"Seseorang?" Galaksi menatap Helena penuh selidik saat melihat perempuan itu mondar-mandir mencari sesuatu.
"Teman," jawabnya. Helena memeriksa isi tasnya. "Ada yang ketinggalan nggak, sih?" gumamnya, lebih terlihat berbicara pada dirinya sendiri. "Oke, gue balik, ya!"
"Kita kan nggak jadi jalan hari ini." Galaksi mengikuti langkah Helena yang sudah bergerak ke arah pintu keluar. Dengan kaus kaki yang dikenakannya, gadis itu tampak hampir terpleset saking buru-burunya. "Jadi gue antar lo-"
"Nggak usah, Gal. Beneran nggak usah," tolaknya lagi. "Serius, gue akan kabarin kalau udah sampai rumah."
Galaksi melihat Helena sedikit membungkuk untuk mengenakan sepatunya. "Di mana rumah teman lo?"
Helena mendongak. "Ya?"
"Temen lo, tadi katanya lo mau ketemu teman." Galaksi melihat jam di pergelangan tangannya.
"Oh, iya. Nggak tahu--ng, maksudnya kita mau ketemuan di luar kok." Helena beranjak dan meraih handle pintu. "Password-nya, Gal."
Galaksi maju. Sengaja menutup tubuh gadis itu dengan tubuhnya dan menekan digit-digit nomor sandi apartemennya.
"Oke, thanks." Helena menarik pintu, bergerak mundur sampai punggungnya menabrak dada Galaksi, tapi tidak ada permintaan maaf, dia pergi begitu saja.
Melihat perempuan itu melangkah keluar, Galaksi mengikutinya. Dia sudah membawa kunci mobil, bertekad akan mengantar Helena pulang--atau mengantar ke rumah temannya sesuai alibinya tadi. Namun, saat pintu di belakangnya baru saja tertutup dengan sendirinya, saat langkah Helena sudah berjarak sekitar lima langkah di depannya, Galaksi melihat sosok Alma hadir dari balik tikungan koridor.
Alma berjalan perlahan, nyaris tertatih-tatih sembari memegangi dinding koridor, sempat berpapasan dengan Helena yang hendak berbelok di tikungan yang sama. Langkahnya berhenti untuk menatap Helena yang tidak sadar sedang diperhatikan.
Setelah Helena benar-benar menghilang, Alma kembali menatap Galaksi, lalu raut wajah bingungnya memudar, berganti dengans enyum sendu. "Mas?" Dua tangannya terulur. "Bantuin jalan dong."
****
Alma sudah duduk di sofa, memegang mug berisi teh hangat yang baru saja Galaksi buatkan untuknya. Sengaja Galaksi membuatkan minuman itu, karena ketika memegang dua tangannya di koridor tadi untuk membantunya berjalan, tangan gadis itu terasa sangat dingin.
"Kok, nggak bilang dulu mau ke sini?" Galaksi duduk di kursi yang terpisah dari sofa, di sisi lain.
"Sengaja, mau kasih kejutan." Alma tersenyum, lalu senyum itu pudar ketika bibirnya kembali bertemu dengan sisi mug, kembali menyesap tehnya. "Dan berhasil, kayaknya ... Mas Galaksi terkejut beneran."
Galaksi mengantuk-antukkan ibu jarinya, lalu menghela napas perlahan. "Kamu terapi sama siapa tadi? Kok, datang ke sini sendirian?" Lalu tatapannya memperhatikan kaki Alma. "Nggak pakai kruk pula."
"Aku memang berangkat terapi sendiri kok, di antar pak Yanto aja."
Pak Yanto adalah sopir pribadi nenek di rumah.
"Soalnya Mama sama Papa mendadak harus ngurusin kerja gitu, terus-"
Galaksi kembali menghela napas panjang. Rasa bersalah itu seringnya datang ketika dia berinteraksi dengan Alma, bentuk dan rasanya sama, Galaksi sudah tidak merasa asing.
Itu alasannya, Galaksi lebih sering menghindarinya.
"Kabar baiknya, aku udah bisa jalan tanpa kruk." Mata Alma berbinar, dia tersenyum. "Aku boleh jalan tanpa kruk."
"Tapi harus tetap hati-hati."
Helena mengangguk. "Pasti, dong!" Terdengar kekehan selama beberapa saat sebelum wajahnya berubah sendu. "Ke depannya, aku bisa jalan bareng Mas Galaksi tanpa kruk lagi, jadi nggak akan malu untuk--"
"Aku nggak pernah malu, Alma."
Alma menggeleng. "Nggak. Ini bukan tentang Mas Galaksi, kok," gumamnya. "Ini tentang perasaanku sendiri, tentang aku yang selama ini merasa nggak pantas berada di samping Mas Galaksi."
Galaksi terdiam, kesulitan bicara, bingung bagaimana cara meresponsnya.
Alma mengembuskan napas berat, lalu bangkit dari sofa setelah mearuh mugnya ke meja. Tatapannya menyapu ruangan. "Jadi, karena udah malam banget untuk pulang ke rumah Nenek, aku boleh nginap di sini?" tanyanya. Dia menatap pintu kamar depan. "Piyamaku masih ada di sini, kan?"
Galaksi menatapnya selama beberapa saat lalu mengangguk, walau ragu. "Ada."
Senyum Alma tampak lebih lebar saat mulai melangkah menghampiri pintu kamar. Dia tampak bersemangat untuk lepas dari kruk. Selalu seperti itu, binar matanya yang selalu bersemangat saat melakukan terapi berjalan pasca kecelakaan, lalu wajah sedihnya ketika meratapi kakinya yang bertahun-tahun perlu alat bantu untuk bergerak, dan senyum sendu itu. Galaksi merasa terikat.
Perasaan bersaah yang mengikat, tapi juga ada keinginan untuk terlepas.
"Mas?"
Galaksi mendongak, dia masih duduk di kursi dan berpikir sendirian, sedangkan Alma terlihat sudah memanggilnya beberapa kali.
"Tolong teleponin Nenek ya, bilang kalau kau mau nginap di sini. Nanti Nenek pasti bilang ke Mama, soalnya dari tadi aku nggak bisa hubungi Mama."
Galaksi mengangguk pelan, lalu meraih ponsel dari saku celananya.
"Mas?"
Galaksi kembali mendongak untuk meninggalkan perhatiannya dari layar ponsel.
Alma sudah berada di ambang pintu kamar, tangannya sudah memegang handle pintu. Gadis itu menggigit bibir, lalu berucap ragu. "Hari ini, Mas Galaksi nggak temenin aku terapi karena," dia menunduk sejenak sebelum kembali menatap Galaksi, "perempuan tadi?"
Galaksi meninggalkan mata sendu itu, menatap layar ponselnya yang masih mati. "Dia. Nggak kok, cuma teman."
"Oh, oke." Hanya itu gumaman yang terdengar sebelum pintu kamar terbuka dan Alma masuk ke kamar, meninggalkan Galaksi yang kini terpekur sendirian.
Dia kembali mengembuskan napas berat. Punggungnya di dorong begitu saja ke sandaran kursi, lalu menyalakan layar ponsel dan menghubungi Nenek untuk mengikuti permintaan Alma.
"Halo, Gal?" Sapaan itu terdengar dari seberang sana. "Alma ada sama kamu? Tadi dia bilang mau ke apartemen kamu dulu sebelum pulang."
Galaksi menatap pintu kamar yang tertutup. "Ada. Alma ada di sini."
"Oh, syukur kalau sudah sampai."
"Dia mau nginap di sini katanya. Tolong bilang sama Tante Maura ya, Nek."
"Iya, nanti Nenek bilang." Suara Nenek entah kenapa tiba-tiba berubah antusias. "Jagain Alma ya, Gal. Kayaknya belum makan juga sejak siang."
Galaksi bahkan belum makan seharian ini, tapi rasa laparnya mendadak hilang.
"Gal? Dengar Nenek?"
"Iya, Nek. Galaksi dengar."
Kamu harus menjaga Alma. Kalimat itu sudah dia dengar sejak dulu, dulu sekali, lalu menjadi lebih intens terdengar semenjak tiga tahun lalu, semenjak kecelakaan itu.
"Jangan kecewakan Alma, Gal. Jangan kecewakan kami."
Kalimat yang beberapa kali sempat didengar olehnya, tapi belum bisa dia terima sepenuhnya. Setelah menggumam tidak jelas untuk merespons ucapan neneknya itu, Galaksi mematikan sambungan telepon.
Galaksi tahu itu tidak sopan, mengakhiri telepon tanpa salam perpisahan sama sekali tidak ada dalam list sopan santun yang diajarkan oleh ibunya. Namun seringnya, pikirannya mendadak kalut ketika mendengar pesan yang sering Nenek ucapkan untuknya tentang Alma.
*
*
*
To be continued . . .