Chereads / Jovaca & Rivaldi / Chapter 3 - Ada Apa?

Chapter 3 - Ada Apa?

Jovanca kembali menatap Arya dan Caesa bergantian. "Apa alasan kalian mau pisah?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Bunda kamu hamil anak lelaki lain," jawab Arya cepat.

Jovanca semakin dibuat bingung, sebenarnya apa alasan kedua orang tuanya harus pisah? Apakah karena Arya selingkuh? Atau karena Caesa hamil anak dari lelaki lain? Ah pusing jika dipikirkan, lebih baik Jovanca berdiam diri saja. Biarlah waktu yang memberi tahu semua kebenaran itu.

Kepala Jovanca tertunduk. "Oke, kalau gitu aku terima keputusan kalian. Tapi, setelah kalian pisah. Aku pengen kalian tetap bisa sempatkan waktu buat kumpul, boleh ya?" pintanya.

Arya dan Caesa mengangguk secara bersamaan. Meski mereka berdua sebenarnya tak tahu, apakah masih bisa meluangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama Jovanca atau tidak. Merasa semua masalah sudah selesai, Caesa segera meninggalkan ruang keluarga dan pergi dari rumah itu tanpa pamit.

Yang Jovanca lakukan hanya berdiam diri, menatap kepergian Sang Bunda dengan tatapan sendu. Berharap waktu bisa kembali diputar. Ternyata rasa sakit mendapat kabar orang tua berpisah itu lebih sakit daripada diputuskan oleh pacar.

***

Ayam sudah berkokok sebanyak tiga kali, burung-burung mulai berkicau dengan merdu membangunkan para penduduk yang ada di bumi. Termasuk Rivaldi salah satu orang yang terbangun karena mendengar suara ayam dan burung itu. Rivaldi mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, tak terasa ternyata hari sudah pagi.

Rivaldi segera mengambil handuk, kemudian memasukki kamar mandi dan melakukan ritual mandi paginya. Hari ini dirinya harus kembali menjemput kekasihnya, Jovanca. Karena kebetulan hari ini Rivaldi mendapat jadwal kuliah siang, jadi dia bisa mengantarkan Jovanca ke sekolah.

Rivaldi segera mengambil handuk, kemudian memasukki kamar mandi dan melakukan ritual mandi paginya. Hari ini dirinya harus kembali menjemput kekasihnya, Jovanca. Karena kebetulan hari ini Rivaldi mendapat jadwal kuliah siang, jadi dia bisa mengantarkan Jovanca ke sekolah.

Selesai dengan ritualnya, Rivaldi menuruni anak tangga satu-persatu. Menuju ruang makan untuk sarapan, di sana ada Arina sedang makan nasi goreng buatannya. Tapi, wajahnya tampak lesu, wajahnya tampak sembab. Seperti orang sehabis menangis.

"Mah? Mamah gak papa 'kan?" Rivaldi menepuk pundak Arina pelan.

Arina menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak kok, Mamah cuma lagi kangen aja sama Papah. Ternyata, udah dua tahun ya Papah pergi," jawab Arina dengan lirihannya.

Embusan napas kasar keluar dengan mulus dari hidung Rivaldi. Ingatan tentang insiden kecelakaan dua tahun lalu yang menimpa Ayahnya, membuat Rivaldi semakin merasa takut kehilangan sosok Caesa. Karena kecelakaan yang Ayahnya alami, terjadi karena balas dendam dari seseorang.

Rivaldi membawa Arina ke dalam dekapannya. "Tenang ya, Mah. Kita harus ikhlasin Papah. Mau gimana pun kita kan udah beda alam sama Papah," nasihatnya.

"Iya sayang, mulai sekarang Mamah akan mencoba supaya enggak ingat tangisin Papah lagi," putus Arina.

Perlahan, Rivaldi melepaskan pelukannya dari tubuh Arina. Lalu, menghapus jejak-jejak air mata Ibu kesayangannya itu. Setelah selesai menghapus air mata Arina, Rivaldi meminta ijin untuk mengantar Jovanca ke sekolah.

"Mah, aku ijin anter temen ya. Mamah jaga diri, aku gak lama kok." Kemudian, Rivaldi mengalami punggung tangan Arina.

Arina menganggukkan kepalanya. "Iya, jangan lama-lama ya," pesannya.

Setelah mendapat ijin dari Arina, Rivaldi segera meninggalkan ruang makan dan mulai memasukki garasi untuk mengambil motor ninjanya. Pagi hari ini udara terasa segar, membuat Rivaldi dapat kembali menemukan apa yang namanya ketenangan.

Namun, belum sampai Rivaldi datang ke kediaman Jovanca. Di pertengahan jalan ada seorang gadis yang tiba-tiba saja melintas. Membuat Rivaldi harus mengerem motornya secara mendadak, untung saja gadis yang melintas itu tidak tertabrak oleh Rivaldi.

Rivaldi turun dari motornya, lalu menghampiri gadis yang tadi hampir saja ditabraknya. Gadis itu berjongkok, menutup kedua telinganya. Gadis itu juga memiliki kulit putih bagaikan susu, kedua bola mata bulat, dan rambut indah. Wajahnya? Tidak usah diragukan lagi, sangat cantik.

"Lo gak papa?" Rivaldi menepuk pundak kanan gadis yang mengenakkan seragam sekolah sama seperti seragam Jovanca.

Gadis itu menengadahkan kepalanya, manik matanya beradu dengan manik mata Rivaldi. "Gue gapapa," jawabnya singkat.

Saat pertama kali melihat gadis yang ada tepat di hadapannya, entah berapa kali Rivaldi terus memuji kecantikan gadis itu. Tapi, Rivaldi berusaha agar tidak tergoda dengan kecantikannya. Karena mau bagaimanapun, Jovanca masih menjabat sebagai kekasihnya.

"Oh iya, nama lo siapa?" Lalu, Rivaldi mengulurkan tangannya.

Gadis yang diajak berkenalan itu berdiri terlebih dahulu, kemudian membalas uluran tangan Rivaldi. "Nama gue Rachel."

"Nama gue Rivaldi, oh iya gue anterin lo ke sekolah ya? Kebetulan gue tahu kok sekolah lo, karena di sana ada temen gue juga yang sekolah," tawar Rivaldi dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Rachel.

Dengan bodohnya, Rivaldi melupakan niatnya untuk menjemput Jovanca. Mari, kita lihat apakah ke depannya lelaki itu bisa setia kepada kekasihnya, Jovanca yang sudah jelas-jelas tulus mencintainya atau tidak.

***

Tepat pukul tujuh pagi, Jovanca sampai di sekolah. Bertepatan saat dirinya sampai di sekolah, pintu gerbang besar berwarna hitam tertutup rapat. Jovanca mengembuskan napasnya kasar, saat dirinya tak sempat masuk ke area sekolah. Beberapa kali Jovanca memukul-mukul pintu gerbang, tapi tidak ada respon dari satpam sekolah. Mau tak mau, Jovanca harus menunggu di luar selama satu jam pelajaran.

Namun, tiba-tiba datang seorang guru berparas cantik. Guru tersebut dikenal bernama Jessie, guru yang mengajar Bahasa Inggris di SMA Merpati. Terkenal sangat baik dan jarang sekali memarahi murid. Rambutnya yang panjang berwarna kecokelatan, berhasil membuat para murid kaum adam jatuh hati kepadanya.

Bu Jessie diam-diam mempersilahkan Jovanca masuk ke area sekolah, dan mengantarkan salah satu anak didiknya itu ke kelas. Untung saja di kelas Jovanca belum ada guru yang mengajar, sehingga gadis berusia delapan belas tahun itu masih bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya terlebih dahulu, sebelum pelajaran dimulai.

"Makasih ya, Bu. Udah anterin aku ke kelas." Entah sudah berapa kali Jovanca mengucapkan terima kasih kepada Bu Jessie.

Bu Jessie mengusap kepala Jovanca lembut. "Sama-sama, lain kali jangan diulang ya. Kalau begitu saya permisi dulu," nasihatnya, kemudian berpamitan kepada Jovanca.

Hanya anggukan kepala saja yang Jovanca berikan sebagai jawaban, wajahnya tampak tidak bersahabat. Untuk pertama kalinya Rivaldi tidak mengantarnya ke sekolah, dan lebih parah lagi tidak memberi kabar sama sekali kepadanya. Sehingga hampir saja Jovanca harus menunggu di luar sekolah.

Kedua kaki Jovanca melangkah menuju tempat duduknya, di sana ada Rachel dan Jessica yang sedang duduk bersama. Rachel dan Jessica adalah sahabat Jovanca, ketiganya sudah bersahabat sejak duduk di bangku kelas sepuluh. Tapi sayangnya, Jessica dan Jovanca tidak mengetahui bahwa Rachel tidak tulus menjadi sahabat mereka.