Faiza yang mendengar semua yang di bicarakan Umi dan Wak Ni sangat sedih.
Dia berlari menuju ke kamarnya.
Terdengar dia menangis tersedu-sedu.
"Hiks..hiks..hiks.."
"Kenapa sih Umi mau menjodohkan Aku? Padahal dia tau jika Aku mencintai Bang Raju,"lirih Faiza.
Dia terhanyut dalam lamunannya hingga dia terlelap.
Sementara itu di ruang tengah Umi dan Wak Ni masih berbincang-bincang.
"Umi. Faiza mana? Kenapa nggak kemari lagi? Saya mau mengambil fotonya dan mengirim ke Muklis,"tanya Wak Ni.
"Entahlah biasanya dia selalu habis mandi duduk dengan Kami, apa Dia terlalu lelah? Sebentar saya akan panggilkan,"
Umi meninggalkan Wak Ni sendirian di ruanga tengah.
Dia menuju ke kamar Faiza, nampak olehnya Faiza tertidur dengan pulasnya.
Lantas dia kembali menemui Wak Ni dan memberitahukan jika Faiza kelelahan.
"Maaf Wak. Faiza tertidur sepertinya dia kelelahan mukin pekerjaannya banyak hari ini,"kata Umi.
"Ya sudah. Apa sama Umi ada foto Faiza? Tolong kirimkan ke nomor saya ya?"pinta Wak Ni.
"Sebentar saya ambilkan ponsel dulu."
Umi beranjal dari duduknya menuju ke kamarnya untuk mengambil ponsel.
Lalu dia mencari foto Faiza, kemudian dia mengirimkan ke nomor Wak Ni.
Umi kembali menemui Wak Ni dan menanyakan perihal Muklis.
"Wak Ni. Muklis sekarang dia di mana?"tanya Umi.
"Muklis sedang menempuh pendidikannya di Universitas Selangor Malaysia, insya allah dalam bulan ini dia akan pulang,"jawab Wak Ni.
Keduanya pun melanjutkan pembicaraan hingga entah kemana-mana.
"Umi. Ada seorang gadis yang kos di tempat Aku, pakaiannya kurang bahan. Tadi dia bawa lelaki lagi. Makanya Aku langsung jatuh hati dengan putri Kamu, Faiza,"kata Wak Ni.
"Mukin dia bukan orang Aceh Wak,"
"Mukin juga,"
Mereka terus bercerita hingga tidak terasa waktu pun hampir memasuki waktu magrib.
"Umi. Saya permisi dulu ya? Udah magrib nih. Semoga aja kita bisa menjadi besan ya"ujar Wak Ni.
"Amiin. Ya sudah, maunya kan bisa solat disini dengan keluarga saya."jawab Umi.
"Lain kali aja ya? Nanti jika Mukhlis sudah pulang kita makan-makan di rumah saya ya?"
Lantas Umi mengantar Wak Ni menuju ke pintu depan. Selesai cupika cupiki Wak Ni langusung pulang ke rumahnya dengan mobil pribadi.
Umi masuk ke kamar Faiza dan membangunkannya karena sudah terdengar suara adzan.
"Nak. Bangun udah magrib. Nggak bagus tidur waktu magrib,"
Umi mengoyangkan badan Faiza, namun gadis itu masih terlelap.
Umi memcium pucuk kepala Faiza, lalu membelai rambut hitamnya.
"Bangun Faiza,"bisik Umi.
Faiza membuka perlahan matanya, nampak Umi tersenyum ke arahnya.
"Umi. Kapan ke kamar Aku?"
"Sejak tadi. Sudah pergi wudhu sana, terus solat ya? Umi juga mau solat."
Faiza turun dari ranjangnya menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lantas dia mengerjakan solat magrib.
Faiza membaca doa untuk dirinya serta kedua orang tuanya.
"Ya Allah ya rabb. Ampuni hamba dan juga kedua orang tua hamba. Ya Allah tolong anugrahkan jodoh terbaik buat hamba. Seandainya Hamba berjodoh dengan Bang Raju dekatkanlah, namun jika Dia bukan jodoh Hamba tolong kirim lelaki yang soleh untuk hambamu ini. Amiin,"
Selesai berdoa Faiza mengambil Alquran dan membacanya.
Waktu pun berjalan begitu cepat adzan isya pun terdengar di mejid dekat rumah Faiza.
Dia lantas menuju ke kamar mandi untuk membuang hajatnya. Lalu kembali mengambil air wudhu.
Faiza kembali menunaikan kewajibannya sebagai muslim.
Setelah mengerjakan solat isya, Faiza membereskan mukena dan sajadahnya.
Dia keluar menemui Ayah dan Uminya di ruang makan.
Mereka makan malam bersama, tidak ada yang bersuara ketika makan. Itu aturan yang di terapkan oleh Ayah Faiza.
Setelah semua selesai makan, Faiza membantu Umi untuk membereskan meja makan dan juga piring.
"Faiza. Tadi Wak Ni tanyain Kamu. Eh rupanya Kamu tertidur. Apa terlalu banyak pekerjaan Kamu Nak?"tanya Umi. Ketika mereka sedang mencuci piring.
"Lumayanlah Umi. Untuk apa Wak Ni tanya-tanya Aku?"jawab Faiza.
"Dia mau menjodohkan anaknya. Itu Ustad Muklis. Kamu kenalkan?"
"Mana Aku kenal Umi, emang dia pernah kemari?"
"Belum pernah. Lawong dia kuliah di Malaysia, nanti jika dia pulang kita ke rumah dia ya?"
"Ya Umi,"
Keduanya terus berbincang hingga akhirnya mereka selesai membereskan dapur.
"Faiza. Kemari Nak!"
Ayah Faiza memanggil Faiza ketika dia akan ke kamarnya.
"Iya Ayah, ada yang bisa Faiza bantu?"tanyanya.
"Nggak ada. Sini duduk ada yang mau Ayah katakan,"
Ucap Ayah Faiza seraya menepuk tempat kosong di sampingnya.
Faiza langsung duduk di dekat Ayahnya dan memandang lelaki yang paling dia cintai itu.
"Nak. Bagaimana hubungan Kamu dengan Raju? Apa dia sudah mengambil keputusan?"tanya Ayah Faiza.
"Aku sudah berbicara demgan Bang Raju. Dia bilang akan pulang dalam minggu ini Yah. Tapi jika emang Dia nggak pulang. Faiza ikhlas jika Umi dan Ayah menjodohkan Faiza,"jawab Faiza.
Walau dalam hatinya menentang keras perjodohan dia tidak menampakan pada kedua orang tuanya.
"Ya sudah. Ayah nggak akan maksa Kamu, asalkan Raju pulang langsung kalian menikah. Katakan seperti yang ayah katakan padanya,"ucap Ayah Faiza lagi.
"Baik Ayah. Jangan terlalu Ayah pikirkan tentang jodoh Faiza, nanti Ayah bisa sakit. Aku tidak mau Ayah kenapa-napa,"tutur Faiza.
Dia memeluk Ayahnya dengan sangat erat, sang Ayah pun mencium kening putri satu-satunya itu.
"Oh ya. Abang Ali akan pulang lebaran ini dari medan Faiza. Nanti kita akan ke sabang di ajak oleh Abang Kamu itu,"
Faiza memiliki seorang abang yang bekerja sebagai dosen di medan.
Faiza sangat senang mendengar apa yang di katakan Ayahnya.
"Benar Yah? Aku mesti buat surat cuti nih. Udah lama kita nggak liburan ya? Oh ya Aku ajak Yanti ya?"pinta Faiza.
"Boleh aja. Sekalian Kamu jodohkan aja Yanti dengan Abang Kamu. Kan dia anak yang baik dan sopan. Ayah suka dengan Dia,"usul Ayah Faiza.
"Ayah ini suka kali jodohin orang, mana mau Bang Ali dengan Yanti. Dia kan suka cewek yang feminim, lah si Yanti tukang panjat pohon dan tukang pukul orang. Hahaha,"
Tawa Faiza pecah membayangkan reaksi Ali jika ketemu dengan Yanti.
"Kamu ini yang nggak aja bilang buat teman Kamu, sudah pergi tidur sana."titah Ayah Faiza.
Dia tersenyum melihat tingkah Faiza. Lantas dia meninggalkan Faiza yang masih tertawa sendiri.
Faiza masuk ke kamarnya lalu dia mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Raju.
Tut...
Tut...
Tut..
Panggilan tidak ada yang menjawab. Faiza tidak putus asa. Lantas dia kembali menelpon Raju.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Hingga sebuah pesan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak dia kenal.
[Tolong jangan mengganggu suami saya. Apa Kamu tidak laku? Hingga harus menelpon suami orang malam-malam?]