Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 3 - Hasil Kerja

Chapter 3 - Hasil Kerja

Menatap kepergian Shilla, senyum Ilona luntur seketika. Tatapan lembutnya berubah nyalang, rasanya ingin mencabik-cabik gaun mewah yang dikenakan adik tirinya itu.

Ilona salah menduga. Dia kira, Shilla adalah perempuan yang mudah untuk dibohongi dan dibodohi. Rupanya, Shilla lumayan pintar. Dia mungkin saja akan selalu mendapatkan nilai sempurna ketika ujian nasional diadakan.

Riset Ilona mengenai tokoh-tokoh sampingan novel yang sama sekali tidak cerdas, ternyata salah. Dia menemukan satu orang tokoh antagonis yang otaknya patut untuk diacungi jempol.

"Nggak apa-apa. Menjahilinya cukup mudah, dan kapan saja dapat kulakukan. Tidak harus saat ini," ucap Ilona, yang kembali fokus terhadap pekerjaannya. Di sela-sela kegiatan, perempuan itu kadang berdecap atau terkadang bergumam penuh penyesalan.

Raganya memang kini berada dalam tokoh utama. Seorang putri Count yang berhati lembut dan berwajah cantik. Tapi, Ilona tetap tidak dapat memiliki kelebihan fisik layaknya tokoh utama. Dia tidak bisa mengepel, dan karenanya, pekerjaan selesai lebih lama. Kini tidak tahu bagaimana Jeannie akan bereaksi. Hasil kerja Ilona sungguh berbeda dari yang asli, tidak terlalu bersih dan mengkilap.

"Bukankah ini cukup?" tanya Ilona memandangi lantai hasil kerja kerasnya. Pelipisnya kini terdapat beberapa peluh, karena pekerjaan yang tak seharusnya ia lakukan.

Ah, meskipun tidak sesempurna yang Ilona—tokoh utama asli lakukan, ini masih dikatakan baik. Yah, bukankah hanya setelah mengikuti alur, lalu Ilona akan menjadi seseorang yang paling bahagia? Ia akan mendapatkan Putra Grand Duke yang tampan, kekayaan yang lebih melimpah daripada kekayaan asli Count Berenice, serta popularitas yang tidak main-main.

Ilona sungguh menantikannya. Dia lelah telah hidup mengenaskan di kehidupan sebelumnya.

Masih dengan kain pel kotor yang digenggam, Ilona berjalan meninggalkan kamar Jeannie. Kamar luas dan mewah, yang seharusnya menjadi hak putri kandung Count Berenice.

Kediaman Berenice. Ilona hanya membaca ilustrasinya dari dalam novel. Ini pertama kali, melihat secara langsung dengan kedua mata telanjang.

Sederhana, tidak begitu mewah. Namun, sangat luas dengan dinding yang dipenuhi oleh ukiran-ukiran. Ilona berjalan di tengah-tengah lorong kediaman, banyak sekali pintu ruangan-ruangan di setiap perempuan itu melangkah. Semakin berjalan, ia merasa bahwa lorong yang ia lalui semakin melebar dan bertambah luas. Ilona jadi menyimpulkan, bahwa lorong yang ia lewati ini akan berujung dengan sebuah aula kediaman utama atau ruangan tamu.

"Di mana kamar ibu tiri? Aku hanya dapat mengingat hal yang kubaca!" Illona berdesis pelan, saat matanya mulai bingung mencari mana pintu ruangan yang harus dipilih. Ah, di novel yang dibaca, penulis tidak menceritakan semua ruangannya dengan jelas. Perempuan itu jadi harus beberapa kali berjalan. Lebih parahnya, tiap dirinya berpapasan dengan dayang, mereka tak menyapa. Seakan tidak terjadi hal-hal di antaranya. Ilona baru ingat, bahwa di novel ini, hanya Audrey dan kusir yang selalu berbaik hati terhadapnya.

Sebuah pintu besar dengan ukiran sederhana menarik penglihatan Ilona. Ruangan yang terlihat berbeda dari lainnya, dan bahkan lebih mewah dari kamar Jeannie. Membuat Ilona yakin, bahwa ruangan itu yang sejak tadi dicari.

Pintu dengan dua gagang, berdiri kokoh di depan mata. Ilona mengetuknya sekali, lalu dua kali, dan tiga kali.

Pintu lebar itu terbuka sebagian, memperlihatkan seorang dayang istana yang menatap Ilona dalam diam.

"Em ... saya disuruh oleh Kak Jeannie untuk menemuinya," ucap Ilona. Berusaha terlihat bahwa dirinya hannyalah seorang perempuan berusia enam belas tahun yang amat polos.

Dayang tersebut mengangguk, lalu menyingkir dari pintu. "Silakan."

Ilona masuk ke dalam ruangan yang begitu luas. Sangat tidak cocok orang-orang hanya menyebutnya sebagai sebuah kamar utama. Karena, ini bahkan lebih luas dari sebuah kos-kosan. Furniturnya serba berbalut warna emas, walau hannyalah tiruan. Ranjang berukuran raja dengan kepala menjulang, serta tiang-tiang yang kokoh yang menyangga.

Rasanya, Ilona sedang terlempar ke dalam zaman Eropa waktu lampau. Jika saja dulu ia bersekolah, pasti sekarang akan terasa menyenangkan— dapat mengetahuinya secara langsung.

"Ilona! Kenapa kau membawa kain pel kotor ke dalam kamarku?!" Suara marah dari ibu tiri terdengar menggebu memenuhi ruangan. Ia murka, mendapati benda kotor masuk ke dalam tempat tidurnya yang bersih dan mewah.

"M–maaf, Ibu. Saya ... benar-benar tidak tahu," cicit Ilona pelan. Dia menunduk, menatap kain pel yang digenggam. 'Ibu tiri itu benar-benar sangat menakutkan. Juga, mengesalkan'.

"Ibu, tenanglah." Jeannie menyentuh pelan bahu ibunya, membuat ekspresi wajah wanita mewah tersebut setengah mereda dari kemarahan. "Ada apa? Apa pekerjaan yang kuberikan padamu sudah kau selesaikan?!" Tatapan nyalang Jeannie berikan.

Ilona menganggukkan kepalanya pelan. "Sudah, Kak. Lalu, saya harus merias wajah Kak Shilla. Apa boleh?" tanyanya kemudian.

"Tidak perlu bertanya. Cepat pergi! Kau hanya akan membuat adikku menunggu!" bentak Jennie. Dagunya ia arahkan ke pintu, menyuruh Ilona agar segera keluar dengan pintu yang telah terbuka lebar tersebut.

Seperti apa yang Jennie suruh, Ilona segera pergi dari kamar mewah yang baru beberapa saat ia lihat. Di belakang, dengan jelas Ilona mendengar ibu tirinya tengah mengejek. "Bahkan seorang dayang masih lebih baik daripada gadis itu!"

Ilona mengepalkan kain pelnya kuat-kuat. Ah, lihat saja. Dirinya adalah tokoh utama, yang akan membuat orang-orang tunduk. Semua hak yang seharusnya menjadi miliknya, akan benar-benar Ilona ambil. Dia akan menjadi orang paling bahagia di dunia ini. Lihat saja, mau bagaimana pun, happy ending akan selalu mengikuti Ilona.

Perempuan itu kini harus menemui Shilla di kamarnya. Adik tirinya itu pasti sudah menunggu lama dan siap membuka mulutnya untuk mengomeli. Sama seperti Jeannie dan ibu tiri.

"Maaf ... kamar Kak Shilla ada di mana?" tanya Ilona ragu pada salah seorang dayang. Dia tidak ingin seperti tadi, yang mencari kamar dengan susah payah. Ilona sudah lelah.

Dayang tersebut mengernyitkan dahi bingung. Lantas, Ilona langsung mengubah kata-katanya menjadi, "Ah, kepalaku sedikit pusing. Bahkan untuk mengingat kamar Kak Shilla ... aku tidak kuat." Berakting seakan-akan terombang-ambing dan hampir jatuh, Ilona memegangi kepalanya bak orang sekarat.

"Oh, Anda tidak apa-apa? Kamar Nona Shilla berada di bagian belakang, tepat 3 ruangan dari kamar Tuan dan Nyonya Berenice," jawab dayang tersebut sambil berniat ingin memapah tubuh Ilona. Namun, perempuan itu menolak dan kembali memosisikan tubuh dengan benar, tetapi tertatih-tatih.

"Terima kasih banyak. Tidak perlu, s–saya bisa sendiri." Ilona memegang lembut tangan dayang itu, menyalurkan betapa indahnya bagian tubuhnya ini. Setelah memberikan senyum lembut, perempuan itu berjalan—bergegas pergi ke arah belakang untuk menemui Shilla.

Ya, apa akting Ilona tadi cukup bagus? Jika terlalu bagus, mengapa dulu Ilona tak mencoba percaya diri dan mengajukan diri pada sebuah agensi? Jika itu terjadi, mungkin bisa saja Ilona tak akan berada dalam dunia barunya ini, mungkin.