"Om, jadi suamiku ya? mau nggak?" tanya Nindya pada Andy. Gadis itu tengah asik menghisap permen lolipop merk x, yang sesekali ia lepaskan dari mulut mungilnya.
"Uhuk ... uhuk ...." sontak saja, pertanyaan itu membuat pria gagah dan bertubuh kekar itu terbatuk seketika. Bagaimana tidak, gadis cantik yang terbilang masih sangatlah muda itu, secara terus terang meminta dirinya untuk menjadi calon suaminya.
"Kenapa, Om? Aku serius loh, Om," ucap Nindya lagi.
"Nindya, berhentilah mengganggu Om Andy, sana masuk. Masih kecil kok sudah berani menggoda pria. Papa tidak suka ya!" tegur Rendy, papa Nindya.
"Baik, Pa ...." Dengan langkah gontai Nindya masuk kembali ke dalam rumah. Masuk menuju kamarnya, lalu menutup pintu dengan sedikit membantingnya.
"Maafkan Nindya ya, An," ucap Rendy seraya menyuguhkan secangkir kopi panas di hadapan rekan bisnisnya itu.
"Santai saja, Bang. Bukankah itu sudah biasa dilakukan Nindya, padaku," jawab Andy seraya terkekeh geli, kemudian ia menyeruput kopi panas yang baru saja diletakkan Rendy di atas meja.
Andy Wiguna, 30 tahun, pria sederhana yang memiliki karier sukses, melejit bak roket. Dirinya sudah menjadi seorang PNS sejak usianya menginjak angka 25 tahun, tepatnya seorang guru di sekolah Nindya, SMA Pelita Bangsa.
Pria yang terbilang tampan diantara pria-pria seusianya itu sudah menjadi rebutan para gadis, termasuk para siswi di sekolah tempatnya mengajar. Begitupun Nindya, yang tak mau kalah mengejar cinta sang guru, Andy Wiguna.
Andy sudah mengenal Rendy, papa Nindya, sejak lama, sejak pria muda itu belum menjadi apa-apa. Rendy yang mengenalkannya kepada bisnis yang kini mereka geluti bersama. Bisnis sederhana yang setiap bulannya tetap menghasilkan pundi-pundi rupiah. Mengelola kos-kos'an khusus untuk siswa-siswi ataupun mahasiswa, juga mengontrakkan beberapa bangunan yang di sewa pemilik usaha.
Dari sanalah Andy mengenal Nindya, gadis polos yang dulunya ingusan kini sudah beranjak remaja, bahkan sudah berani menggodanya. Bukan cuma sekali, tapi entah sudah berapa kali ucapan itu ia lontarkan dari bibirnya.
"Astaga, Om Andy? Jadi, Om Andy seorang guru? Tidak pernah Nindya sangka, akan bertemu dengan Om disini. Apakah ini pertanda kita akan berjodoh, Om?" Begitulah kata Nindya saat pertama kali mereka bertemu di sekolah yang sama.
Bahkan dari sejak dulu, Nindya selalu memvonis dirinyalah yang akan jadi istri Andy.
Nindya baru saja menyelesaikan sekolahnya ditingkat SMA. Sesuai dengan titah sang papa, ia akan melanjutkan lagi kuliahnya. Cinta-citanya ingin menjadi seorang guru, bukan karena ia suka, tapi ingin di sukai oleh Andy, laki-laki yang sudah membuatnya jatuh cinta dari sejak kecil.
"Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan gadis itu?" tanya Rendy pada Andy.
"Siapa? Raya? Masih, Bang," jawab Andy.
"Kapan kamu akan menikahinya? Jangan tunggu lama, sudah waktunya, lo," tegur Rendy lagi.
"Dianya belum siap, Bang. Masih fokus kuliah katanya, mungkin aku butuh kesabaran yang lebih untuk menikahinya," jawab Rendy, ia memainkan ponselnya sesekali kemudian menoleh ke arah papa Nindya.
"Makanya, Om. Nikah sama aku saja, aku sudah siap kok, jadi istri Om," celetuk Nindya yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Gadis itu mempercepat langkahnya menuju ke luar rumah.
"Nindya!" pekik sang papa.
Nindya berlari cepat. Ia buru-buru membuka gerbang rumah lalu menutupnya lagi setelah berada di luar.
"Yang diomongin sudah telepon. Panjang umur," ucap Andy, ia memperlihatkan ponselnya ke arah Rendy. Terlihat nama Raya disana, kekasih Andy yang sudah menemani hari-harinya selama beberapa tahun terakhir.
"Halo, sayang," sapa Andy pada wanita di seberang telepon.
"...."
"Baiklah, aku kesana sekarang. Tunggu ya, sayang." Andy mengakhiri panggilan teleponnya, ia bersiap hendak pamit, dimasukkannya benda kecil yang baru saja digenggamnya ke dalam saku celana.
"Aku pamit dulu ya, Bang?" ucap Andy.
"Oke," jawab Rendy singkat.
Andy bergegas memakai sepatu ket berwarna biru miliknya, lalu melangkah meraih mobil kesayangannya yang terparkir di luar gerbang rumah Rendy. Kebetulan, rumah mereka berhadap-hadapan, garasi mobil mereka sengaja dijadikan satu untuk menghemat tempat.
Andy melirik gadis manis dengan rambut panjang sepinggang, hitam dan tergerai itu, ia duduk di kursi plastik milik pedagang cilok.
Tangan kirinya memegang plastik bening yang berisikan cilok pedas, terlihat dari warnanya, merah menyala, penuh dengan batu cabe. Tangan kirinya memegang tusukan cilok, sedangkan bibirnya terlihat penuh mengunyah.
"Om, mau pulang ya? Sini makan cilok dulu, enak loh, Om," ucap Nindya melirik ke arah Andy yang tergesa-gesa.
"Om mau jemput pacar dulu, Nindya," jawab Andy jujur.
"Eleh, kayak ratu saja, dijemput, manja. Masih saja mau sama cewek kayak gitu. Nindya lebih baik, Om, suer deh," ucap gadis itu sambil terkekeh.
"Nindya, sudah ya, Om pamit. Itu lihat ke bawah, pakai sandal saja tidak benar, sudah mau jadi calon istri Om segala, bye ...." Andy masuk ke dalam mobilnya sambil mengulum senyum, ia menahan tawanya melihat kelakuan Nindya.
Nindya refleks, ia menoleh ke arah kakinya, dan amazing, gadis cantik itu menggunakan sandal yang berbeda pada kaki kiri dan kanannya.
"Sial, kenapa sih, bisa salah gini pakai sandalnya," gerutu Nindya.
"Non, itu saya sudah lihat dari tadi, non pakai sandal kok bisa beda-beda gitu, sih?"
"Aduh ... Mas, kok tidak bilang, sih, dari tadi? Kan aku jadi malu sama Om ganteng," gerutu Nindya, ia mengentakkan kedua kakinya berkali-kali. Memasang wajah cemberut, bibirnya di monyongkan 5 cm ke depan.
"Mana saya tahu, Non," jawab tukang cilok, ia terkekeh melihat reaksi pelanggan setianya itu.
"Nih, Mas. 10 ribukan? Besok datang lagi ya," ucap Nindya, ia menyerahkan uang 5 ribuan sebanyak 2 lembar kepada pedagang cilok keliling dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah.
****
"Lama sekali, sih, jemputnya? Aku telat nih, sayang," gerutu Raya. Gadis manja itu terlihat emosi melihat kedatangan Andy yang terlambat 10 menit menjemputnya.
"Maaf, sayang. Jalanan macet," jawab Andy tenang. Ia membukakan pintu untuk Raya, kemudian kembali duduk di kursi kemudi.
Raya, terlahir sebagai anak konglomerat, gadis itu sudah terbiasa dengan kehidupan yang glamour. Berlimpah harta kekayaan dari kedua orang tuanya yang seorang pengusaha terkaya di Bali. Apapun keinginannya, akan selalu terpenuhi, dan itulah yang membuatnya menjadi wanita manja juga egois. Termasuk mengatur kehidupan Andy.
Laju mobil Andy mengantarkan Raya menuju salah satu kampus elite di kota Denpasar, tempat Raya menempuh pendidikan S1'nya yang baru berjalan 2 tahun lamanya.
"Nanti bisa jemputkan?" tanya Raya, ia melirik Andy sebelum ia benar-benar keluar dari mobil pria itu.
"Iya, nanti aku jemput, sayang." Begitulah, sosok Andy. Ia tak pernah sekalipun menolak keinginan Raya.
Setelah Raya menghilang dari pandangan matanya, Andy kembali melajukan kendaraannya, tujuannya adalah pergi ke sekolah. Ada berkas yang tertinggal di meja kerjanya, berkas siswa-siswi yang baru saja tercatat lulus dari sekolah. Andy sebagai wali kelas diwajibkan untuk mendata ulang kembali para siswa dan membantu mereka untuk mendaftar pada perguruan tinggi bagi yang hendak melanjutkan pendidikannya.
Andy berinisiatif hendak melanjutkan pekerjaannya di rumah sembari bersantai.
"Pak Dio, apakah ruang guru terkunci?" tanya Andy pada sosok yang tengah berkeliling di sekitar sekolah, ia bertugas sebagai penjaga sekolah. Pihak sekolah memberikannya fasilitas berupa hunian sederhana atau rumah dinas, yang menjadi satu halaman dengan sekolah SMA Pelita Bangsa.
"Oh, iya ini, Pak Andy, kuncinya." Andy mengambil alih kunci ruang guru kemudian bergegas masuk dan menuju meja kerja miliknya. Ia terkesima melihat sebuah amplop berwarna biru muda di sana.
[Om, I Love You, jadi suamiku ya, Om? Aku sudah lulus, lo ....] ucapan tanpa nama. Andy tersenyum membaca isi pesan itu, ia sudah jelas tahu siapa pengirimnya.
Bersambung...