Chereads / Jovaca & Rivaldi / Chapter 10 - Malaikat Baik

Chapter 10 - Malaikat Baik

Bel pulang sekolah di SMA Merpati sudah berbunyi dengan nyaring, para guru menyudahi kegiatan mengajarnya setelah mendengar bel tersebut. Terdengar sorak-sorai para murid yang begitu girang, karena mereka akan segera bertemu kembali dengan tempat ternyamannya, apa lagi jika bukan kasur. Berbeda dengan Jovanca, gadis itu justru merasa biasa saja.

Jovanca saat ini sedang berada di UKS, sebab setelah insiden di lapangan tadi siang. Jessica tidak mengijinkan sahabatnya itu untuk kembali ke kelas. Bahkan Jessica sampai rela menunggu Jovanca di UKS. Padahal siang tadi ada jadwal ulangan fisika. Jovanca betul-betul bersyukur mempunyai sahabat seperti Jessica, baik hati dan tulus.

Saat mendengar bel pulang berbunyi, Jessica segera kembali ke kelas untuk mengambil tasnya dan tas Jovanca, suasana kelas sudah sepi, tidak ada satupun murid lagi. Lingkungan sekolah juga sudah cukup sepi, hanya ada beberapa penjaga sekolah juga guru yang masih ada di ruang guru. Jessica cepat-cepat kembali ke UKS, terasa merinding juga jika berada di kelas sendirian.

"Vanca, balik yok! Udah sepi banget ni sekolah!" ajak Jessica antusias dan dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.

Jovanca mendudukkan tubuhnya di atas brankar UKS. "Makasih ya, Jess. Udah nemenin aku di sini, kamu sampai rela lho gak ikut ulangan," ucapnya penuh rasa terima kasih.

Manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan, kita pasti selalu memerlukan bantuan orang lain dan tidak akan dapat hidup sendiri. Jessica selalu ingat dengan kata-kata tersebut yang pernah dia pelajari ketika belajar pelajaran PKN dan agama. Maka dari itu, Jessica ikhlas menemani Jovanca di UKS. Walaupun dirinya harus mengikuti ulangan susulan.

"Santai Vanca, kita kan sahabat. Jadi wajar aja kalau aku nemenin kamu. Lagi pula, aku gak mau kalau kamu sampai kenapa-kenapa," jelas Jessica dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

"Ya udah, kalau gitu ayo kita ke depan. Takutnya Valdi udah nungguin aku!" Kemudian, Jovanca dan Jessica meninggalkan ruang UKS.

Lampu di lorong sekolah tampak redup, suasana berhasil membuat bulu kuduk dua orang sahabat itu berdiri. Tapi, Jessica dan Jovanca tidak menunjukkan rasa takut mereka. Karena keduanya yakin bahwa sekolah yang mereka datangi untuk menuntut ilmu tidak mungkin ada makhluk halus, toh sekarang juga belum malam hari.

Setelah melewati lorong sekolah yang cukup mencekam, akhirnya Jessica dan Jovanca bisa mengembuskan napas lega saat keduanya telah tiba tepat di depan gerbang sekolah. Di sana ada Rivaldi bersama motor ninja kesayangannya tengah menunggu Jovanca menghampirinya. Rivaldi berencana akan mengajak Jovanca ke rumahnya.

"Jess, itu Valdi udah jemput. Aku duluan ya, dadah." Jovanca melambaikan tangannya, lalu menghampiri Rivaldi. Dibalas lambaian tangan juga oleh Jessica.

Senyuman terbit di wajah tampan Rivaldi saat melihat gadisnya datang dengan ekspresi wajah bahagia. Tapi sayangnya, wajah bahagia yang Jovanca tampilkan hanyalah kebohongan. Di dalam pikirannya banyak begitu masalah yang menjadi beban, hal itu sudah biasa Jovanca lakukan.

"Hai, udah lama nunggu?" tanya Jovanca.

Rivaldi menganggukkan kepalanya. "Halo, udah kok. Oh iya, aku mau ajak kamu ketemu mamah, kamu mau 'kan?" ijin Rivaldi, dengan kerutan yang tampak ada di keningnya.

Jovanca terdiam, bukannya tidak mau. Tapi dia takut jika Arina justru malah mengusir dirinya. Sudah dapat dipastikan Arina tidak akan menyetujui hubungan Rivaldi dan Jovanca, sebab Rivaldi sudah mengatakan sendiri bahwa dia sudah dijodohkan dengan wanita lain.

"Eum, anu gimana ya bukannya aku gak mau. Tapi aku takut kalo mamah kamu nanti malah gak setuju sama hubungan kita," tolak Jovanca secara halus.

Rivaldi meraih jemari Jovanca, lalu mengenggamnya erat. "Kamu tenang aja, mamah pasti setuju kok sama hubungan kita. Berpikiran yang baik-baik dulu, oke?" nasihatnya.

Kedua manik mata Jovanca terpejam sebentar, kemudian gadis itu membukanya kembali secara perlahan. Setelah itu, Jovanca menganggukkan kepalanya pelan. Lalu, naik ke atas motor ninja Rivaldi. Jovanca sudah sangat siap, jika mendapat perkataan pedas dari Arina nanti.

"Oke, aku mau ke rumah kamu," putus Jovanca.

***

Di dalam sebuah rumah mewah, dua orang remaja dan satu orang wanita berusia sekitar empat puluh tahun sedang duduk bersama di ruang tamu. Mereka adalah Jovanca, Rivaldi dan Arina. Tatapan Arina kepada Jovanca begitu sinis, dia memang tidak suka jika Rivaldi menjalin hubungan dengan gadis lain, kecuali Veronika.

Berulang kali Arina menatap Jovanca dari atas sampai bawah, melihat penampilan gadis berusia delapan belas tahun tersebut. Menurutnya, penampilan Jovanca itu masih seperti anak kecil, tidak cocok untuk anaknya yang sudah bisa dikatakan sebagai orang dewasa.

"Kamu sudah berapa lama jadi pacar anak saya?" tanya Arina dengan intonasi bicara datarnya.

"Udah satu tahun, tante," jawab Jovanca sopan.

Satu tahun adalah waktu yang cukup lama, tapi baru hari ini Arina mengetahuinya. Rivaldi berubah seratus delapan puluh derajat, padahal dahulu anak lelaki semata wayangnya itu adalah anak yang baik, tidak pernah melanggar peraturan yang dibuatnya.

Arina melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya minta, kamu sadar diri, ya? Kamu itu masih remaja, saya yakin pasti ada cowok yang seumuran dengan kamu kok yang mau sama kamu. Jadi, lebih baik sekarang kamu pulang ya," usirnya secara halus.

"Mah, jangan gitu," tegur Rivaldi.

"Udah, gapapa kok. Ya udah tante aku pulang dulu, makasih." Sebelum pulang, Jovanca terlebih dahulu menyalami punggung tangan Arina.

Jovanca segera berlari meninggalkan kediaman Rivaldi, padahal suasana di luar sedang hujan deras. Tapi dia tidak peduli, yang terpenting sekarang dirinya bisa tenang. Di tengah derasnya hujan, Jovanca menangis. Air hujan berhasil menutupi air matanya.

Jalanan di komplek dekat kediaman Rivaldi sore hari ini sangat sepi, tidak ada satupun orang yang lalu lalang. Membuat Jovanca semakin merasa sendirian, setelah Sang Bunda meninggalkannya, diikuti oleh Rachel yang tiba-tiba saja benci kepadanya, dan sebentar lagi mungkin Rivaldi akan turut meninggalkannya.

"Sesedih ini kah hidup aku? Sampai-sampai semua orang pergi satu-persatu," gumam Jovanca.

Kedua kaki Jovanca terus melangkah menyusuri jalanan komplek yang sepi itu. Hujan tak henti-hentinya mengguyur tubuh mungil Jovanca, sehingga membuat gadis itu hampir saja menggigil kalau tidak ada malaikat baik yang dengan rela memayunginya.

Jovanca berhenti melangkah, kemudian memutar tubuhnya dan menatap siapa orang yang memayunginya itu. Dunia Jovanca rasanya seperti berhenti, saat melihat siapa lelaki baik tersebut. Dia adalah Gavin, sepupunya yang sudah sejak lama menghilang.

"G-Gavin? K-kamu ..." Jovanca tidak dapat melanjutkan ucapannya.

"Kamu ngapain hujan-hujanan hah?! Jangan sakitin diri kamu! Ayo pulang!" Gavin menarik paksa Jovanca untuk masuk ke dalam mobilnya.

Seperti anak kecil yang takut jika orang tuanya marah, seperti itulah ekspresi Jovanca saat ini. Mau tak mau dia harus mengikuti perintah Gavin, tapi Jovanca bersyukur. Setidaknya setelah ini dirinya tidak akan merasa sendirian lagi, karena Gavin telah kembali.