Burung-burung bernyanyi dengan merdu, membangunkan para manusia yang ada di bumi pagi ini. Udara terasa cukup menusuk di kulit, sebab kemarin malam telah terjadi hujan cukup deras yang mengguyur Kota Jakarta. Jovanca terbangun dari tidurnya tepat pukul setengah enam pagi, Jovanca mendudukkan tubuhnya terlebih dahulu di atas kasur, mengumpulkan nyawanya dulu.
Sepuluh menit berlalu, Jovanca merasa tubuhnya sudah lebih segar lagi. Gadis itu segera beranjak dari tempat tidurnya, mengambil sebuah handuk berwarna merah muda yang biasa dipakainya sebagai penutup tubuhnya sehabis mandi. Lalu, Jovanca mulai memasukki kamar mandi dan melakukan ritual mandi paginya. Jovanca mandi tidak lama, hanya lima belas menit saja.
Setelah selesai mandi, Jovanca langsung memakai seragam sekolahnya, bersiap dengan tas ransel berwarna kuning bermotif bunga matahari yang biasa yang dibawanya ke sekolah. Tak lupa, memoleskan bedak setipis mungkin di wajah cantiknya.
Jovanca berkaca tepat di hadapan sebuah kaca besar yang menempel di dinding kamarnya. Merasa siap dengan pakaiannya, Jovanca segera turun ke bawah dan memasukki ruang makan untuk melaksanakan sarapan pagi bersama Arya, Ayahnya.
"Pagi ayah"
Arya menatap Jovanca sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitas memakan nasi goreng buatannya. "Pagi, ohiya semalam ayah dengar kamu ngobrol sama orang. Apa ada yang antar kamu makan?" tanyanya dengan kening berkerut.
Mulut Jovanca mendadak terkatup rapat. Jujur saja, untuk mengatakan kebohongan kepada orang tua itu rasanya berat sekali. Apa lagi kita tidak tahu kapan kita akan berpulang kepada Sang Pencipta. Hidup di dunia ini seharusnya mengurangi dosa, bukan menambah dosa.
"Eum, anu. Gak ada kok yah, aku juga semalam kelaparan," bohong Jovanca.
"Ya udah, duduk. Sarapan dulu habis itu berangkat," titah Arya.
Embusan napas kasar keluar dengan mulus dari mulut Jovanca, gadis itu merasa lega setidaknya Arya masih percaya dengan jawabannya. Jovanca duduk di kursi yang ada tepat di depan Arya, lalu mulai mengambil satu lembar roti dan mengoleskan selai kacang.
"Kenapa kamu cuma sarapan roti? Ayah udah capek buat nasi goreng lho, makan gih. Lebih baik roti itu kamu bawa untuk bekal ke sekolah," komentar Arya.
Jovanca menganggukkan kepalanya, lalu menaruh kembali roti yang baru saja diberinya selai dan memasukkannya ke dalam sebuah misting berwarna merah muda. Setelah itu, Jovanca mulai memakan sepiring nasi goreng yang sudah Arya siapkan sejak tadi.
Lima belas menit berlalu, akhirnya nasi goreng yang disantap oleh Ayah dan Anak itu sudah habis. Selama kurang lebih dua menit keduanya saling terdiam, hingga akhirnya Arya memutuskan untuk membuka suaranya saja. Ingin menyampaikan sebuah kabar bahagia kepada Anak gadis semata wayangnya.
Arya menatap Jovanca lekat. "Vanca, ayah punya kabar bahagia buat kamu. Hari Minggu nanti, ayah akan menikah lagi. Jadi, kamu punya bunda baru. Kami setuju 'kan?" tanyanya disertai senyuman bahagia yang selalu mengembang di wajahnya.
"H-hah? Menikah lagi? Yang bener aja, yah. Ayah sama bunda aja belum resmi bercerai, aku kurang setuju sih kalau itu," protes Jovanca.
Senyuman yang mengembang di wajah Arya luntur, saat tidak mendapat ijin dari Jovanca. Memang, surat dari pengadilan belum selesai Arya urus. Tapi untuk bukan berarti dirinya dan Sang mantan Istrinya belum resmi bercerai. Sekeras apapun Jovanca melarangnya untuk menikah kembali, Arya tidak peduli.
"Ya sudah, kalau kamu gak setuju gak masalah kok buat ayah. Tapi asal kamu tahu ya, calon bunda baru buat kamu lebih baik dari Caesa. Lihat aja, nanti kamu akan merasa beruntung kenal sama dia." Kemudian, Arya meninggalkan ruang makan.
Tidak ada hal yang dapat Jovanca lakukan selain berdiam diri dan belajar agar bisa menerima calon Istri baru untuk Sang Ayah. Karena Jovanca juga ingin melihat Arya bisa bahagia, agar Arya tidak terus-menerus berlarut dalam kesedihannya.
Jovanca mengembuskan napasnya kasar, lalu berucap, "Semoga ayah berubah pikiran dan membatalkan keputusannya untuk cerai sama bunda."
***
Sudah hampir setengah jam Jovanca menunggu angkutan umum, tapi tidak kunjung ada. Padahal, lima belas menit lagi bel masuk sekolahnya akan berbunyi. Beberapa kali Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar, serta tak henti terus berjalan sembari menghentak-hentakkan kedua kakinya. Wajahnya tampak ditekuk, karena kesal.
Jovanca kembali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, gadis itu semakin dibuat panik saat melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi kurang sepuluh menit. Itu tandanya, sepuluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Jovanca sudah pasrah, dan akan ikhlas jika nantinya dia harus dihukum.
Namun, tiba-tiba saja sebuah motor ninja berwarna hitam berhenti tepat di samping Jovanca. Motor itu, sudah sangat dia kenali. Siapa lagi pemilik motor tersebut jika bukan Rivaldi. Lelaki itu sengaja berhenti tepat di samping Jovanca, karena melihat mantan kekasihnya seperti sedang kesal.
"Kenapa? Telat? Yuk bareng aku aja berangkat," ajak Rivaldi.
Aneh, kemarin Rivaldi sudah mengubah panggilannya kepada Jovanca menggunakkan 'gue-lo' tapi saat ini berubah lagi menjadi 'aku-kamu'. Jovanca dibuat semakin bingung dengan perubahan sikap Rivaldi. Tapi, gadis itu tidak ingin ambil pusing.
"Iya nih, emang gapapa?" jawab Jovanca dengan sedikit ragu.
Rivaldi tersenyum. "Ya enggaklah, tapi ada satu syarat," jawabnya cepat.
Apapun syaratnya, Jovanca berjanji akan melakukan syarat yang Rivaldi berikan dengan ikhlas. Asalkan pagi ini dirinya bisa datang ke sekolah tepat waktu, juga lebih baiknya lagi tidak dihukum.
"Apa syaratnya? Aku pasti penuhi kok." Jovanca menatap Rivaldi penuh tanya.
Rivaldi meraih kedua tangan Jovanca, menggenggamnya erat, lalu berucap, "Syaratnya, kamu harus mau balikan lagi sama aku! Dan jangan pikirin tentang perjodohan aku, gimana?"
Bukannya menjawab, Jovanca malah terdiam. Dalam pikirannya gadis itu dibuat bimbang. Di satu sisi, dia memang ingin menerima syarat yang diberikan Rivaldi, tapi di sisi lain. Dia juga tidak ingin membuat perjodohan Rivaldi batal. Lagi pula, hidupnya tidak akan lama lagi.
"Tapi---"
Belum sempat Jovanca menyelesaikan ucapannya, Rivaldi sudah lebih dulu memotong ucapannya. Jari telunjuk Rivaldi menempel tepat di bibir mungil Jovanca, sehingga membuat gadis berusia delapan belas tahun itu tidak dapat berkata-kata lagi.
"Aku minta, kamu terima ya? Aku janji, akan bawa kamu ke rumah untuk temuin mamah, setelah kamu pulang sekolah nanti. Kamu mau, ya? Ijinin aku buat bahagiain kamu," pinta Rivaldi dengan wajah memelasnya.
Perlahan-lahan, Jovanca menarik napasnya lalu mengembuskannya kembali. Jovanca bersiap memberikan jawaban terbaik yang sudah dibuatnya, Jovanca juga yakin, Rivaldi adalah lelaki yang baik. Pasti Rivaldi akan menolak perjodohan itu, demi dirinya.
"Mau"
Mendapat jawaban terbaik dari Jovanca, Rivaldi segera membawa gadisnya ke dalam dekapannya. Dan hal itu berhasil membuat Jovanca merasa nyaman, tenang, sekaligus hangat. Jovanca berharap, Tuhan akan memberikan umur lebih panjang lagi kepadanya.