Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 2 - Isekai?

Chapter 2 - Isekai?

"Aku ... Ilona?" Gadis itu masih setia menatap wajahnya di cermin. Belum pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa ia akan menjadi tokoh utama dalam novel yang diidam-idamkan.

Rambut Ilona sangat cantik. Berwarna pirang sebawah bahu, dengan ujung-ujung yang bergelombang indah dan ringan. Bola matanya hijau zamrud, membuat kesan lembut dan tegas secara bersamaan. Sayangnya, Ilona hanya mengenakan gaun berbahan dasar katun, dengan warna cokelat kusam. Pakaiannya mirip pelayan, sedangkan dalam cerita Ilona adalah putri kandung dari Count Berenice.

"Nona Ilona, apa Anda baik-baik saja?"

Ilona berbalik. Dia telah membaca novel ini hingga habis, dan dengan jelas tahu bahwa perempuan berambut cokelat gelombang di depannya adalah Audrey, dayang yang setia menemani. Ilona tersenyum, dia mulai tahu-menahu tentang semua yang terjadi ini.

"Aku tidak apa-apa," ucap Ilona pada akhirnya.

Tidak puas hanya dengan melihat pantulan wajah dari cermin, Ilona berjalan mundur. Perempuan itu kemudian berputar pelan, memperlihatkan gaunnya yang sama sekali tidak dapat mekar dengan sempurna.

Putarannya berhenti, Ilona terdiam sejenak begitu menyadari sesuatu yang menyayat hati. Jika dirinya memang benar-benar bereinkernasi ke dalam tubuh tokoh utama, Ilona. Maka, dirinya yang berada di kehidupan sebelumnya sudah ... tiada.

Meski berada dalam tubuh seorang tokoh utama adalah keinginan Ilona. Namun, tetap saja. Perempuan itu merasa sedih begitu sadar dirinya di kehidupan lampau sudah benar-benar tidak ada. Jiwanya telah menghilang, dan raganya masuk ke dalam tubuh seorang tokoh utama.

Ilona tidak tahu harus merasa senang, atau sedih.

Audrey yang menyadari akan perubahan mimik wajah Ilona, lantas segera berjalan mendekati, dan dengan lembut bertanya, "Apa karena Nona Jennie?"

Ilona menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak. Mungkin ... aku hanya terbawa perasaan."

Ah, Ilona jadi teringat dengan Jeannie—kakak dari ketiga adik perempuan tadi. Dia lebih tua dari umur Ilona, memiliki wajah cantik yang dewasa, serta sikapnya yang bahkan melampaui umur delapan belas tahun. Mengingat Jeannie, Ilona menjadi kesal. Dia adalah salah satu tokoh antagonis dalam cerita ini. Menyuruh Ilona untuk melakukan tugas-tugas kediaman Berenice adalah kemampuannya.

Audrey menatap Ilona. Terlihat tidak yakin dan beberapa kali berusaha meneguk saliva, Audrey akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Dia benar-benar khawatir dengan apa yang baru saja terjadi, sehingga memiliki untuk mengutarakan apa yang ia rasakan secara langsung.

"S–sebenarnya ... hari ini Anda sangat berbeda."

"Maksudnya?"

"Nona Ilona terlihat ... aneh. Oh, tidak! Maafkan saya jika lancang, Nona. Saya hanya ...." Audrey terlihat menautkan kedua jarinya gugup. Setengah menunduk, karena tak berani untuk menatap wajah perempuan cantik di depannya.

Semua orang tahu, bahwa Ilona adalah perempuan baik dan lembut. Tapi, Audrey tetap saja merasa takut. Ia benar-benar tidak enak hati karena telah mengatakan hal-hal yang mungkin saja akan menyakiti hati Ilona.

"Maaf. Akhir-akhir ini saya merasa tidak enak badan, sehingga rasanya sangat ... aneh?" Ilona berusaha mencari alasan. Dia juga telah mengganti cara bicaranya dari 'aku' menjadi 'saya'. Semuanya, tidak boleh terbongkar.

Audrey mengedipkan matanya sekali. "Ah, saya benar-benar tidak tahu bahwa itu adalah alasannya. Saya benar-benar minta maaf, karena tidak melihat kondisi Anda dengan baik.

"Tidak apa. Jangan khawatir, Audrey."

***

"Ayo, cepat! Sekarang pekerjaanmu lambat!" ketus Jeannie dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Ia berdiri, sambil terus menatap Ilona yang duduk di lantai untuk mengepel sesuai perintahnya.

'Menjadi tokoh utama tak semudah yang aku bayangkan ....'

Ingin sekali Ilona melemparkan kain yang sudah kotor ini ke depan wajah Jeannie, lalu menertawainya hingga puas. Namun, sayang, perempuan yang baru saja bereinkernasi itu masih memiliki hati nurani. Ia tahu bahwa alur Jeannie pada akhirnya akan mengenaskan—seperti apa yang ia baca di dalam novel.

"Ibu memanggilmu, Kak." Shilla—anak kedua dari tiga perempuan bersaudara itu masuk ke dalam kamar, gaunnya tak kalah mewah dengan yang Jennie kenakan.

Berdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Shilla benar-benar keluar dari kamar, untuk menuju kamar besar ibunya. Sebelum perempuan itu pergi, ia mengingatkan pada Ilona mengenai tugas yang diberikan.

"Ingat! Pel lantai ini hingga bersih. Terpenting, ketika aku kembali, kamar Ibu ini harus benar-benar rapi! Awas jika sampai aku melihat kau bermalas-malasan!" tekan Jeannie. Kedua manik matanya menatap tajam, seakan memberikan ancaman.

"Dengar apa yang Kakak katakan!" Shilla mengimbuhi. Kini gantian perempuan itu yang mengawasi Ilona. Ia duduk di salah satu kursi berbalut warna emas, sambil terus menatap perempuan yang mengepel di bawah lantai dengan sinis.

Di dalam hati, Ilona menghela. Kakak dan adik, memang sama saja. Sama sekali tak ada bedanya. Entahlah, perempuan itu tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya jika waktu bertemu dengan ibu tiri tiba. Itu pasti akan sangat mengesalkan.

"Kak Shila, wajahmu terlihat aneh hari ini." Ilona menghentikan pekerjaannya, beralih menatap Shila dengan bingung. Berakting seakan-akan ucapannya adalah nyata, dan benar adanya.

"A–aneh?!"

Ilona mengangguk. "Ya. Wajahmu sangat aneh, Kak Shilla. Apa ada hal tak mengenakkan terjadi? Ouh, bahkan ketika melihat Kak Jeannie tadi, aku merasa dia yang lebih cantik. Padahal, biasanya aku selalu melihat bahwa Kak Shilla lebih cantik," lanjut Ilona. Tangan kirinya menutup mulut, memperlihatkan pada perempuan bergaun mewah tersebut bahwa dirinya benar-benar khawatir.

Lantas, Shilla segera meraba wajahnya takut. Semburat marah tertera jelas di wajahnya. Ia benar-benar tidak mau jika kecantikannya ditandingi.

"J–jika Kak Shilla berkenan, aku dapat merias wajah Kakak, dan membuatnya seperti semula. Bahkan, akan terlihat lebih cantik," ucap Ilona kemudian. Suranya yang halus dan lembut, tentu membuat orang-orang tak akan percaya bahwa yang baru saja dikatakan adalah sebuah kebohongan.

Shilla menatap ke arah Ilona, ragu. "B–benarkah?" Ia bertanya dengan nada seolah kurang meyakinkan.

Ilona menunjukkan senyum lembutnya. Di dalam novel, senyum indah tokoh utama ini selalu membuat hati semua orang terenyuh. Bahkan, ibu tiri yang sejak dulu memusuhinya berakhir mengakui kesalahan saat melihat senyum Ilona yang dipercaya merupakan titisan dewi khayalan. Namun, untuk Shilla ... tidak begitu yakin. Terpenting, Ilona sudah berusaha untuk tersenyum.

"Baiklah! Cepat rias aku sesuai perkataanmu itu! Ingat! Jangan sampai kau membuat kesalahan!" Shilla mengarahkan telunjuknya di depan wajah Ilona. Jarak antar keduanya yang dekat, membuat aura menjadi terasa lebih menakutkan.

Ilona dengan gaun kusamnya masih terduduk di lantai, tangan kanan itu masih terisi dengan genggaman kain pel yang kotor. Ia mendongak, menatap Shilla dengan pandangan polosnya. "Lalu, bagaimana dengan pekerjaan yang Kak Jeannie berikan ini, Kak?"

"Tentu saja kau harus menyelesaikannya terlebih dahulu! Kunjungi kamarku, jika semua pekerjaan yang Kak Jeannie berikan telah kau selesaikan!" Shilla berbalik, berjalan keluar dari kamar yang begitu mewah ini.