Veronika baru saja keluar dari sebuah klinik dengan membawa satu lembar hasil pemeriksaan dirinya. Veronika tidak berani membuka hasil tersebut, dia mencari tempat sepi terlebih dahulu agar bisa menyimpan rahasia besarnya, jika memang benar dugaannya terjadi. Veronika merasa benci kepada dirinya sendiri, jika memang kejadian satu bulan lalu membuahkan hasil.
Yang Veronika butuhkan adalah pertanggung jawaban dari Gavin, kekasihnya. Ada penyesalan dalam dirinya Veronika, dia menyesal karena menjadi kekasih Gavin. Memang sejak awal dia sudah merasa curiga dengan sosok Gavin, lelaki yang dahulu sangat membenci dirinya, tiba-tiba saja mau menjadi kekasih dari seorang Veronika. Walau bisa diakui bahwa Veronika adalah gadis yang dikenal sering ganti-ganti pacar.
Di bawah sebuah pohon besar, tepatnya di tempat yang sepi, Veronika berhenti. Terlebih dahulu dia mendudukkan pantatnya di sebuah kursi panjang berwarna putih yang ada di tempat tersebut. Lalu dengan sepenuh keberanian Veronika membuka lembaran kertas hasil pemeriksaannya tadi. Betapa terkejutnya Veronika, saat melihat hasil tersebut.
"Bener dugaan gue, sial! Gavin brengsek! Gua hamil gara-gara dia!" Veronika memasukkan kembali kertas hasil pemeriksaannya ke dalam tas kecil yang dibawanya.
Kemudian, gadis yang memiliki darah blasteran Hongkong itu memesan taksi online untuk segera berangkat ke kediaman Gavin. Tak perlu menunggu waktu lama, akhirnya taksi online yang dipesan Veronika tiba. Cepat-cepat dia masuk ke dalam taksi online tersebut, wajahnya tampak murung.
Tanpa disadari, air mata mulai berjatuhan satu-persatu membasahi kedua pipi Veronika. Tapi, dengan cepat Veronika menghapus air matanya itu. Sementara supir taksi, diam-diam memperhatikan penumpangnya. Supir taksi tersebut berjenis kelamin perempuan, jadi wajar saja jika dia turut merasakan apa yang Veronika rasakan.
"Mba, lagi putus cinta pasti ya? Udah mba jangan nangis lagi. Laki-laki emang gitu, senengnya nyakitin hati perempuan. Udahlah mba, sekarang tenang aja. Percaya deh sama saya pasti mba bakal dapat lelaki yang lebih baik lagi," nasihat supir taksi tersebut, yang dikenal bernama Ria.
Tangisan Veronika semakin menjadi-jadi, wajahnya kini terlihat sudah sembab. Dia tak tahu lagi harus bagaimana, masa depannya hancur hanya gara-gara masalah ini. Padahal, Veronika ingin bercita-cita menjadi seorang jurnalistik yang dikenal banyak orang. Tapi sudahlah, takdir berkata lain.
"Tenang ya mba, jangan nangis. Saya jadi ikut sedih kalo gini," ucap Ria lagi.
Veronika menganggukkan kepalanya pelan. "I-iya mba, makasih buat perhatiannya," jawabnya dengan lirih.
Tanpa terasa, taksi online yang ditumpangi oleh Veronika telah sampai di tempat tujuannya. Yaitu sebuah rumah yang berada di dalam gang sempit, bisa dikatakan rumah tersebut sudah tak layak untuk ditempati lagi. Gavin memang bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, maka dari itu Sarah tidak memberikan restu.
Veronika turun dari taksi, sebelumnya dia membayar ongkos terlebih dahulu. Veronika berdiam diri tepat di depan gang sempit tersebut, menyiapkan hati, juga dirinya untuk mengatakan semuanya kepada Gavin. Veronika tidak tahu bagaimana respon Gavin nanti, tapi dirinya selalu berharap semoga saja Gavin mau bertanggung jawab.
Kedua kaki jenjang Veronika mulai melangkah memasukki gang tersebut lebih dalam lagi, lalu berhenti tepat di depan rumah Gavin. Jemari Veronika terangkat untuk mengetuk pintu rumah tua itu selama tiga kali, tidak lama kemudian keluarlah sosok wanita tua.
"Cari siapa nak?" tanya wanita tua itu, yang dikenal bernama bu Asih.
Veronika tersenyum ramah. "Saya mau cari Gavin, nek. Apa ada di dalam?" tanyanya sopan.
Bu Asih terdiam, sudah hampir dua minggu Gavin tidak pulang ke rumah. Padahal, hanya Gavin satu-satunya orang yang seharusnya memenuhi kebutuhan Asih, karena Asih adalah Nenek kandungnya sendiri.
"Nek? Nenek gapapa?" Veronika melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Asih.
"Maaf nak, sudah hampir dua minggu Gavin gak pulang ke rumah. Nenek selalu nungguin kepulangan dia, tapi gak ada hasil," jawab Asih dengan wajah merasa bersalahnya.
Embusan napas kasar keluar dengan mulus dari hidung Veronika, mau tak mau cara kedualah yang harus dirinya pakai. Daripada tetangga juga orang sekitar mengatakan dirinya adalah perempuan tidak benar.
"Ya udah nek, kalo gitu makasih. Titip salam buat Gavin ya, nek." Lalu, Veronika meninggalkan Asih di rumah tua itu.
***
Jovanca baru saja menyelesaikan hukumannya, karena tadi dirinya terlambat datang ke sekolah. Peluh membasahi kening sampai leher gadis berusia delapan belas tahun itu, Jovanca benar-benar penat. Apa lagi hukuman yang Jovanca laksanakan adalah menghormat bendera. Jovanca menghormat bendera sampai istirahat pertama dilaksanakan.
Bahkan, jadwal makan obatnya pun Jovanca lupakan. Kedua sahabatnya yaitu Rachel dan Jessica datang menghampiri dirinya. Jovanca tersenyum saat melihat kedatangan kedua sahabat terbaiknya. Jessica datang dengan senyuman, berbeda dengan Rachel, wajahnya tampak seperti ingin melampiaskan amarahnya kepada Jovanca.
Karena emosi Rachel sudah tidak tertahankan lagi, akhirnya gadis itu melayangkan satu tamparan pada pipi kiri Jovanca, hampir saja Jovanca terjatuh ke belakang karena tubuhnya lemas, kalau Jessica tidak segera menahannya.
"Awsh, Rachel. Kamu kenapa?" ringis Jovanca.
Rachel menunjuk wajah Jovanca menggunakkan jari telunjuknya yang sedikit bergetar. "Gue benci sama lo, Vanca! Semuanya bisa lo dapatkan, mulai dari keluarga yang baik! Cowok yang baik pula! Gue iri sama lo!" pekiknya.
Cairan bening, mulai menumpuk di kedua pelupuk mata Jovanca. Selama ini, Jovanca sudah menganggap Rachel seperti Kakaknya sendiri, tapi ternyata? Rachel tidak seperti itu, justru sikapnya membuat Jovanca sakit hati. Tidak hanya sakit hati, Jovanca juga malu karena banyak orang yang melihatnya.
"Tenang, Rachel! Jangan gini, lo gak kasihan sama Vanca? Jangan lo kira kalau Jovanca itu bahagia! Orang tuanya mau pisah, Chel! Sadar dong jangan kayak gini hanya karena cinta!" bentak Jessica.
Rachel menatap Jessica nyalang. "Diam lo! Ini urusan gue sama Vanca!" balasnya.
Di saat seperti ini, tiba-tiba saja Jovanca merasakan pusing yang teramat di kepalanya. Jovanca meremas rambutnya kuat, dunia seolah-olah berputar. Mual mulai Jovanca rasakan, kedua mata Jovanca mengerjap beberapa kali, tapi tidak ada perubahan sama sekali.
"Kenapa semuanya jadi hancur? Ayah sama bunda harus pisah, pertemanan aku sama Rachel juga harus hancur, kenapa?" batin Jovanca.
"Lo itu temen yang kerjaannya nyusahin doang!" bentak Rachel lagi, tatapan nyalang masih dirinya layangkan kepada Jovanca.
Baru saja Rachel membentak Jovanca, satu detik kemudian tubuh gadis itu limbung dan jatuh ke tanah lapangan yang panas. Jessica panik bukan main saat melihat wajah pucat Jovanca, beberapa anak PMR segera datang menghampiri Jovanca dan membawanya menuju UKS.
Jessica mendorong bahu Rachel pelan. "Kalau Vanca sampai drop, gue orang yang akan pertama kalinya tuntut lo!" bentaknya.