jelas hendak ke mana. "Ika lah, lo sekampus sama Ika. Apa dia nggak punya teman cewek di sana?"

"Yah, punya cewek satu kampus tuh nggak ada tantangannya. Kalau jauh gini kan enak tuh ada prosesi jemput-menjemput, kuliahnya LDR-an."

Helena tertawa. "Apaan sih, nggak jelas." Dia baru saja menyenggol Fadhil, membuat laki-laki itu terhuyung ke sisi kanan. Namun, sesaat kemudian tawa Helena mereda, tiba-tiba wajahnya terasa kaku. Langkahnya terhenti, membuatnya tertinggal dari Fadhil yang sudah berjalan sekitar lima langkah di depan.

"Helen?" Fadhil berbalik. "Ayo! Katanya nggak mau nunggu di kantek?"

Helena melirik Fadhil, lalu tatapannya kembali tertuju pada ramainya Kantin Fakultas Teknik itu. Di sana, dia kembali melihat sosok perempuan yang Jessy sebut namanya beberapa hari lalu, Bianca.

Bianca dengan rambut yang dicepol asal-asalan, kemeja oversize dan rok lipit di atas lutut tengah berdiri menghadap teman-temannya yang duduk di meja kantin. Dengan gertur yakin dan sorot mata yang tegas, dia terus berbicara, seperti tengah menjelaskan sesuatu. Lalu, dia tengah penjelasannya, dia membuat teman-temannya tertawa.

"Dhil?" Helena membuat Fadhil berdiri di sampingnya. "Lihat deh." Helena menunjuk Bianca dengan dagunya. "Menurut lo, cewek itu gimana?"

"Yang mana?"

"Itu yang rambutnya dicepol itu, yang pakai kemeja maroon."

"Oh, yang lagi berdiri? Yang cantik?"

Ah, iya. Bianca memang cantik. "He'em." Helena hanya menggumam.

"Kenapa? Itu teman lo? Mau lo kenalin ke gue?"

Helena berdecak, tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya dan menatap Fadhil galak. "Bukan."

"Ya terus? Lagian minta pendapat."

"Udah deh, jawab aja. Menurut lo, sebagai laki-laki, dia tuh kayak gimana?"

Fadhil bergumam selama beberapa saat, tampak berpikir dengan satu tangan meraba-raba dagu. "Cantik, ya semua orang tahu lah kalau itu, tapi apa ya, dia tuh kayak punya sesuatu yang bikin dia menarik banget. Auranya keluar, kayak orang-orang bakal lirik dia dua kali."

"Gimana?"

"Gini. Misal gue lagi duduk di kantin sambil ngerjain tugas, terus tuh cewek lewat di samping gue. Gue akan lirik dia dengan gerakan refleks, kan? Ngga sengaja gitu. Nah, ketika gue tahu dia yang lewat, gue akan lirik untuk kedua kali dengan gerakan sadar. Gitu," jelasnya panjang-lebar, "ngerti nggak, sih?"

*

*

*

To be continued . . .