Chereads / Flowers of Battlefield / Chapter 17 - Zinnia

Chapter 17 - Zinnia

Malam pun tiba, Alvaros berhenti di sebuah pohon besar, ia sangat kelelahan.

Barang bawaannya masih tertinggal di Baer, yang masih ia bawa hanyalah pakaian yang melekat di badannya dan mantel milik Rashuna yang mereka beli di Tyrian.

"Rashuna..." Pikirnya ketika melihat mantel yang ia pakai.

Alvaros lalu tidur di bawah pohon itu.

...

"Al... Al..."

"Sembunyi..."

Suara yang sangat kukenal...

Ibu...?

"Jangan keluar. Tunggu ibu di sini."

Kulihat wajah ibu yang begitu khawatir...

Namun ia tetap tersenyum padaku sembari menutup pintu lemari kamarku...

"J... Jangan pak! Kami tidak punya apa-apa di sini!"

Kudengar suara sesuatu terjatuh.

Ada beberapa suara langkah kaki juga.

"Benar-benar tidak ada apa-apa di sini."

Suara yang sangat asing bagiku.

"Sial! Ya sudah, ambil saja yang kira-kira berharga lalu pergi dari sini!"

Siapa itu...? Aku penasaran.

Ingin kubuka pintu lemari ini, tapi ibu berpesan untuk tidak membukanya.

Kudengar suara langkah kaki itu menjauh.

Hening...

Apa aku sudah boleh keluar?

Ibu... Apakah aku sudah boleh keluar?

Hening...

Ah, aku keluar sajalah.

Ibu...?

Kenapa ibu tertidur di sini?

Ibu jangan tidur di sini, nanti masuk angin.

Kenapa ibu tidak mau bangun juga?

Ini air merah apa...?

Ibu... Bangun dong...

Ibu...

Ibu...

Ibu...

"HUWAAAH!" Alvaros terbangun dari tidurnya.

Ia memegang kepalanya.

"Mimpi itu lagi..."

Alvaros menengadah.

"Ibu... Apa yang harus kulakukan...?"

Hening...

...

Pagi telah datang, Alvaros terbangun kembali setelah wajahnya disinari oleh sinar matahari pagi.

"Sudah pagi ya..." Alvaros mengangkat badannya.

"Woi, bangun dasar tu..." Alvaros menghentikan kata-katanya.

"Ah iya, aku lupa. Kebiasaan." Pikirnya.

Di dekat situ ada sebuah sungai kecil, ia mencuci wajahnya di situ.

Terlihat dua ekor ikan kecil yang berenang saling mendahului.

Alvaros lalu kembali ke kudanya.

"Sekarang aku harus ke mana...?" Pikirnya.

Tak ada perbekalan, tak ada peta, tak ada apapun yang ia bisa jadikan petunjuk.

Ia lalu naik ke kudanya, memacu kudanya tanpa tujuan.

"Bisa-bisanya dia malah menyerangku..." Pikirnya.

"Kenapa dia menyerangku ya...?"

Alvaros terus memikirkan itu sepanjang perjalanan.

Ia terus berjalan hingga akhirnya ia sampai di sebuah hutan.

"Hmm... Lebih baik aku pergi ke tempat lain." Pikirnya sambil membelokkan kudanya.

"Al... Al..." Terdengar seseorang memanggilnya dari hutan itu.

Alvaros terhenti, ia mengenal suara itu.

"Ibu...?"

Secara tak sadar, Alvaros mengarahkan kudanya masuk ke dalam hutan.

"Al... Al..."

"Ibu...? Di mana kau?"

Alvaros memacu kudanya ke sana kemari, namun ia tidak bisa menemukan sumber suara tersebut.

Tiba-tiba kudanya tidak mau diarahkan, ia berontak.

"Hei, kau kenapa? Tenanglah!"

Kuda pemberian Robert mengangkat kaki depannya sehingga menjatuhkan Alvaros.

Seketika ia berlari menjauh dari situ.

"Hei! Tunggu!" Seru Alvaros.

Kini ia sendirian di dalam hutan itu.

"Sialan..." Kata Alvaros pelan sambil mencoba berdiri.

Ia melihat sekelilingnya, hanya terdapat pepohonan yang rimbun.

Alvaros merasakan sesuatu yang aneh dari hutan ini, ia lalu memutuskan untuk kembali.

Namun ke manapun ia berjalan, ia tidak menemukan jalan keluar di manapun.

"Al... Al..."

Suara itu kembali memanggilnya.

Alvaros berjalan mengikuti suara tersebut.

Cukup lama Alvaros berjalan, hingga ia sampai di sebuah pohon yang sangat besar yang dikelilingi oleh danau.

"Pohon apa itu...?" Pikirnya.

Alvaros melihat pohon itu lebih saksama.

Terdapat seorang wanita berpakaian serba putih yang berdiri membelakangi dirinya di dekat pohon itu.

Alvaros lalu menyeberangi danau tersebut.

Akhirnya ia sampai di bawah pohon tersebut.

Ia mendekati wanita yang berpakaian putih itu.

"Anu..." Kata Alvaros sambil memegang pundak wanita tersebut.

Wanita itu tak bergeming sedikitpun.

"Anu, maaf. Apakah anda penghuni tempat ini?" Tanya Alvaros.

Wanita itu mengangkat kepalanya lalu menoleh ke arah Alvaros.

"Aku sudah menunggumu." Kata wanita tersebut.

Alvaros terpana melihat wajah wanita itu, sangat cantik dan anggun. Rambutnya panjang terurai berwarna putih. Kulitnya terlihat sangat mulus dan cerah.

"Menungguku...?" Alvaros kebingungan.

"Ya, menunggumu." Kata wanita itu.

"Menungguku untuk apa?" Tanya Alvaros lagi.

"Namaku Thilivern, aku adalah penjaga tanah ini." Kata wanita tersebut.

Thilivern melihat ke atas.

"Aku merasakan kegelisahan anak-anakku di tanah ini."

"Maksudmu?"

"Akan ada kegelapan yang menyelimuti apabila ia tidak dihentikan."

Thilivern kembali melihat ke arah Alvaros.

"Kaulah yang bisa melakukannya."

"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti sama sekali."

"Orang yang sangat berarti bagimu telah diikutsertakan dalam kebangkitan kegelapan."

"Ia ditahan di sebuah tatanan utara. Ke lautlah tujuanmu selanjutnya."

Seketika Alvaros teringat Rashuna.

"Pheredill... Rashuna mengatakan ibukota di daerah utara, dekat pantai, pasti itu maksudnya."

"Bawalah serta batu ini, ini akan membantumu dalam menyelesaikan tugasmu."

Thilivern menyerahkan sebuah batu kristal bening, terlihat sangat indah, seakan semua warna cahaya berkumpul di dalamnya.

"Pergilah, ksatria asing. Selamatkan tanah ini dari kegelapan."

Setelah mengatakan itu, Thilivern menghilang.

"H..Hei, tunggu! Ini untuk apa!?"

Tak ada jawaban.

Alvaros terdiam sejenak dengan kristal itu di tangannya.

Ia lalu memasukkan kristal itu ke dalam sakunya.

"Dasar sial. Terus, gimana caranya aku keluar dari hutan ini?" Pikir Alvaros.

Dari kejauhan, ia mendengar ringkikan kuda.

Alvaros menoleh ke arah ringkikan tersebut.

Di seberang danau terlihat kudanya yang berdiri dengan tegap.

Alvaros tersenyum lalu berjalan menyeberang danau menuju kudanya.

"Tunggulah, Rashuna. Aku akan mendapatkanmu kembali."

Alvaros memacu kudanya menjauh dari pohon besar itu.

Tak butuh waktu lama, Alvaros bisa keluar dari hutan tersebut.

"Thilivern... Roh penjaga Ceres ya..."

Alvaros memacu kudanya secepat mungkin menjauh dari hutan tersebut.

Tak lama kemudian, ia sampai di sebuah desa.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, desa ini juga sangat jarang laki-lakinya, hanya terdapat para perempuan, anak-anak, orang-orang tua dan para pria yang sudah kehilangan beberapa anggota tubuhnya.

"Permisi, maaf mengganggu. Di sini daerah mana ya?" Tanya Alvaros pada salah seorang penduduk.

"Kau bukan dari sekitar sini ya? Ini Desa Tundrell." Jawab penduduk tersebut.

"Ah, iya. Ngomong-ngomong, apakah ada yang punya peta di sini? Petaku hanyut di sungai." Tanya Alvaros lagi.

"Wah, malang sekali nasibmu. Di sebelah sana ada toko, tanya saja pada pemiliknya. Mungkin dia punya satu." Kata penduduk tersebut.

Alvaros berterima kasih pada orang itu lalu berjalan menuju toko yang dimaksud.

"Permisi..." Alvaros berkata pada pemilik toko yang sedang sibuk membersihkan dagangannya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanya pemilik toko.

"Apakah anda punya peta?" Tanya Alvaros.

"Tentu saja! Mau yang peta daerah sini atau yang peta negara?"

"Yang peta negara saja."

Pemilik toko pergi ke belakang tokonya. Setelah beberapa saat ia kembali dengan segulung kertas.

"Ini, harganya 200 Kronos." Kata pemilik toko.

Alvaros berpikir sejenak, apa kira-kira yang bisa ia tukar dengan peta itu.

Ia sempat berpikir apakah harus menukar jubah Rashuna, tapi segera ia urungkan karena tanpa jubah itu rambutnya akan terlihat.

Ia lalu merogoh saku celananya dan menemukan koin emas yang ia temukan di Baer.

Alvaros lalu menyerahkan koin emas itu pada pemilik toko.

"Wah, besar sekali uangnya. Apa tidak ada yang kecil saja?" Kata pemilik toko.

Alvaros lalu melihat-lihat barang-barang di situ. Ada makanan, peralatan berkebun, obat-obatan, dan bermacam-macam barang lainnya.

"Kalau begitu, aku minta enam potong roti dan pisau yang di sebelah sana sekalian." Kata Alvaros.

Pemilik toko lalu mengambilkan barang yang Alvaros minta.

"Semuanya jadi 1500 Kronos. Saya ambilkan kembalian dulu." Kata pemilik toko sambil mengambil uang di bawah meja.

"Terima kasih." Kata Alvaros sambil menerima barang yang ia beli beserta kembaliannya.

"Untung saja waktu itu aku menemukan koin emas..." Pikir Alvaros.

Alvaros lalu berhenti di tepi desa. Ia mengambil roti dan peta yang baru saja ia beli.

"Tunggu... Desa Tundrell... Ini di daerah utara..." Pikir Alvaros ketika melihat nama Desa Tundrell di peta.

"Lah... berarti hutan tempat Thilivern itu..."

Alvaros baru menyadari ternyata Thilivern membantunya untuk lebih cepat sampai di Pheredill.

Jarak antara Desa Tundrell dengan Pheredill cukup jauh meski sama-sama di daerah utara. Alvaros memperhitungkan kira-kira ia akan sampai di Pheredill setelah tiga hari berkuda.

Sementara itu di suatu tempat...

"Apakah semuanya sudah siap?" Tanya seorang pria muda berbadan tegap dan gagah.

"Sudah, yang mulia. Dia akan tiba besok." Jawab seorang wanita paruh baya yang berada di situ bersamanya.

"Bagus. Segera siapkan seluruh peralatannya. Kita tidak bisa kehilangannya lagi."

Wanita itu undur diri dari hadapan pria muda tadi.

...

"Kalau begitu... Dari sini pertama-tama aku harus ke Eldur... Lalu ke..." Pikir Alvaros saat membuat rute perjalanannya.

"Tunggu... Eldur kan..." Alvaros teringat sesuatu.

Eldur adalah kampung halaman Rashuna.

"Semoga kau baik-baik saja." Katanya dalam hati.

Alvaros lalu memacu kudanya menjauh dari permukiman.

Setelah jauh dan memastikan bahwa tidak ada seorangpun di situ, Alvaros menghunus pisaunya.

Pisau yang masih baru, terlihat sangat bersih dan berkilauan.

Alvaros membuka tudung mantel yang menutupi rambutnya.

Ia menarik rambutnya lalu memotong rambutnya dengan pisau itu.

Ia potong seluruh rambut yang menempel di kepalanya hingga tak tak bersisa seujung jaripun.

Alvaros menjadi gundul sekarang.

"Begini lebih baik." Gumamnya sambil melihat dirinya yang tak berambut melalui pantulan pisau.

Alvaros mengubur semua rambutnya di tanah lalu meninggalkan tempat itu.